Isaac sedang sibuk mencuci sepedanya sementara Lily duduk pada anak tangga teras. Sesekali Isaac melirik ke arah gadis itu. Lily telihat sedang bersandar malas pada pagar kayu bercat putih. Matanya terpejam menikmati hembusan angin yang menerpa wajah. Rambut merahnya ikut berkibar, melambai mengikuti arah angin.
"Hari ini terlalu siang untuk membuka toko." Lily berucap, Isaac bergeleng sambil menyeringai geli. Sejak kapan Lily jadi sosok pemalas?
"Karena kesiangan atau karena ingin lebih lama berdua denganku?" Isaac menggoda Lily, mencipratkan sedikit air ke wajahnya.
"Isaac!!" Protes Lily sebal. Lily tak bisa menghindar karena rabun, Isaac curang, menyerangnya tanpa ancang-ancang.
"Hahaha, wajahmu merah sekali, Lily." Isaac berjongkok di depan Lily, Lily langsung meraba wajahnya, benarkan sangat merah? Memang sih, rasanya hangat sekali.
"Jangan menggodaku!" Lily menangkup wajah, menyembunyikan rasa malu.
"Kau manis sekali saat malu-malu, membuatku tak bisa berhenti untuk menggodamu!" Isaac memindahkan posisi, ikut duduk di anak tangga bersama Lily.
Mata Isaac mengamati sekeliling, jalanan nampak sepi. Cuaca panas membuat orang enggan keluar dari rumah. Hanya beberapa kendaraan yang lewat. Kebanyakan truk yang mengangkut hasil pertanian, jerami, dan ternak. Sesekali juga ada sepeda atau mobil, namun jarang sekali.
Terotoar jalan terlihat basah karena Isaac baru saja selesai mencuci sepeda. Beberapa ekor burung turun, menelain sisa air, menyesap sedikit penyegar dahaga dari paruh-paruh mungil mereka. Burung-burung mencicit pelan lalu terbang saat ada kendaraan yang lewat. Dersik angin membuat batang pohon bergoyang, dedaunan bergemerisik pelan menemani keduanya.
Lily merebahkan kepala pada pundak Isaac, merasakan sihir musim panas yang menenangkan jiwa. Isaac tak keberatan, malah tersenyum bahagia. Cara menghabiskan waktu yang sederhana, entah kenapa terasa begitu manis bagi keduanya.
"Kau mau mendengar lagu?" tanya Isaac.
"Kau akan menyanyi lagi?" tanya Lily balik, Isaac tergelak.
"Tidak, Lily. Kali ini aku tidak bernyayi, tapi memainkan alat musik. Aku bisa bermain harmonika. Kau mau mendengarnya?"
"Sungguh?" Mata Lily membulat, antusias.
"Aku ambil dulu, ada di dalam mantel. Kemarin aku berencana pamer padamu saat piknik, hadiah kecil untuk ulang tahunmu. Tapi tidak jadi, kita sepertinya terlalu terbuai dalam kejengahan perasaan masing-masing." Isaac bangkit, mencari alat musik tiup yang kemarin sengaja dibawanya.
Lily menunggu dengan sabar, tak lama Isaac telah kembali duduk di sampingnya. Lengkap dengan harmonica. Isaac tersenyum tipis, lalu mulai meniup harmonika.
Suara lembut mengalir, getaran nada merambat di udara, memanjakan indra pendengaran Lily. Isaac meniup dan menghisap benda kecil itu agar suara indah tercipta dengan harmonis. Pandangan Lily yang mengambang, terlihat bahagia, binarnya meluap. Lily sungguh tak pernah menyangka Isaac tak hanya pintar menyanyi, dia juga bisa memainkan music dengan piawai. Lily tertawa kecil, sesekali menepuk tangannya mengikuti irama lagu dari harmonika. Lily terlihat bahagia, perasaannya berbunga-bunga. Perlahan Lily kembali merebahkan kepala pada pundak Isaac, memejamkan mata.
Tapi romantisme itu tak bertahan lama saat sebuah suara. "Ehem!!" Deheman membuat keduanya menengok.
"Halo," sapa Bella.
"Ha—hai, Bella." Lily tertegun dengan kehadiran Bella, pasti sahabatnya itu melihat mereka sedang bermesraan. Bukannya bekerja, Lily dan Isaac malah asyik bermesraan pada siang hari yang panas. Itu memalukan bukan?
"Ck, dasar. Kalian benar-benar sedang dimabuk cinta ya?" sergah Bella, tangannya bersedekap di depan dada. Mengamati tingkah kikuk Lily membuatnya geli.
"Ck, kau iri?" decak Isaac.
"Siapa yang iri?? Aku hanya heran, apa kalian tidak semakin terbakar bermesraan di cuaca sepanas ini?" Bella menengadah, melihat matahari yang masih kokoh di awan-awan. Langit biru membentang luas, gumpalan awan putih terlihat bergerak perlahan.
"Jelas-jelas kau iri." Isaac tertawa kecil, Lily menyikut lengan Isaac, memberi kode. Tidak sopan meledek orang lain seperti itu.
"A—ada perlu apa, Bel?" tanya Lily.
"Hanya mengingatkanmu, akhir musim panas Noir menikah. Apa kau sudah menemukan pendamping sebagai teman dansa? Apa kau mau aku kenalkan pada beberapa pria lain di desa?" Bella melirik Isaac, menyeringai. Isaac melotot galak pada Bella.
"Belum. Aku belum mencari pendamping." Lily menggelengkan kepala.
"Hei, bukankah kau punya aku, Lily! Aku bisa jadi pendampingmu. Aku kekasihmu, bukan?" Isaac mencubit pipi Lily. Isaac terlihat cemburu, mana ada gadis yang tidak mengajak kekasihnya sendiri sebagai pendamping.
"Auch!!" pekik Lily. "Memangnya kau mau mendampingiku, Isaac?" tanya Lily ragu.
"Tentu saja, aku mau!!" jawab Isaac cepat, Bella menahan tawa. Sepertinya Isaac benar-benar sudah tergila-gila pada Lily.
"Yah, jangan lupa belajar berdansa, Lily. Noir akan kirim gaunnya akhir pekan ini." Bella melambaikan tangan.
"Baik, Bell."
Sepeninggalan Bella, Isaac memeluk Lily. "Haruskan kita masuk dan belajar berdansa sekarang?"
"Sekarang?"
"Aku akan menyanyi lagi untukmu."
Keduanya tertawa, Isaac menggandeng Lily masuk ke dalam toko. Belajar berdansa.
— Bahasa Bunga —