DANDELION
Lambang kesederhanaan, perjuangan, pantang menyerah, dan tidak mudah putus asa.
*********
Esoknya di toko bunga. Lily menerawang kosong sembari memotong daun dari tangkai bunga mawar yang baru saja dipanen. Kebetulan bunga mawar sedang mekar dengan cantik. Warna pink dengan semburat merah, dan juga kuning yang paling banyak mekar bulan ini.
Lily masih teringat ucapan Isaac semalam, saat pria itu menawarkan diri menjadi sandaran, membantu untuk mengusir takut dan kecemasan. Membantu Lily keluar dari bayangan masa lalu, memberinya pengharapan akan hidup yang baru, juga sedikit kebahagiaan.
Namun Lily menolak. Ketara sekali bahwa gadis itu menyimpan depresinya sendirian selama ini, menyimpannya rapat-rapat, menyembunyikan dari orang-orang sekitar.
Tak ingin orang mengasihani dirinya.
Tak ingin orang memandang iba padanya.
Mendadak flasback kejadian manis semalam kembali membayangi benak Lily. Membuat Lily menangkup wajahnya karena malu.
.
.
.
"Kenapa menolakku?" Isaac membuang wajahnya, tak menyangka akan mendengar penolakkan terlontar dari bibir tipis Lily.
"Aku tidak menginginkannya, Isaac. Perasaan memiliki itu." Lily meraba-raba kasur, mencoba bangkit berdiri.
"Ach!" pekik Isaac kesakitan. Lutut Lily tak sengaja menyenggol luka pada sikut lengan Isaac saat hendak berdiri.
"Ta—tanganmu terluka?" Lily meraba pelan sikut lengan Isaac, menulusuri garis luka, sepertinya luka mengangga itu cukup panjang.
"Aku baik-baik saja, Lily." Isaac menarik tangannya.
"Tidak, itu terlihat mengerikan, Isaac." Lily memang tidak bisa melihat, tapi dia bisa merasakan. Dan luka itu masih basah, itu artinya masih bisa mengeluarkan darah.
"Kenapa kau malah mengobatiku padahal kau sendiri terluka?" Lily mencoba untuk mendelik galak pada Isaac, padahal arahnya salah. Isaac terkikih pelan, wajah panik Lily justru terlihat lucu saat ini.
"Kau lebih rapuh dariku, Lily. Bagiku luka seperti ini tak ada artinya." Isaac tersenyum sebelum kembali berucap, "lebih sakit saat kau menolakku barusaan."
"Isaac!!"
"Hehehe, pikirkanlah baik-baik, Lily. Kita bisa mencoba untuk saling mengenal terlibih dahulu." Isaac mengecup punggung tangan lily. Lagi-lagi jantung Lily melonjak, tenggorokannya langsung tercekat.
Lily bergeleng pelan, masih menolak keinginan Isaac untuk mendekatinya.
Perasaan Lily sebenarnya sudah mulai goyah, Isaac telah berhasil menerobos batasan yang dibuat Lily. Bisa berada begitu dekat dengan seorang pria adalah sebuah keajaiban baginya. Namun lagi-lagi logika Lily memupus rasa, Lily takut kesedihan yang lain akan muncul setelah segalanya terungkap. Setelah Isaac tahu penyebab traumanya, setelah Isaac tahu masa lalunya.
"Tidak, Isaac. Maafkan aku," lirih Lily.
Isaac membungkuk dengan kepala tertunduk dalam. Perasaannya aneh, rasa marah, sakit, dan kecewa berkecambuk menjadi satu saat Lily menolaknya. Apa Lily masih belum bisa menerima kehadirannya? Kenapa Lily begitu susah untuk memahami, bahwa Isaac tak punya tujuan buruk, hanya ingin mengenal, berteman, memberikan sandaran.
"Kau harus mengobati lukamu, Isaac." Lily menggerayang ke arah sembarangan, mencari kotak obat.
"Tidak perlu!" Isaac mengnepis tangan Lily. Ia bangkit, beringsut pergi meninggalkan Lily begitu saja. Lily terpaku, sepertinya Isaac kecewa.
.
.
.
[Ah, pasti Isaac kecewa padaku. Dia bahkan sampai terluka saat memanjat pagar, dan semua itu hanya demi menyelamatkanku. Kenapa aku malah menolak keinginannya untuk saling mengenal?] lamun Lily setelah kejadian semalam berhenti berputar dalam benaknya.
Krring ...!
Bunyi telepon membuyarkan lamunan Lily.
"Ach...!" Lily tak sengaja tertancap duri pada tangkai bunga mawar. Cepat-cepat Lily mengulum jarinya yang berdarah.
Perlahan Lily bangkit, meraba-raba permukaan meja untuk mencari pesawat telepon.
"Halo, Helena Florist, ada yang bisa saya bantu?" tanya Lily sopan.
"Halo, saya ingin memesan buket bunga."
"Te-tentu saja, Tuan. Kalau boleh tahu buket bunga apa yang Anda inginkah?" tanya Lily.
"Uumm ...," gumamnya berpikir.
"Untuk pernikahan, kelahiran, kematian, atau mungkin ungkapan cinta untuk kekasih Anda?" Lily memberikan opsi, mungkin pria di seberang sambungan telepon bingung dalam memilih bunga.
"Untuk, eum ... kekasih," jawabnya setelah berpikir beberapa saat.
"Banyak bunga untuk mengungkapkan cinta, Tuan. mawar, lili, tulip merah, peony, ah ... hampir semua bunga bisa." Lily tersenyum sembari memainkan kabel pada pesawat telepon.
"Mawar saja. Aku mau bunga mawar merah."
"Pilihan yang bagus, Tuan. Kebetulan bunga mawar sedang merekah dengan indah. Saya akan merangkainya, cantik dan indah, kekasih Anda pasti akan bahagia."
"Aku minta buket bunga yang terbaik!"
"Tentu saja Tuan, boleh saya tahu nama Anda?"
"Frank. Frank Gysor."
"Baik Tuan Gysor. Jam berapa Anda akan mengambilnya? Atau mau pakai jasa kurir?"
"Tidak, aku sendiri yang akan mengambilnya sebentar lagi."
"Baiklah, sekitar satu jam lagi buketnya jadi. Terima kasih." Lily menutup sambungan telepon dengan riang. Akhirnya ada juga pesanan masuk, setelah sehari kemarin tidak ada pembeli sama sekali.
"Aku harus berusaha!" Lily memutar tubuh, mengambil tongkat dan segera bergegas untuk merangkai bunga mawar pesanan pelanggan.
— Bahasa Bunga —