Isaac memutar tubuh Lily, kini Lily yang berada di bawah tubuh Isaac. Lengan Isaac menahan kokoh tubuhnya sendiri agar tidak menindih tubuh Lily. Wajah Lily menghangat, berbaring di tengah padang bunga dengan pria yang dicintai tepat berada di atas tubuhnya membuat aliran darah Lily seakan terhenti.
Isaac menatap Lily lamat, menembus masuk ke dalam netra zambrut Lily yang buram. Isaac lagi-lagi terpesona dengan mata itu. Pandangan mata Isaac mulai beralih, turun pada hidung mancung kemudian bibir ranum Lily yang semakin merona karena pemulas bibir. Terlihat lembab dan menggairahkan. Isaac tak mampu menahan gejolak hasratnya sendiri untuk tidak mencium Lily. Sedetik, hanya butuh waktu satu detik bagi Isaac untuk mendaratkan bibirnya, melumat lembut bibir kekasihnya. Berbagi napas, berbagi kecapan manis, berbagi luapan cinta. Lily memejamkan mata, menikmati hangat belaian Isaac, juga gerakan halus atas kepemilikan bibir ranum itu. Dada Lily terus bergerak, naik turun tanpa jeda, seirama dengan alunan bibir Isaac.
"Lipstikmu hilang." Isaac mengusap noda merah yang belepotan di sekitar bibir Lily, akibat ciuman yang panas.
"Ah, pasti menempel pada bibirmu, Isaac." Lily terkikih.
"Benarkah?" Isaac bangkit mengusap juga sekitar bibir dengan ibu jari, ternyata benar lipstik Lily membekas juga pada bibirnya. Isaac tertawa kecil, untung saja ia telah menyadarinya sejak awal.
"Kemari, duduklah di sampingku." Isaac yang telah menaruh pantatnya menarik tangan Lily, membantu Lily duduk.
"Baiklah." Lily duduk, melipat miring kedua kakinya yang mulus. Sesekali Lily membetulkan rok agar tidak tersingkap oleh hembusan angin. Isaac menyadari hal itu langsung merebahkan kepala tanpa izin di atas paha Lily.
"Isaac?!" pekik Lily kaget.
"Tolonglah, aku lelah sekali mengkayuh sepeda. Juga menahan tubuh saat kita berciuman tadi." Isaac mengiba sambil berpikir. Lily tersenyum dan mengangguk memberi izin.
Isaac melepaskan flat cap, lantas menengadah untuk melihat wajah cantik Lily dari sudut yang berbeda —sisi bawah. Lily terlihat sedang menikmati kesegaran angin pada kaki pegunungan. Cukup dingin di sore hari, beruntung tadi Lily memakai outer cardigan sebagai pelindung.
"Sinar matahari yang hangat, belaian angin yang sejuk, dan bunyi kicauan burung yang merdu. Andai saja aku bisa melihat semua itu, Isaac. Aku pasti akan merasa sangat bahagia." Lily tertawa, merasakan saja sudah bahagia, apalagi bisa melihat semuanya.
Isaac terrenyuh, hatinya menjadi sesak mendengar ucapan Lily. Dengan perlahan Isaac mengangkat tangan, mengelus lembut dagu sampai ke pipi Lily. Gadis itu menikamati sentuhan hangat Isaac sambil memejamkan mata
"Bisa melihat segalanya bukan berarti akan bahagia, Lily," kata Isaac lembut.
"Andai aku bisa melihat wajahmu, Isaac." Lily mengelus rambut coklat gelap Isaac.
"Kau pasti tak akan mencintaiku bila bisa melihatnya." Isaac berucap datar.
"Kenapa?"
"Aku jelek." Isaac bercanda.
"Bohong, Bella bilang kau sangat tampan." Lily terkikih.
"Oh, ya?"
Lily mengangguk seraya berkata, "ceritakan sesuatu tentangmu, Isaac. Aku sadar aku tidak mengenalmu sama sekali, aku tidak tahu apapun tentang dirimu."
"Kau mau mendengar apa lagi? Aku hanya kurir pengantar barang, kau tahukan tak ada yang istimewa dari pekerjaanku selain bisa bertemu dengan banyak orang dengan berbagai kepribadian. Hm ... tapi aku bersyukur dengan pekerjaanku ini, karena pekerjaan inilah aku bisa bertemu denganmu, Lily. Mengenalmu, sampai bahkan jatuh cinta padamu." Isaac memiringkan tubuh, —dengan kepala masih bersarang di paha Lily— kini menatap lamat ke arah danau yang tenang.
"Bagaimana dengan keluargamu? Kau punya saudara? Tanggal lahir? Makanan kesukaan?" Lily benar-benar penasaran dengan sosok Isaac, baru sadar kekasihnya itu ternyata sangat misterius. Lily tak tahu apapun tentang Isaac, bahkan hal yang paling mendasar, Lily tak tahu nama keluarga Isaac.
"Orang tuaku bekerja di kantor pemerintahan. Aku anak tunggal, lahir pertengahan musim dingin. Aku suka begel dan teh buatanmu," jawab Isaac.
"Ah, begitu."
"Ada lagi yang ingin kau tahu?"
"Apa ya?" Lily tampak sedang berpikir.
"Giliranmu menceritakan tentang hidupmu, Lily. Kenapa kau tinggal di desa ini? Bukankah lebih nyaman tinggal di kota?" Isaac menyelidik.
"Ah, itu ... panjang ceritanya." Lily menggigit bibir, bingung dari mana harus memulai kisah menyedihkan itu.
"Aku punya banyak waktu." Isaac menanti, Lily menghela napas lalu mulai bercerita.
"Aku anak ke lima dari enam bersaudara. Ayahku seorang veteran perang, kakinya hilang satu, dan ayah terpaksa pensiun dari angkatan darat. Ibu hanyalah seorang penjahit pakaian. Kami hidup pas-pasan dari uang pensiun ayah dan jasa penjahit yang tidak seberapa. Ibu selalu membeli biskut, gandum, dan apapun dengan kualitas paling rendah agar semua perut kami bisa terisi." Lily menerawang kosong, mengingat kehidupan keluarganya sebelum pindah ke desa.
"Tak ada kesempatan sekolah tinggi karena keterbatasan dana, apa lagi bagi wanita. Hanya kakak pertama, dan adik bungsuku yang akan bersekolah sampai ke universitas karena mereka pria. Ayah bilang pria akan menjadi kepala keluarga, sedangkan wanita hanya akan memelihara rumah. Tak ada gunanya bersekolah tinggi-tinggi kalau pada akhirnya hanya akan melahirkan dan mengurus anak." Lily tersenyum, ucapan ayahnya memang masuk diakal.
"Kau ingin bersekolah?" tanya Isaac.
"Iya, aku berusaha, mendapatkan beasiswa dari pihak universitas. Dan, yah, dengan kerja keras akhirnya aku mendapatkannya. Jurusan keperawatan. Sudah jadi impianku untuk menjadi seorang perawat, Isaac." Lily mengenang impiannya yang hilang, pupus menjadi angan-angan semata.
"Kenapa berhenti? Kenapa tidak masuk?"
"Bagaimana bisa menjadi perawat kalau tidak bisa merawat diri sendiri? Aku buta, Isaac, bahkan saat itu untuk membersihkan diri saja aku tidak bisa." Lily terkikih dengan pertanyaan konyol Isaac. Apa laki-laki itu lupa kalau dirinya rabun, hampir buta??
"Semenjak buta dan depresi, ayah dan ibu semakin susah mengurusku. Akhirnya mereka berencana memasukkanku ke rumah sakit jiwa. Beruntung Bibi Helen sedang mengunjungi putrinya di kota. Beliau mendengar kabar tentangku dan membawaku kemari." Lily tersenyum tipis.
"Kenapa orang tuamu jahat sekali? Memasukkan putrinya sendiri ke rumah sakit jiwa?" Isaac membelalak tak percaya.
"Yah, saat itu biaya pengobatan mata sangat mahal, aku sering jatuh dan terluka karena tak bisa melihat. Aku juga menangis setiap hari, menggila setiap kali hujan turun, dan aku mencoba bunuh diri setiap teringat kalau aku ...." Lily menelan ludah dengan berat, kalimat terakhir ini terlalu susah untuk diungkapkan.
"Kalau aku apa??" Isaac mendesak Lily untuk mengatakkannya.
"Kalau aku ... aku kehilangan bayi yang kukandung sebelum sempat mengetahuinya." Air mata Lily jatuh di atas pipi Isaac. Isaac terperanga. Mata Isaac langsung membulat saat mendengar penuturan Lily tentang kisah hidupnya.
"Kau pernah hamil?!!" Isaac mencengkran lengan Lily, masih terperanjat tak percaya.
"Iya, hiks ... aku pernah hamil, Isaac. Maafkan aku, hiks ... harusnya aku menceritakan semua ini kepadamu dari awal. Apa hiks ... kau membenciku??" Lily menangis sampai tersenggal, air mata turun dengan deras. Kini Isaac tahu, dia tak lagi suci, tak lagi utuh. Penyebab depresinya adalah seorang lelaki laknat yang tak bertanggung jawab, memperkosanya saat hujan deras mengguyur kota.
Isaac terdiam, tercekat dengan penuturan Lily. Hatinya bergejolak, rasanya ingin meledak karena amarah yang membuncah. Lily juga semakin terisak tak kala Isaac sama sekali tidak mengeluarkan suara. Lily tahu, cepat atau lambat Isaac akan meninggalkannya saat mendengar semua kebenaran akan masa lalu Lily yang kelam.
"Maafkan aku, Isaac." Air mata membasahi wajah Lily.
"Tidak, Lily. Tidak!! Kau tidak bersalah." Isaac memeluk Lily, memeluk tubuh ramping itu sangat erat. Lily menangis dalam dekapan Isaac. Isaac ikut menangis, hatinya terlalu sesak, terlalu berat, kenapa? Kenapa Lily harus menanggung semua itu sendirian?
"Aku kotor, Isaac. Aku menjijikan! Kau pasti benci padaku bukan? Kau pasti kecewa padaku!" Lily mendadak histeris, berteriak kalap. Matanya terlihat merah, nanar. Tangisan dan ingatan kekecewaan itu memicu depresinya kambuh. Lily mulai belingsatan, mencakar lengannya sendiri. Isaac terlihat khawatir, dengan cepat Isaac menahan pergelangan tangan Lily, menghentikan aksi gadis itu menyakiti dirinya sendiri.
"Tidak!! Aku tidak membencimu, Lily!! Aku tidak membencimu! Aku mencintaimu!! Sungguh, kau gadis yang luar biasa, Lily." Isaac menangkup wajah Lily, menatap lamat. Perlahan, Isaac menghapus buliran air mata dengan ibu jarinya.
"Aku kotor, aku hina, hiks ...," isak Lily.
Dahi keduanya bersatu, Isaac masih menyimpan sejuta perasaan untuk Lily. Merasakan hal itu, Lily yang tadinya meraung dan berteriak histeris mulai berangsur-angsur tenang.
"Jangan pernah menilai dirimu sendiri hina dan kotor, Lily. Kau tidak berhak, dan tak ada seorang pun yang berhak." Isaac memeluk erat tubuh Lily, Lily mengangguk.
— Bahasa Bunga —