ROSE
Lambang cinta yang dalam, kasih yang mesra, dan romantisme kehidupan
*****
Musim panas akhirnya tiba, suhu udara meningkat drastis, dedaunan semakin menghijau, dan bunga-bunga liar terlihat semakin cerah. Musim panas memang membuat beberapa jenis tumbuhan semak tumbuh semakin subur karena banyaknya sinar matahari.
Isaac mengayunkan pedal sepedanya dengan riang, sudah satu bulan sejak Lily mengizinkan Isaac membantunya, bekerja di toko bunga. Membantu Lily memilih bunga yang akan dirangkai. Lily juga begitu bersemangat akhir-akhir ini. Pesanan buket bunga kembali mengalir. Kehadiran Isaac membuat toko bunga kembali hidup, banyak orang kembali memesan bunga. Bunga buatan Lily tak lagi ada yang layu atau menghitam.
Ditambah dengan pesona Isaac, para gadis selalu datang untuk membeli bunga, em ... lebih tepatnya untuk melihat wajah tampan Isaac. Bunga hanyalah alas an bagi mereka.
Isaac berangkat lebih pagi, hendak mampir ke toko roti milik bibi Joel terlebih dahulu, mengambil kue pesanannya. Beberapa hari lalu Lily berulang tahun —Bella yang memberitahu. Isaac ingin memberi kejutan kecil bagi Lily.
"Panas dan gerah!" Bibi Joel keluar dari dapur dengan mengibaskan tangan. Mencoba mengusir hawa panas walau percuma.
"Bibi." Sapa Isaac.
"Oh, hai, Tampan. Kau datang untuk mengambil pesananmu?" Wajah Bibi Joel langsung terlihat cerah begitu melihat Isaac, suaminya berdehem dari dalam ruangan.
"Iya."
"Kubuatkan pai apple, ini sangat enak!" Bibi Joel mengeluarkan wadah pai dari etalase kaca, dengan cekatan wanita itu membungkus kue pai dengan kotak kardus berwarna pink.
"Terimakasih, Bibi. Ini uangnya." Isaac memberikan sejumlah uang, lebih banyak dari harga seharusnya.
"Tidak, jangan Nak!" tolak Bibi Joel.
"Tidak apa, Bi."
Isaac menaruh kotak kue di keranjang belakang. Tempatnya biasa menaruh bunga besar saat ada pesanan.
"Terima kasih, Nak!"
"Sama-sama!" teriak Isaac yang sudah melaju.
Isaac kembali menyelusuri trotoar berpaving, sinar matahari mengiringi putaran roda. Panas dan gerah, musim panas memang membuat produksi keringat semakin berlebih. Apa lagi sambil mengayuh sepeda. Untunglah panasnya hari tak menyurutkan keceriaan di wajah Isaac.
Bunyi lonceng dan gemericik tempis air terdengar begitu Isaac membuka pintu. Rasa penasaran menggelayuti Isaac, cuaca panas sekali tidak mungkin hujan turun. Apalagi asal suara gemericik itu dari dalam rumah. Isaac menaruh kue di atas meja kasir, lalu melangkah perlahan menuju ke bagian pembudidaayaan bunga.
Ruangan luas itu dipenuhi pot-pot bunga. Di sepanjang dinding ada bak dengan cerukan mirip parit besar berisi berbagai jenis bunga mawar. Di bagian atas terdapat pipa-pipa memanjang diagonal dengan lubang-lubang miring berukuran kecil —instalasi springkel sederhana. Saat keran air dibuka air akan menyiram seluruh ruangan secara ototmatis seperti hujan.
Lily menengadah, menikmati guyuran air dari springkel. Gaun sifon putih motif bunga-bunga kecil tanpa lengan terlihat telah basah kuyup, melekat sempurna pada lekukan tubuh Lily. Lily terlihat menikmati segar dan dinginnya mata air pegunungan pada hari yang panas ini.
"Segar sekali," lirih Lily, air masuk membasahi rongga mulutnya. Bibir merah ranum itu terlihat basah oleh butiran air.
Tangan Lily bergerak pelan, membasuh rambut coklat kemerahan panjang yang telah luruh karena basah. Sesekali Lily tersenyum, lalu beralih untuk membasuh tangan dan kaki. Menyingkapkan sedikit ke atas rok bermotif bunga-bunga kecil. Memperlihatkan paha putihnya yang mulus.
Dengan berat Isaac menelan ludah, mata coklat hazel berkilat menatap lekukan indah di hadapannya tanpa berkedip. Apa lagi pada bagian saat Lily membasuh kaki, kaki yang jenjang dan mulus itu membius Isaac dengan pesona keindahannya. Isaac merasa semakin gerah, ingin rasanya ikut merasakan segarnya guyuran air dingin bersama dengan Lily.
"Ehem," dehem Isaac.
"Hah??" Lily menoleh kaget ke arah sumber suara.
"Boleh aku ikut bergabung? Sepertinya asyik." Isaac melepaskan sepatu model boot dan kemeja katun kotak-kotak yang melekat pada tubuhnya.
"I ... Isaac??" Lily bergegas menutup pahanya dengan dress basah.
Isaac mendekati Lily, tubuh kokoh yang hanya berbalut celana kain coklat panjang mulai basah karena guyuran air.
"Ide yang unik, siapa yang membuatnya, Ly?" tanya Isaac, mata pria itu jelalatan ke atas, melihat sirkulasi pipa yang menyemburkan air lewat lubang-lubang kecil. Menyiram seluruh area pembubidayaan bunga secara otomatis.
"Mendiang paman Raft yang membuatnya." Lily menunduk. Lily mencoba menata hatinya yang tidak tenang. Tangan Lily meremas erat gaun, menyembunyikan rasa aneh yang tak tertafsirkan dari dalam hatinya.
Isaac tersenyum, tangannya mengambil alih tangan Lily. Sementara tangan yang lain mencekal dagu gadis itu, mengangkatnya. Lily mendongak, ketakutan mulai menjalar, tubuhnya mulai bergetar karena sentuhan Isaac. Mata Lily langsung terpejam.
"Sepertinya aku benar-benar telah jatuh cinta padamu, Lily." Isaac mendekatkan wajah mereka. Sekejap kemudian bibirnya telah berhasil mendarat lembut di atas bibir Lily.
Lily terus memejamkan mata, tangannya semakin erat mencengkram gaun basah itu, sementara tangan yang lain memberontak dari genggaman Isaac.
Isaac mengulum lembut bibir ranum Lily, melumatnya dengan perlahan. Lily hendak memberontak, namun Isaac telah menangkup wajahnya. Menyelipkan kedua telapak tangan di belakang tengkuk Lily. "Tenanglah Lily, tenang! Jangan takut."
"Isaac," lirih Lily.
Isaac mengusap lembut bibir Lily dengan ibu jari, seulas senyum kembali terkembang di wajah tampan Isaac. Sedangkan Lily masih terus memejamkan mata, antara takut dan juga malu. Isaac menyatukan dahi mereka, hembusan napas terasa hangat dalam guyuran air. Air mengalir di antara hidung keduanya, terus luruh.
"Jangan takut, aku akan menjagamu, aku tak akan menyakitimu." Isaac kembali mengecup pelan bibir Lily, perlahan namun dalam. Rasa manis menyeruak pada indra pengecap keduanya. Manis dan hangat, sesekali air tawar terkulum masuk, tapi tak bisa menetralkan rasa manisnya.
"Aku mencintaimu, Lily," bisik Isaac, lalu membawa tubuh ramping Lily masuk dalam pelukkannya.
Lily terdiam, memilih untuk mendengarkan detak jantung Isaac yang menderu. Hati Lily merasa bahagia, namun juga takut. Bolehkah dia berharap? Akan sebuah kebahagiaan kecil dan rasa nyaman yang indah ini?
"Kau mau berdansa?" tanya Isaac.
"Hah? Ber-dan-sa?" Lily mengeja pertanyaan Isaac kikuk.
"Kemarilah!" Isaac menarik tangan Lily, membawa gadis itu ke tengah-tengah ruangan. Ruangan dengan atap terbuka dan dikelilingi pot-pot besar tempat Lily membudidayakan bunganya kini legang. Lily diam karena malu sedangkan Isaac sibuk memposisikan diri. Air masih menghujani mereka dengan lembut.
"Isaac, aku tidak bisa berdansa." Lily menarik tangannya.
"Aku akan mengajarimu, Lily. Cukup berpegangan padaku seperti ini." Isaac menaruh ke dua tangan Lily ke atas pundak, sedangan tangannya melingkar pada pinggang Lily.
"Ke kanan, ke kiri, maju, mundur. Mudahkah?" Isaac memberi contoh, Lily mengangguk.
Sedikit susah, tak jarang Lily menginjak kaki Isaac. Tapi hal ini cukup menyenangkan dan Lily menyukainya.
"Cukup latihannya, ayo kita berdansa, Lily." Mata Isaac menatap lamat pada mata gadis cantik di depannya. Mata zambrut yang cantik, tapi menerawang kosong ke arah sembarangan.
[Benarkah kau tak bisa melihatku, Lily?] Pikir Isaac, mata itu seindah batu mulia, tapi tidak berfungsi.
"Pada hitungan ke tiga," tukas Isaac, Lily mengangguk setuju.
"Satu, dua, tiga, It's now or never, come hold me tight. Kiss me my darling. Be mine tonight. Tomorrow will be too late. It's now or never. My love won't wait ...." Isaac mengajak Lily berdansa sambil menyayikan lagu romantis yang sedang hits kala itu.
Lily cekikilan, ia tak menyangka Isaac bisa bernyanyi dengan merdu. Bahkan sambil berdansa. Lily begitu bahagia, rasa takut perlahan-lahan menghilang. Tersapu oleh luapan perasaan. Isaac bergerak seirama dengan lagu lembut yang dinyanyikannya. Dagunya menyentuh dahi Lily, sangking dekatnya jarak mereka hanya terpisahkan oleh lembaran tipis kain pembungkus tubuh.
"When I first saw you. With your smile so tender. My heart was captured. My soul surrendered. I'd spend a lifetime. Waiting for the right time. Now that you're near. The time is here at last ...." Isaac mendorong perlahan tubuh Lily, membuatnya berputar lalu kembali membawa Lily masuk ke dalam pelukkan Isaac. (Elvis P – It's Now or Never)
Napas keduanya tersengal, lelah dengan gerakan terakhir yang cukup sulit. Bahu Lily naik turun, mencoba mengatur napas dan detak jantung yang melaju sama cepatnya. Isaac mengusap perlahan bibir Lily yang ranum, mendekatkan wajahnya dan berbisik, "bagaimana? Apa jawabanmu?"
Blussh ... wajah Lily merona merah, dalam guyuran air Lily masih bisa merasakan kehangatan tiap-tiap sel darah yang terpompa ke suluruh tubuh. Sensasi dan getaran rasa saat Isaac berbisik kepadanya sungguh membuat Lily kehilangan pengendalian diri. Kehilangan pertahanannya.
"Isaac, aku ...," lirih Lily.
"Aku tahu kau punya perasaan yang sama denganku, Lily." Isaac mengecup pelan dahi Lily, Lily tak berkutik. Benar Lily juga telah mencintai Isaac. Terlepas dari rasa takut dan juga minder yang bergejolak lebih besar saat ini Lily memang punya benih cinta yang tumbuh subur dalam hatinya.
"Kau mau menerimaku, Isaac?" tanya Lily.
"Memang apa yang kurang darimu?!" Isaac masih mendekap Lily.
"Aku buta, aku punya trauma, aku ...." Lily tak bisa melanjutkan ucapannya. Terlalu berat mengakui kalau dirinya tak lagi utuh, tak lagi suci.
"Kau bilang manusia adalah makhluk yang paling pintar beradaptasi. Aku bisa beradaptasi dengan segala kekuranganmu." Isaac mengangkat dagu Lily, Lily menatap Isaac, samar sekali, buram. Apa lagi ditambah dengan air mata haru yang keluar membasahi pelupuk matanya.
"Jangan menangis!" Isaac tersenyum.
"Ini bukan tangisan, ini kebahagiaan." Lily mengusap mata, lalu memeluk Isaac, Isaac balas memeluk Lily. Mereka berdua masih berada dalam guyuran air dingin. Dalam dinginnya air perasaan mereka berdua tetap hangat.
"Lepaskan segala kesesakkan dalam hatimu, Ly. Luapkan semuanya. Ganti dengan kebahagiaan. Kita akan menitinya bersama." Isaac mengecup pucuk kepala Lily.
"Bagaimana kalau tidak bisa Isaac? Bagaimana kalau aku tak bisa sembuh dari trauma ini?"
"Aku tak akan menyerah, Lily. Walau butuh waktu bertahun-tahun lamanya." Isaac menggenggam tangan Lily, Lily membalas genggangan tangan Isaac.
"Walau susah?" Lily menengadah.
"Walau susah, walau berat, walau jauh, dan selama apapun itu." Isaac tersenyum, dengan lembut ia mengelus pipi mulus Lily, menyisir anak rambut basah ke belakang telinga.
"Hiks ...." Tangis Lily kembali pecah.
"Izinkan aku mencintaimu, Lily. Izinkan aku menjadi garis hidupmu. Bolehkah?" pinta Isaac. Lily mengangguk.
Pagi itu, dimulailah kisah cinta antara Lily dan Isaac.
— Bahasa Bunga —