Isaac tersentak dari ingatan akan masa lalu. Air mata menetes dari sudut matanya. Api di perapian masih menyala, tapi mulai redup. Lily mengerjapkan mata, terbangun. Segera Isaac menyeka air matanya.
"Isaac, maaf. Aku ketiduran." Lily bangkit.
"Tidak apa, Lily. Aku bisa menahannya semalaman." Isaac meringis saat meluruskan kaki yang kesemutan. Andai Lily bisa melihat ekspresinya saat ini, pasti gadis itu tertawa dibuatnya.
"Kenapa suaramu sengau? Apa kau sakit? Flu?" Lily meraba sebelum menempelkan punggung tangan ke permukaan dahi Isaac.
"Tidak, Lily. Aku hanya lelah." Isaac langsung memeluk Lily, mengusap lembut rambut panjang ikalnya. Lily terkejut, pelukkan Isaac terlalu mendadak, terlalu erat, sampai membuatnya susah bernapas.
"Isaac, lepaskan, sesak sekali." Lily menepuk punggung Isaac.
"Maaf."
"Tidurlah kalau lelah, Isaac."
"Aku tidak bisa tidur."
"Apa mau aku buatkan teh camomile? Teh itu bisa membantumu tidur dengan nyenyak." Lily hendak bangkit dari atas ranjang.
"Tidak! Tidak perlu, cukup temani aku!" Isaac menahan pergelangan tangan Lily.
"Oh, baiklah." Lily mengangguk ragu.
Keduanya tidur berdampingan di atas satu ranjang yang sama. Lampu kuning terlihat redup, kalah dengan bayangan lidah api dari perapian. Isaac melingkarkan tangannya pada pinggang Lily dari belakang. Lily terlihat nyaman bergelung dalam pelukkan Isaac.
"Ceritakan padaku semua tentang masa lalumu, Lily." Isaac berbisik.
Lily memutar tubuhnya, kini mereka saling berhadapan. Lily bisa merasakan degupan jantung milik Isaac. Berdegup begitu kencang.
"Aku tak tahu apa aku mampu membaginya denganmu Isaac." Lily menaruh dahinya pada dada Isaac, bibirnya terkatup.
"Keterbukaan adalah awal dari pemulihan, Lily. Ceritakanlah! Bagilah denganku!" Isaac menggenggam tangan Lily, keduanya bercengkrama.
Lily mengangguk pelan, lantas menghela panjang, menyiapkan hati dan mental. Isaac benar, sudah saatnya Lily terbuka. Kalau memang Isaac mencintainya dengan tulus tentu saja dia bisa menerima segala kekurangan Lily, apapun itu.
Lily menyiapkan hati lalu mulai mengingat dan menceritakan tiap detail masa lalunya, titik balik dalam kehidupannya.
Hari itu hujan turun, suara gemuruh dan hujan deras menelan jerit pilu dan ketakutan. Kilat besar membuat seberkas cahaya super terang pada gelapnya langit malam. Ketiga pria bertubuh tegap membuka pintu kayu coklat besar dan melemparkan Lily ke dalam.
"Nikmatilah dia malam ini! Itu hadiah dari kami!" Ketiganya terkikih lantas menutup pintu.
Lily bergegas membuka sumpalan kain pada mulutnya, dengan cepat Lily bangkit. Matanya melihat ke sekeliling ruangan. Cahayanya remang, hanya lampu tidur kuning yang menyala temeram. Ini adalah sebuah kamar yang menyatu dengan ruang belajar, sangat rapi, penuh dengan buku-buku tebal dalam bahasa yang tak Lily kenal.
Lily menggelengkan kepala. Tak ada waktu untuk terkesima, Lily harus segera meninggalkan ruangan ini. Secepat kilat tangan Lily menyambar gagang pintu. Tapi ternyata, tangan yang menahan pintu jauh lebih kuat darinya.
"Tolong lepaskan saya, Tuan!" Pinta Lily, dengan gemetaran Lily menengadah, melihat sosok pria yang menahan pintu kamar.
Pria itu punya mata hazel yang indah, rambut coklat tua yang tebal, juga hidung yang mancung. Ada tahi lalat kecil di dekat telinga kiri. Tangannya terlihat kokoh menahan daun pintu agar tetap menutup.
Lily menelan ludahnya dengan berat, seluruh tubuhnya berdesir karena rasa takut. Pria itu menatapnya tajam, ia sama sekali tidak bersuara, hanya napasnya yang panas dan bau minuman keras yang terasa begitu menyentuh wajah.
"Saya mau pulang, Tuan!" Iba Lily, dengan perlahan Lily bergerak mundur, sampai akhirnya mentok pada dinding.
Dua langkah, hanya dua langkah dan pria itu telah berhasil mencekal tubuh Lily. Mengunci kedua pergelangan tangan Lily di atas kepala. Lily terbelalak, kecupan basah yang aneh telah bersarang pada lehernya.
"Tidak!!! Jangan!!!" Lily mendorong dada pria itu, mencoba membuat jarak sejauh mungkin. Tapi percuma, bergeser semili pun tidak.
"Lepaskan!! Ini menjijikan!!" Lily meronta dalam dekapan pria itu. Entah apa yang membuat pria itu begitu kuat, mungkin karena minuman keras telah menggugah naluri binatangnya.
Lily melawan, namun semakin melawan pria itu malah semakin bergairah atas tubuhnya. Memberikan bulan-bulanan yang tak bisa Lily tahan.
"Jangan!!" Lily menggigit bibir pria itu saat menyentuh bibirnya.
"Ach!!" Rasa perih membuatnya terpekik kesakitan.
"Sial!" umpatnya kasar sembari memukul wajah Lily, tubuh kurus Lily terhuyung, jatuh dan kepalanya membentur tepian ranjang kayu yang keras. Pelipis Lily mengeluarkan darah segar.
Lily meringkuk tak berdaya di bawah ranjang. Kepalanya bersimba darah segar, rasanya pusing, dan berputar. Berat sekali, pandangan Lily menjadi kabur. Terakhir yang dia ingat, lengan pria itu telah berhasil menyeretnya naik ke atas ranjang.
Lily memilih pasrah, terkukung lemas, menerawang kosong, bahkan air mata pun tak bisa meleleh keluar. Hanya peluh dan darah yang mengucur deras, menggantikan air mata itu sendiri.
GLEGAR!!
Bunyi gemuruh terus bersahutan selama proses menyakitkan itu terjadi. Entah berapa kali pria itu memaksakan kehendaknya atas tubuh Lily. Entah berapa lama Lily merasakan kesakitan dan hentakan kasar darinya. Yang Lily ingat hanyalah suara hujan, suara guruh, keclapan kilat, dan aroma alkohol yang menyengat begitu tajam.
— Bahasa Bunga —