ORCHID
Lambang perasaan takut kehilangan dan ingin selalu menjaga cinta
***
Semerbak bau mentega dan kopi menggelitik hidung Isaac. Pria itu terbangun, perlahan ia mengerjabkan mata sembari meraba sekitar. Kasur empuk itu kosong. Lily sudah tidak ada di sampingnya.
"Ah, kau sudah bangun, padahal aku berencana untuk membangunkanmu." Belum sempat Isaac mencari keberadaan Lily, gadis itu sudah muncul sendiri. Lengkap dengan secangkir kopi dan roti panggang yang menggugah selera.
"Aku bantu." Isaac meloncat dari atas ranjang, menerima nampan.
"Nikmatilah, Isaac." Lily tersenyum.
"Terima kasih untuk sarapannya." Isaac menggigit roti, melahapnya dengan cepat. Mengingat kenangan masa lalu semalaman penuh membuat perutnya keroncongan. Kelaparan.
"Mandilah, Isaac. Aku sudah menyiapkan air hangat. Lagipula ini sudah tengah hari, bukan lagi sarapan, tapi makan siang." Lily terkikih.
"Benarkah?" Isaac melihat ke arah jendela, matahari sudah meninggi. Bertahta kokoh pada singgasananya, memberikan panas pada seluruh desa. Suhu udara meningkat saat musim panas. Curah hujan pun menurun drastis. Saat musim panas, Isaac bisa merasa lega, Lily tak akan menyakiti dirinya sendiri.
"Apa tidurmu nyenyak?" Isaac telah menyelesaikan sarapan sekaligus makan siangnya itu.
"Iya."
"Baguslah."
Isaac mengelus pipi mulus Lily, membuat mata Lily terpejam untuk menikmati belaiannya. Isaac mendekatkan wajah, mendekatkan bibir mereka. Bibir Isaac mendarat lembut di atas bibir ranum Lily, dengan perlahan namun dalam Isaac melumatnya. Lily yang semula terdiam mulai membalas gerakan bibir Isaac yang berirama.
Isaac menarik tubuh Lily, merengkuhnya tanpa jarak. Lily melingkarkan lengannya pada bahu Isaac yang lebar. Rasa kopi terkecap, manis dan pahit secara bersamaan. Napas Lily mulai tersengal saat Isaac tak memberi jeda ataupun kesempatan baginya untuk menarik napas.
"Isaac," lirih Lily.
Isaac melepaskan panggutannya, menatap intens pada wajah kekasihnya. Menatap lembut pada bunga indah yang pernah dirusaknya dulu. Mata Isaac berkaca-kaca.
Bukan waktu yang bisa menyembuhkan jiwa Lily yang telah rusak. Bukan waktu juga yang bisa menyusun ulang serpihan keping jiwanya yang hancur. Tapi cinta, kasih sayang, dan ketulusan.
"Aku berjanji akan membuatmu sembuh, membuatmu melupakan semuanya. Mengganti tangisan dengan senyuman, kesedihan dengan suka cita. Memberi impian dan pengharapan baru. Merajut asa bersamamu, Lily." Isaac memeluk Lily, mendekapnya erat. Mengecup lembut cerukan leher ke arah pundak. Rasa hangat dan basah menggelitik Lily. Lily bisa saja menggeliat, tapi tak mau bergerak, tubuhnya tak mau kehilangan sensasi ini. Tidak sedetik pun ingin kehilangan rasa ini.
Lily memejamkan mata, mengelus rambut Isaac, aroma woody tercium di balik tengkuknya. Aroma hangat maskulin yang membuat Lily merasa aman dan nyaman.
— Bahasa Bunga —