Matahari berangsur-angsur tumbang. Kegelapan mulai menyelimuti desa. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menerangi ruas jalan setiap lima meter. Pertokoan mulai tutup, sebenarnya para pedagang sudah membereskan dagangan mereka sejak sore, tapi setelah menghitung pendapatan, stok barang, dan gaji pegawai barulah malam hari mereka bisa tutup.
Lily masih terjaga saat suara ketukan pelan terdengar. Siapa yang mendatanginya malam-malam? Dengan segera Lily bangkit, melihat jalan dengan bantuan tongkat.
"Lily!!" teriak Bella, wajah gadis tomboi itu terlihat ceria. Rambut keritingnya terus bergoyang karena terpaan angin.
"Ini kami!" Noir ikut berteriak. Lily tersenyum, kini dia tahu siapa yang datang. Ternyata dua orang sahabatnya. Noir Lincon gadis dari peternakan dan Bella Roland gadis penjual buah.
"Apa yang membawa kalian malam-malam kemari?" Lily menyambut keduanya. Sedikit heran dengan keberadaan mereka berdua, pasalnya kedua gadis itu tidak tinggal di toko sama seperti Lily, mereka tinggal di perumahan —terletak tak jauh dari pertokoan— seperti bibi Helen.
"Bau apa ini?" Lily mencium bau wangi merebak, menggelitik hidungnya.
"Ini alasan kami kemari, Ly. Ayam panggang!" Noir membuka tutup panci, aroma semerbak rempah bercampur lemak ayam yang meleleh menggugah selera.
"Serius??" Lily membelalak, tak menyangka keinginannya untuk menyantap ayam panggang akan terlaksana secepat itu. Padahal baru siang tadi Lily menceritakannya pada Isaac.
Isaac? Iya, Lily hanya bercerita kepada Isaac? Benarkan hanya kebetulan semata? Atau ada sangkut pautnya dengan Isaac?
"Apa Isaac yang memberitahu kalian?" tanya Lily.
"Isaac? Siapa?" tanya Noir, Bella langsung menyelanya.
"Bukan, Lily. Kami kemari karena mengingatmu. Noir panen ayam hari ini." Bella menyenggol lengan Noir sebagai kode untuk segera masuk ke dalam. Entah kenapa Lily merasa sedikit kecewa.
"Ayolah, ini berat, kapan kau mengizinkan kami masuk?" Noir, gadis dengan tubuh berisi akhirnya merangsek masuk.
Bella mengekor, disusul Lily setelah pintu tertutup. Bunyi lonceng mengiringi ketiganya masuk ke ruang makan. Noir bergegas menggelar 3 buah piring, pisau, dan garpu. Bella menata gelas berisi air perasan jeruk dari tokonya.
"Apa yang bisa kubantu?!" Lily meraba-raba meja.
"Duduk saja, bantu kami menghabiskan ayam." Noir tersenyum, dengan cekatan jemari gompalnya mengiris perut ayam. Wortel, kentang, dan sayuran cincang lain langsung menghambur keluar bersamaan dengan aroma rempah yang gurih. Lily menelan ludah, begitu pula Bella.
"Ini luar biasa, Noir!" Bella bertepuk tangan.
"Mari kita makan!" Noir menggoyangkan kepalanya bahagia, ia membagi hidangan pada piring masing-masing.
"Bersulang!" Bella mengangkat gelas, ketiga gelas itu beradu, berdenting pelan.
"Waw, ini enak sekali, Noir! Kau koki terbaik, suamimu pasti bahagia!" Bella mengangguk, tangannya masih sibuk mengiris, sementara mulutnya sibuk mengunyah daging.
"Apa Noir akan menikah?" Lily terkesiap mendengarnya.
"Benar, Lily, sebentar lagi aku akan menikah. Akhir musim panas ini, dengan Si Gendut Bobby. Kau kenalkan?" Noir terkikih, wajahnya merona. Pipi gembulnya terlihat menggembung karena penuh makanan.
"Wah, selamat, Noir."
"Bisa kau buatkan aku buket bunga, Lily?"
"Tentu saja, Noir. Aku buatkan yang terbaik." Lily mengangguk.
"Aku harap kalian berdua bisa menjadi gadis pengiring." Noir menyentuh tangan kedua sahabatnya.
"Serius?" Bella terbelalak senang.
"Serius, Girls."
"Tapi aku tidak punya pasangan." Lily menunduk.
"Bukankah masih ada si kurir pengantar barang itu?" ledek Bella sebelum memasukkan potongan daging ayam yang lembut ke dalam mulut. "Dia bisa menjadi pengiring pria pasanganmu."
"Oh, yang kata orang sangat tampan dan sopan itu?? Kalian saling mengenal?" Noir menutup mulut setengah tak percaya.
"Dia bahkan membantu Lily di toko, Noir! Makanya jangan hanya berkutat dengan sapi-sapi itu setiap hari." Kini Bella meledek Noir. Membuat Noir memanyunkan bibirnya sebal.
"Wah, hebat! Tapi pria itu sungguh misterius, aku dan Bella yang telah dua puluh tahun hidup di desa ini tak pernah melihatnya, tak tahu di mana dia tinggal." Noir meletakkan gelas yang telah kosong.
"Dia bilang dari desa sebelah." Bella mengelap mulut dengan lap makan.
"Itu lebih misterius lagi, desa sebelah lumayan jauh bila harus naik sepeda." Noir menatap Bella. Noir tahu, dia biasa menggunakan truk saat mengirim hasil panen lahan.
"Benarkah?" Lily menelan ludahnya, terlihat cemas.
"Tapi aku kira tak ada yang perlu dicemaskan Lily. Isaac terlihat baik dan sopan. Dia selalu menyapa kami setiap kali lewat. Semua penduduk desa ini menyukainya. Terutama para wanita." Bella tertawa untuk mencairkan suasana, Noir mendelik galak pada Bella, untuk apa menyertakan kata 'wanita' di akhir kalimatnya? Membuat Lily kehilangan semangat.
"Ups, sorry!" lirih Bella.
"Ayo habiskan makanannya." Noir menutup perbincangan mereka tentang Isaac.
Dengan wajah masegul Lily memikirkan ucapan Bella. Tentu saja, kalau Isaac betul-betul tampan sudah pasti banyak wanita yang akan menyukainya. Tapi rasanya aneh, hati Lily seakan sesak saat mendengar kebenaran itu. Apa yang terjadi padanya?
"Hei, kenapa kau lantas cemberut?" Noir menepuk Lily, membuat lamunannya buyar.
"Tidak, siapa yang cemberut," jawab Lily.
"Kau memikirkan para gadis itu? Yang menyukai Isaac?" Bella terkikih, ucapannya kali ini benar-benar membuat Lily kehilangan semangat.
"Tidak kok," sergah Lily, menolak mengakui perasaannya.
"Lupakan tentang gadis-gadis itu. Aku punya sesuatu untukmu, Lily." Noir mengeluarkan beberapa benda dari dalam saku dress. Meletakkannya di atas meja.
"Apa ini?" tanya Lily.
"Bedak, lipstik, dan pensil alis. Kau harus jadi cantik agar pria melirikmu. Jangan seperti gadis kriting ini, peringaiannya saja seperti lelaki, tak pernah bersolek. Mana ada pria yang mau mendekatinya?" Noir menyindir Bella.
"Hei, aku punya kekasih!" Bella tidak terima.
"Tapi tak kunjung dinikahi. Itu tandanya dia tidak serius terhadapmu." Lanjut Noir, Bella langsung cemberut.
"Terimakasih, Noir. Tapi aku tak tahu cara menggunakannya." Lily menolak hadiah dari sahabatnya itu.
Noir dan Bella terdiam, mereka lupa, Lily buta. Tak mungkin gadis itu bisa bersolek saat matanya tak bisa melihat.
"Pokoknya simpan saja, kami akan membantumu berdandan." Noir tetap memberikan hadiah itu pada Lily.
"Baiklah, aku akan menyimpannya," jawab Lily.
Makan malam yang hangat berubah menjadi perbincangan yang cukup serius lagi berat saat Bella menyinggung tentang pembangunan pabrik. Desas desus yang terdengar di seluruh desa mengatakan bahwa Frank Gysor akan membangun pabrik di lahan peternakan milik keluarga Noir. Mereka bilang lahan itu lahan sengketa. Perkebunan anggur milik Franklah yang memiliki akte tanah yang sah.
"Apakah berita itu benar?" tanya Bella prihatin.
"Entahlah, ayah dan saudaraku belakangan ini sibuk mengurus kasus itu ke pengadilan daerah. Aku sendiri tak tahu kebenarannya karena tanah kami diwariskan secara turun temurun." Noir menghela napas panjang.
"Apa yang akan kau lakukan, Noir?" tanya Lily, sebenarnya Lily tak tahu dengan pasti duduk permasalahan itu. Tapi mencoba untuk memahami dan memberikan dukungan.
"Sementara ini, kami hanya bisa mengikuti jalannya persidangan. Naik banding, tanah itu sudah menemani kami selama tiga generasi. Tak mungkin tanah itu milik lahan perkebunan anggur." Noir menelan ludahnya berat, menilik begitu banyak kenangan membuatnya sedih.
"Bahkan beberapa penduduk lain juga terkena kasus ini. Aku tak tahu apakah rumah mereka juga akan tergusur?" tambah Noir lagi, tak hanya keluarganya yang terseret kasus sengketa lahan, beberapa orang desa lain juga, bahkan ada di antara mereka yang telah renta. Dalam usia lanjut, bukannya menghabiskan sisa usia dengan tenang malah harus menelan kekecewaan karena terancam akan terusir dari rumah mereka sendiri.
"Aku akan berdoa untuk kebaikan kalian, Noir." Lily memeluk sahabatnya, "semuanya akan baik-baik saja."
"Terimakasih, Lily." Noir memeluk Lily, Bella berdiri di samping Noir dan menepuk pundaknya.
Malam semakin larut, gadis-gadis itu harus mengakhiri perbincangan mereka. Tidak aman keluar malam sendirian. Sudah saatnya juga beristirahat, menyegarkan tubuh agar besok bisa kembali bekerja.
— Bahasa Bunga —