Chereads / BAHASA BUNGA / Chapter 37 - ORCHID VIII

Chapter 37 - ORCHID VIII

Lily hanya bisa terbujur kaku, berdiri dengan kaki gemetaran. Dia tak bisa melihat kejadian itu, tapi Lily bisa merasakan aura kemarahan Isaac. Lily ketakutan, saat itu juga kakinya melemas, Lily tersungkur, menutup telinga rapat-rapat. Gaung umpatan dan juga suara hujan deras bercampur guruh terngiang jelas.

"Tidak ... tidak ... jangan!!" rancau Lily. Isaac melihatnya, dengan segera Isaac melepaskan cengkraman tangan dari kerah Frank dan berlari menghampiri Lily.

"Lily? Kau kenapa?" Isaac menggoncangkan tubuh Lily, pandangannya kosong, wajahnya pucat. Membuat Isaac khawatir.

"Lily!!" Isaac mengulang panggilannya.

"Lily!!" Isaac mengulangnya. Lebih keras lagi.

"Isaac." Lily akhirnya merespon panggilan Isaac.

"Kenapa? Apa kau sakit? Lelah? Mau pulang?" Isaac megerutkan alisnya khawatir. Lily menelan ludah dengan berat. Suara Isaac terdengar menakutkan baginya.

"Jangan!! Jangan mendekat padaku!!" Lily bangkit, terhuyun-huyun. Hampir saja Lily kehilangan keseimbangan namun Isaac berhasil menangkapnya.

"Lily."

"Lepaskan aku!" Lily mendorong tubuh Isaac menjauh. Entah kenapa sentuhan tangan Isaac terasa begitu menjijikan saat ini.

"Lily!!" Isaac mengejarnya, Lily tidak mau, ia bersembunyi di balik tubuh Bella.

"Tolong antarkan aku pulang, Bella. Antarkan aku pulang sekarang." Lily hampir menangis karena ketakutan.

Bella tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, namun Bella tahu hati Lily sedang resah. Bella mengangguk, Noir pun mengangguk mempersilahkan keduanya pergi. Isaac hendak mencegah Lily pergi, tapi Bella berdiri kokoh di antara mereka.

"Isaac, tubuh Lily bergetar hebat. Sepertinya dia ketakutan. Aku mohon beri waktu untuknya sendirian saat ini." Bella mengiba, Lily terus bersembunyi di belakang Bella. Tangannya mencengkram erat gaun Bella, terlihat betul sedang menyembunyikan emosi. Isaac menghembuskan napasnya kasar. Mencoba memahami kondisi Lily. 

"Baiklah. Jaga Lily untukku." 

"Pasti."

Bella menggandeng Lily masuk ke dalam mobil. Bella sempat melirik ke arah Isaac, kerutan bingung terpatri jelas pada wajah itu. Bella tak punya jawaban dengan apa yang sedang terjadi, tak ingin pula menerka. Mungkin menanyakan langsung, akan terasa lebih bijak saat ini.

"Ly, apa yang terjadi?" tanya Bella disela-sela mengemudi.

Lily tidak menjawab, masih diam, melamun. Menerawang kosong ke arah jendela, udara dingin pedesaan kencang menerpa, membuat rambut Lily kacau. Hiasan rambut bunganya tak lagi utuh. 

"Lily?" Bella menggoncangkan lengan Lily.

"Aku takut Bella. Aku hanya takut." Lily memeluk lengannya sendiri, mencoba untuk menghilangkan suara umpatan Isaac yang mengaung di dalam benaknya. Suara itu menakutkan, suara itu membuat ulu hatinya sakit sampai terasa ingin muntah. Sekujur tubuhnya bergetar hebat, berkeringat dingin.

"Tolong hentikan mobilnya, Bell!" Lily menggedor pintu. Bella mengerem dalam, mobil berjengit. Berhenti tepat di pinggir jalan bebatuan. Lily menghambur keluar, ia memuntahkan semua makanan yang bersarang di dalam perutnya.

"Lily, kau tidak apa? Apa kejadian tadi membuatmu takut?" Bella menepuk-nepuk punggung Lily.

"Iya. Aku takut!! Aku takut, Bell!!" Lily merancau, dengan segera ia memeluk tubuh sahabatnya erat-erat. 

"Tenang, Lily! Tenang! Ayo kita pulang. Sepertinya kau butuh istirahat." Bella membantu Lily masuk kembali ke dalam mobil.

"Jangan tinggalkan aku, Bella." Pinta Lily.

"Tentu saja, Lily!" Bella menatap Lily cemas. Bella tetap saja tak menemukan jawaban atas kegelisahan yang dialami Lily. Gadis itu meringkuk ketakutan, namun matanya terlihat kebingungan. Benar kata orang, mata adalah cerminan hati. Lily memang sedang bingung, separuh hatinya tidak ingin mempercayai hal itu, namun separuh hatinya sadar dan tahu betul, Isaac adalah pria itu, monster buas yang melahapnya pada malam penuh hujan dan guntur dulu.

Berbeda dengan kondisi Bella yang dilanda kecemasan akan depresi Lily yang bisa saja kambuh kapan saja. Isaac dan para warga masih terlihat bersitegang dengan anak buah Frank. Hampir seratus warga —pria maupun wanita— bersiap melawan 10 tukang pukul yang dibawa Frank. Sudah pasti Frank akan kalah. Hari ini dia harus bangkit dan menyerah, Frank harus menyusun strategi cantik agar lahan itu kembali menjadi miliknya.

Seorang dari keluarga Lincon menyahut lantas merobek surat hak kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh pihak pengadilan dari tangan Frank. Frank berteriak-teriak kalap. Dengan wajah penuh darah, wajah Frank terlihat semakin menakutkan.

"Lihat saja!! Aku akan membalas kalian!" hardiknya keras. Sambil menekan lubang hidung dengan sapu tangan —agar pendarahannya berhenti — Frank melirik ke arah Isaac.

"Dan kau!! Aku pastikan kau mendekam di dalam penjara!" Frank sungguh menaruh dendam pada sosok Isaac yang baru saja menghajarnya.

"Cih, orang desa tak tahu diri! Ayo kita pergi!!" umpatnya. Frank masuk kembali ke dalam mobil di susun oleh semua anak buahnya. Mobil mereka menderu pergi meninggalkan pekarangan milik keluarga Lincon.

"Maafkan saya, Tuan Lincon. Sepertinya saya membuat situasi menjadi tak terkendali." Isaac menemui kepala rumah tangga, beberapa orang berkemrumun melingkar, mereka telah menurunkan bahu dan senjata, mengusir ketegangan.

"Isaac, benarkah kau adalah Isaac Ronan? Pengacara yang tengah dielu-elukan oleh surat kabar?" Noir beserta Bobby mendekat, memecah kerumunan itu. 

Mendengar nama Ronan semua warga berkasak kusuk, semuanya tak menyangka bahwa pemuda tampan yang menyapa mereka setiap hari —dengan mengangkat topinya— adalah seorang pengacara hebat. Timbul secuil harapan dalam hati mereka saat ini. Mungkinkah Isaac bisa membantu mereka? Menyelesaikan kasus sengketa lahan dengan perusahaan anggur milik keluarga Gysor.

— Bahasa Bunga —