"Tuan ... tuan Isaac?" Carl menggoncangkan bahu Isaac, Isaac melengguh pelan, mencoba mengumpulkan kepingan nyawanya yang berterbangan entah ke mana.
"Euum ... ada apa, Carl?" Isaac menggaruk kepala, masih terlihat letih. Carl bergeleng pelan dengan tingkah Isaac, sepertinya majikkannya tidur di atas meja semalaman.
"Sudah siang, Tuan." Carl membuka semua kain gorden agar sinar matahari bisa menelisik masuk melalui kisi-kisi jendela.
"Leherku pegal sekali." Isaac bangkit, merenggangkan badan dan mengelus tengkuk.
"Tentu saja Anda letih, Tuan. Anda tidur di atas meja semalaman, pasti punggung dan leher Anda menderita." Carl meletakkan teh panas di atas meja.
"Terima kasih."
"Lebih baik Anda membersihkan diri dan pindah ke ranjang. Saya akan suru pelayan memanaskan air." Carl memberi pilihan, tapi Isaac menolak.
"Tidak, Carl. Aku akan membersihkan diri dan pergi bekerja ke toko bunga. Lily pasti sudah menungguku." Isaac meminum teh buatan Carl dan beranjak pergi.
"Pulihkan dulu stamina Anda, Tuan." Wajah Carl tampak khawatir.
Isaac tidak mengindahkan wejangan Carl, tetap bersiap-siap untuk bekerja di toko bunga. Mengkayuh sepeda biru sepanjang jalanan berpaving. Memecah cahaya matahari, udara dingin membuat matahari terasa hangat.
Bunyi gemerincing lonceng menyambut kedatangan Isaac. Toko bunga telihat sepi. Lily tidak memutar papan tanda buka, tapi pintu tidak terkunci. Isaac menaruh topi pada tiang kayu lantas bergegas masuk.
"Lily!" Panggil Isaac. Tak ada sahutan.
"Lily?" Isaac mengulang panggilannya, tapi sambil bertolah toleh ke segala penjuru toko, mencari Lily.
"Lily, kau di mana?" Isaac menengok ke kamar dan dapur, kosong. Tapi pintu ke area pekarangan belakang sedikit terbuka.
Isaac bergegas masuk, melihat apakah Lily berada di sana. Dugaan Isaac tepat, Lily sedang berayun perlahan pada ayunan kayu yang menempel pada dahan pohon mapel. Angin menerpa wajah cantiknya, lembut menerbangkan anak rambut coklat kemerahan Lily yang ikal.
Isaac merasa lega, sepertinya Lily baik-baik saja. Semoga pagi ini, Lily mau mendengarkan segala alasan dan juga pengakuan Isaac. Semoga saja, Lily tidak marah, ketakutan, atau bahkan sampai meninggalkannya.
Isaac berjalan perlahan, melangkah setapak demi setapak pada rerumputan hijau. Hembusan angin mulai terasa dingin, dedaunan kuning mulai terlihat indah, sepertinya musim gugur akan segera tiba.
Isaac berdiri di dekat Lily, mengamati wajah cantik Lily yang kedapatan melamun. Kaki Lily bergoyang pelan di atas ayunan tua. Bunyi dencitan saat ayunan bergerak menyamarkan suara langkah kaki Isaac. Lily bahkan tak menyadari kalau Isaac sudah berdiri di sampingnya.
"Anginnya dingin, kenapa keluar tanpa luaran?" Isaac menyelimutkan mantel ke pundak Lily. Lily berjengit, sadar dari lamunannya.
"Isaac."
"Kenapa semalam mengacuhkanku? Apa aku membuat kesalahan?" Isaac berjongkok di depan Lily. Lily tak menjawab, memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain. Isaac menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Lily.
"Aku minta maaf, Ly."
"Atas apa? Kau tak melakukan kesalahan apapun." Mata Lily terlihat penuh dengan genagan air. Lily berusaha menahan lagi air matanya mencoba untuk tegar. Hati Lily terasa begitu sesak saat mendengar permintaan maaf dari Isaac. Apa Isaac benar-benar akan mengakuinya? Bahwa dia adalah pria itu?
Isaac menggenggam erat tangan Lily, mengecupnya lembut. Butuh beberapa menit bagi Isaac untuk menetapkan hati. Beberapa menit yang tenang, beberapa menit yang terasa bertahun-tahun lamanya. Beberapa menit yang penuh gejolak.
"Maafkan aku, Ly. Ak—"
"Kenapa, Isaac? Kenapa kau kembali dalam hidupku? Apa kau kasihan padaku? Apa kau merasa iba karena kelakuanmu aku menjadi buta, gila, dan menyedihkan?" Lily menyela. Pertanyaan yang Lily lontarkan membuat hati Isaac teriris, sakit sekali. Desiran halus bergetar pada sekujur tubuhnya. Isaac tertunduk, malu, tak berani menjawab pertanyaan Lily.
"Kenapa?? Katakan padaku alasanmu??! Katakan apa tujuanmu?!" Lily berteriak. Isaac masih diam, tenggorokkannya seakan tercekat.
"Padahal aku percaya padamu, Isaac. Aku percaya kau tulus mencintaiku." Lily mulai menangis, butiran air mata menetes pada genggaman tangan Isaac.
"Aku benar tulus mencintaimu, Lily." Isaac membuka mulut, air mata ikut menetes dari pelupuk matanya.
"Aku tahu aku bersalah!! Aku bersalah padamu, Lily!! Aku tahu, bahkan mendekam seumur hidup dalam penjara pun tak akan pernah cukup untuk membayar penderitaan yang kau alami," tutur Isaac.
"Aku sadar aku pengecut. Aku kabur dari kesalahanku, aku kabur darimu, aku kabur dan membiarkanmu menderita seorang diri. Dan aku menyesal ...!" teriak Isaac.
"Aku menyesal, Lily. Aku ingin menebusnya. Setidaknya itu memang tujuan awalku datang kemari. Tapi seiring perkenalan kita. Seiring dengan waktu yang kita habiskan bersama. Aku mulai mencintaimu. Aku tulus, benar-benar tulus mencintaimu." Isaac meletakkan kepalanya di atas pangkuan Lily.
Lily menangis tersedu-sedu saat mengetahui kenyataan pahit itu terlontar dari bibir pria yang dicintainya, satu-satunya pria yang Lily percaya.
Lily tak bisa membalas ucapan Isaac, hatinya sesak mengetahui kalau ternyata memang benar Isaac adalah pria brengsek itu. Pria yang telah menghujamnya dengan rasa sakit yang tak berkesudahan. Pria yang memberikannya ketakutan dan juga kegelapan pekat seumur hidup.
Lily tak habis pikir, dia memberikan juga hati dan cintanya pada pria itu. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Lily senaif itu.
"Jangan diam saja Lily, jawab aku." Isaac mengangkat kepala, mencekal lengan Lily agar mau memandang wajah Isaac. Lily tetap diam, menangis dalam kesesakkan.
"Lily, katakan sesuatu. Jawab aku!" Isaac menggoncang tubuh Lily.
"Ini menyakitkan Isaac." Akhirnya Lily meloloskan sebuah kalimat. Sebuah susunan kata yang mewakili rasa sesak di dalam hatinya. "Ini menyakitkan ... sakit sekali."
"Lily aku mohon, bukankah kau juga mencintaiku? Bukankah kita sama-sama saling mencintai?" Isaac membelalak ketakutan, takut Lily membuangnya, lakut Lily memupus rasa, takut Lily mengabaikan cinta mereka.
"Pergilah, Isaac. Aku tak bisa memaafkanmu." Lily mengusir Isaac, hatinya hancur, pikirannya kalud. Dadanya bergemuruh, sekencang isak tangisnya saat ini.
"LILY!!" Isaac merengkuh tubuh Lily, memeluknya erat-rrat.
"Kumohon jangan!! Aku tak bisa kehilanganmu, Lily." Isaac mengusap wajah Lily, menghapus air matanya, mengecup dalam pipi Lily.
"Kau bohong, Isaac. Kau bohong." Lily memukul punggung Isaac berkali-kali. Berusaha lepas dari dekapannya yang erat.
"Rasakan detak jantungku!! Rasakan debarannya! Apakah ada kebohongan di dalamnya?" Isaac menaruh tangan Lily di atas dada, berharap Lily mengerti kesungguhan hatinya.
"Kau hancurkan hidupku, Isaac." Lily menarik tangan.
"Aku berjanji akan memperbaikkinya." Isaac meninggikan suara.
"Kau hancurkan masa depanku!" jerit Lily.
"Aku berjanji akan menikahimu, Lily. Membuat masa depan baru yang indah." Isaac masih memohon.
"Hahaha ...!" Lily tertawa lantang. "Kenapa???!!! Apa kau kira aku masih sama bodohnya?!! Bisa kau perdaya janji manismu!" Lily tiba-tiba berteriak kalap, wajahnya garang.
"Lily, tenanglah!!"
"Kembalikan, Isaac!! Kembalikan segalanya!! Kembalikan impianku!! Kembalikan pengelihatanku!! Kembalikan bayiku!!!" Lily mencengkram kemeja Isaac, sambil menatap galak, Lily menggoncangkannya kasar.
"Lily ...," lirih Isaac, rasa bersalah semakin menggelayuti hatinya.
"Andai saja kau cepat bertanggung jawab, Isaac. Andai kau hadir lebih cepat. Mungkin aku tak perlu kehilangan bayi itu juga." Isak Lily pilu, bersandar pada dada Isaac.
Lily melepaskan cengkramannya atas kerah Isaac, lalu mengambil tongkat dan bangkit berdiri. Berjalan beberapa langkah dan kembali menoleh.
"Lily."
"Apa yang menurutmu paling membuatku menderita, Isaac?" tanya Lily.
.... legang, Isaac tak punya jawaban.
"Aku tak pernah merasa begitu menderita sebelumnya, Isaac. Bahkan saat dokter menvonisku kehilangan pengelihatan ini." Lily meraba matanya.
"Lily, aku mohon, dengarkan penjelasanku."
"Bayi itu, janin itu, anakku!! Aku bahkan tak sempat mengetahui keberadaannya.
Kehilangan nyawa kecil itulah yang membuatku merasa paling menderita, Isaac. Aku merasa bersalah karena membiarkannya menanggung amarah dan kesedihan ini." Lily mengelus perutnya.
"Maafkan aku, Lily. Maaf." Isaac menarik sikut tangan Lily.
"Kenapa?? Kenapa kau dulu pergi??!! Kenapa??! Kenapa kau meninggalkanku, meninggalkan kami?!" Lily membenci Isaac, sangat-sangat membenci pria pengecut yang telah menjadi alasan Lily kehilangan segalanya.
"Lily, maafkan aku. Aku berjanji akan menebusnya."
"Dengan apa? Nyawamu?!" Lily menyergahnya, mata Isaac langsung membelalak lebar.
"Bila itu perlu," lirih Isaac. Lily mengigit bibirnya, menahan getaran rasa miris bila harus melihat Isaac kehilangan nyawa.
"Pergilah Isaac!! Tinggalkan aku. Hanya kebencian yang akan aku ingat bila harus bersamamu." Lily menghempaskan tangan Isaac.
"Lily!!"
"Tebuslah kesalahanmu dengan pergi jauh-jauh dariku!!!" jerit Lily, mungkin itu hal terbaik yang bisa Lily putuskan atas hubungan mereka.
Isaac terpaku, katakutannya terwujud, Lily menyuruhnya pergi. Lily melangkah tertatih dengan bantuan tongkat. Melangkah masuk ke dalam kamar. Lily membanting pintu kamarnya keras-keras. Tubuh Lily merosot ke bawah dibarengi suara dentuman kencang. Lily tersungkur sambil menangis.
"Buka, Lily!! Buka!"
Isaac menggedor pintu kamar Lily, masih berusaha untuk menjelaskan segalanya. Masih berusaha untuk mengatakan betapa besar penyesalan dan juga rasa cintanya. Isaac merosot juga, tersungkur. Isaac dan Lily bersandar pada daun pintu kamar. Sama-sama menangis dalam kesesakkan. Yang satu menangis penuh kebencian, yang satu penuh penyesalan.
"Lebih baik kau menyuruhku mati dari pada pergi darimu." Isaac bergumam lirih. Lily memejamkan mata, memeras air matanya.
— Bahasa Bunga —