Setahun Isaac bergumul dengan perasaan akan rasa bersalah. Setahun bukanlah waktu yang singkat bagi Isaac untuk memutuskan akan bertanggung jawab terhadap kesalahannya. Isaac pergi mencari Lily di desa. Isaac ingin membawa Lily untuk menjalani pengobatan dan menempatkan Lily pada panti sosial. Membuat gadis itu mendapatkan perawatan dan kehidupan yang layak. Itulah tujuan utama Isaac datang ke desa.
Beberapa hari ia mengamati Lily, bingung bagaimana cara mengajaknya berbicara. Hati Isaac was-was, bagaimana kalau ternyata Lily mengenalinya? Bagaimana kalau ternyata Lily akan menjerit histeris atau bahkan melaporkannya kepada pihak berwajib?
Isaac menatap lamat-lamat ke arah toko bunga, dari seberang jalan Isaac bisa melihat kondisi Lily karena dinding toko terbuat dari kaca. Isaac bosan menunggu, kesempatan tak pernah datang padanya. Isaac harus beraksi, tapi apa? Apa yang harus dilakukan? Bagaimana caranya?
"Telepon?" Isaac melihat deretan angka yang tertulis pada papan nama toko. Dengan segera Isaac masuk ke dalam kotak telepon umun, memutar angka.
Tut ... tut ... "hallo, Helena Florist, ada yang bisa saya bantu?" tak lama panggilan Isaac tersambung, Lily mengangkatnya. Suara Isaac tertahan di ujung lidah. Kelu, tercekat, Isaac tak tahu harus mengatakan apa. Isaac mengeluh sebal dalam hati sebelum menaruh pegangan telepon kembali.
[Bodoh!! Bodoh!! Bodoh!!] Isaac menyalahkan dirinya sendiri. Selama ini dia tak pernah kehilangan kepercayaan diri saat menghadiri sidang, memenangkan kasus demi kasus dengan gemilang. Tapi lihatlah dia kini, berucap pada seorang gadis melalui telepon saja tidak bisa. Ah, sungguh bodoh dan mengecewakan.
Isaac menata hati sebelum mencobanya sekali lagi. Dengan cepat Isaac memasukkan koin, memutar lagi nomor tujuan. Nada sambung kembali, menggetar lewat udara menuju ke gendang telinga. Harap-harap cemas Isaac menunggu, dan tersambung.
"Hallo, Helena Florist, ada yang bisa saya bantu??"
Lagi-lagi, suara Isaac tertahan, tercekat tanpa tahu penyebabnya. Isaac hanya bisa mendengarkan suara Lily sambil menahan dadanya yang bergemuruh. Isaac mengumpati diri sendiri, bahkan sampai nilai koin itu habis, sepatah kata pun tidak berhasil keluar dari ujung lidahnya.
Isaac menyerah, membentur-benturkan kepalanya pelan dengan gagang telepon. Mengumpat pada diri sendiri, pengecut dan tak bisa diandalkan. Dengan lemas dia keluar dari kotak merah telepon umum, duduk pada tepian jalan. Kembali menyangga dagu dan mengamati toko bunga seperti biasa.
Tak lama menanti, Lily keluar, memilih beberapa bunga calla lili dan kembali masuk. Lily sempat berbincang sebentar dengan gadis penjual buah dari toko sebelah. Isaac tak bisa mendengar pembicaraan mereka. Tapi Isaac tahu, Lily terlihat bahagia.
Deritan rem sepeda membuat Isaac menoleh. Seorang wanita muda dengan sepeda biru dan rompi bertuliskan sebuah jasa ekspedisi pengantar barang datang. Isaac menyadari sesuatu. Dia bisa memanfaatkan peluang ini.
"Hei!! Tunggu!!" sergah Isaac.
"Ada apa, Tuan?" tanyanya ragu.
"Apa kau mau mengantar barang?" Isaac mendekat.
"Tidak, aku akan mengambil bunga, mengirimnya ke pembeli."
"Ah, begitu. Kalau boleh tahu, siapa yang menyuruhmu? Bunga apa yang ia minta?" cerca Isaac.
"Kenapa Anda ingin tahu?" tanyanya menyelidik.
"Bisa kau berikan rompimu padaku? Sepeda ini juga? Aku akan membelinya." Isaac mengeluarkan dompet, mengeluarkan semuan isi di dalam dompet itu. Gadis muda itu terbelalak melihat semua uang yang akan diberikan Isaac padanya.
"Ini banyak sekali!"
"Siapa yang memintanya? Diantar ke mana bunganya?" Isaac menukar uangnya dengan informasi dan juga sepeda.
"Bibi Sari, rumah paling ujung, dia meminta bunganya dikirim ke chapel." Mata gadis itu berbinar melihat uang pemberian Isaac.
"Baiklah, aku yang akan mengantarnya. Berikan sepeda dan rompimu sekarang." Isaac memaksa.
"Oke, ini." Dengan senang hati gadis muda itu memberikan semuanya pada Isaac. Sepertinya uang jauh lebih berharga dari pada tanggung jawabnya kali ini.
Isaac masuk ke dalam toko bunga, melangkah ragu masuk lebih dalam. Bunyi lembut lonceng membuat bahu Isaac terjengit.
"Ah, tepat pada waktunya. Apa kau kurir yang disuru Bibi Sari?" Lily memutar tubuhnya begitu mengenali bunyi lonceng, lalu tersenyum hangat.
Isaac tak percaya, gadis itu cantik sekali. Jauh lebih cantik dari bayangannya selama ini. Jauh lebih cantik dibanding sosoknya yang menemani tiap malam pada mimpi-mimpi buruk dan rasa bersalah Isaac. Jauh lebih cantik dari foto hitam putih yang didapatnya satu tahun lalu.
Saat itu bagaikan paku yang menancap pada sebilah papan. Tubuh Isaac membeku, diam, terpesona.
Lily. Dia bunga yang indah, bahkan sangat-sangat indah.
— Bahasa Bunga —