Pagi hari yang tenang, kabut tipis terlihat mulai menghilang. Lily mengunci pintu toko. Dengan hati-hati gadis itu menuruni anak tangga, meraba jalan dengan tongkat kayu. Pagi ini ia telah mengumpulkan tekat, membantu warga desa.
"Bella." Panggil Lily saat lewat di depan toko buah. Bella terlihat tengah menata buah-buah dagangan, menata yang lama pada bagian atas, yang baru di bagian bawah. Dengan begini stok lama bisa segera laku terjual.
"Hai, Ly, masih pagi, kau mau ke mana?" Bella heran, melihat Lily tampil cantik dalam balutan dress panjang warna moka dan cardigan berwarna abu-abu. Lily memoleskan sedikit bedak dan juga lipstik. Polesan lipstik merah itu tidak merata, ada sedikit yang tercoreng.
"Em ... aku akan menemui Isaac, Bell. Boleh aku tahu jalan ke rumahnya?"
"Wah, sungguh kau akan menemu Isaac?! Membantu warga desa?" Bella tersenyum senang.
"Iya. Aku akan mencoba bicara dengan, Isaac." Angguk Lily mantab.
"Isaac tinggal di vila pinggir desa, Ly. Cukup lurus sampai persimpangan jalan, lalu ke kiri lurus, kau akan sampai setelah tiga puluh menit berjalan kaki." Terang Bella.
"Baiklah, Bella. Terimakasih." Lily mengangguk paham.
"Tunggu!" Bella merapikan lipstik Lily. "Semoga berhasil, Ly. Bujuk dia bagaimana pun caranya. Bila perlu cium dia sampai tak bisa bernapas, gunakan pesonamu." Bella tertawa lantang, membuat wajah Lily menghangat.
"Jangan ngawur, Bella. Eung ... a—aku rasa aku harus pergi!!" Gerakan Lily terpatah-patah karena kikuk.
"Hehehe, semangat, Ly!" Bella terteriak menyemangati Lily.
Perlu perjuangan ekstra bagi Lily yang hampir buta untuk sampai ke vila yang ditunjukkan oleh Bella. Lily tak bisa melihat, menerka-nerka arah membuat gadis itu semakin bingung. Lily mencoba bertanya pada beberapa orang sekitar, kebetulan seorang anak kecil yang sedang bermain menawarkan diri mengantarkan Lily.
Seperti yang dikatakan Bella, tiga puluh menit kemudian Lily sampai di depan pagar sebuah vila besar. Ada penanda nama RONAN dengan ukiran tinta emas pada kotak surat. Dengan sigap anak kecil itu meloncat lalu menggoyangkan bel pintu.
"Sudah, Bi."
"Terimakasih, Nak." Senyum Lily ramah.
"Sama-sama, Vila ini besar sekali. Kadang aku penasaran siapa yang tinggal di sini? Apa Bibi mengenal pemiliknya?" tanya anak lelaki itu kagum.
"Iya, mengenalnya." Angguk Lily.
"Waw ...!" serunya.
"Oh, ya, ini, Bibi punya coklat. Terimakasih sudah mengantar." Lily mengusik rambut pirangnya.
"Terimakasih juga, Bi. Aku pergi dulu." Anak itu melambaikan tangan.
"Hati-hati ya."
Tak lama berdiri, pintu gerbang perpaduan besi dan juga kayu besar terbuka. Seorang wanita, berusia 30-an dengan pakaian pelayan menegok ke luar. Lily bergegas memutar tubuh, menyapa dengan ramah.
"H—halo, eum ... bisa aku bertemu dengan Isaac?" tanya Lily terbata-bata.
"Dari siapa?" Pelayan itu mengamati Lily dari atas ke bawah, menilai tiap inci bagian tubuh Lily. Rambut, mata, hidung, bibir, semuanya terlihat sempurna, Lily memang cantik, hanya saja pakaiannya terlalu kuno dan tidak berkelas.
"Lily."
"Ada perlu apa gadis miskin sepertimu bertemu dengan Tuan Isaac?" Sophie tahu Isaac punya banyak penggemar. Dulu saat melayani Isaac di kota, banyak gadis dari berbagai kalangan bertandang ke rumah. Hanya untuk mengantarkan makanan atau pun surat cinta. Sophie sudah hapal betul dengan gelagat centil gadis-gadis itu. Mungkin kali ini tak jauh berbeda, hanya gadis miskin yang mendekati Tuannya agar mendapat penghidupan yang lebih layak.
"Eum ... aku ...."
"Biarkan dia masuk, Sophie!!" Pria tua dengan pakaian kepala pelayan menghardik bawahannya yang tidak sopan.
"Tapi, Tuan Carl?"
"Dia adalah kekasih Tuan Isaac." Carl berjalan ke arah pintu gerbang.
"Benarkah?" Sophie terperangah, Lily juga.
"Bu ... bukan!!" sergah Lily.
"Benarkah bukan? Ah, kalau begitu saya salah. Silahkan pergi dari sini, Nona." Usir Carl.
"Tu ... tunggu!!" sergah Lily lagi.
"Maaf saya tak mau membuang waktu untuk orang yang tidak dikenal," ucap Carl tegas.
Ya ampun, kenapa sampai pelayannya saja juga begitu menyebalkan sama seperti tuannya?! pikir Lily, Lily menggigit bibirnya sebal.
"Be ... benar aku kekasih Isaac." Lily tak punya pilihan. Itu satu-satunya jalan pintas untuk menemui Isaac.
"Kalau begitu masuklah!" Pria tua dengan senyuman yang hangat mempersilahkan Lily masuk.
"Baik." Lily menarik napas panjang sebelum mengetukkan tongkat, mulai menyibak jalanan. Carl menunggu Lily melewatinya sebelum kembali berjalan mengekor di belakang.
"Tuan Carl, dia buta?" bisik Sophie, Carl memincingkan mata ke arah Sophie.
"Benar, Shopie. Tetap hormati dia! Karena Tuan Isaac begitu mencintai gadis ini."
"Baik, Tuan." Shopie menurut.
Carl menyusul Lily, ia mewanti-wanti Lily bila ada anak tangga atau prabotan. Menjaga secara verbal agar Lily tidak terjatuh atau terantuk.
"Silahkan naik, Nona. Tuan Isaac ada di dalam kamarnya."
"A—aku akan menunggunya di sini saja." Lily merasa aneh masuk ke dalam kamar seorang pria. Lebih sopan kalau menunggu Isaac di ruang tamu.
"Saya tak yakin beliau bisa menemui Anda di sini, Nona. Karena saat ini Tuan Isaac sedang mengalami demam tinggi dan beristirahat di dalam kamar." Carl mengeryitkan dahi, kecemasan kembali terlihat pada raut wajah tua itu.
"Apa?? Isaac sakit??" Lily tak kalah khawatir.
"Iya, silahkan naik, Nona." Pinta Carl sopan.
"Ba-baik." Angguk Lily.
Pintu kamar berwarna hijau dengan ukiran indah menyambut kedatangan Lily. Nuansa kamar terlihat tenang. Aroma bunga tercium pekat, Carl baru saja mengganti bunga di dalam vas. Setiap hari Isaac menyuruh Carl membeli bunga dari tempat Lily selama Isaac sakit.
"Silahkan, Nona."
"Ah, baiklah." Ragu-ragu Lily melangkah masuk.
Isaac terbaring lemah di atas ranjang berukuran dua kali dua meter. Lengkap dengan seprei rumbai berwarna abu-abu. Ada bantal bulu angsa besar menyangga kepalanya. Di samping ranjang ada baskom berisi air bekas kompresan.
Ruangan itu begitu tenang dan sunyi. Lemari-lemari buku, sofa, dan meja kerja teronggok bisu di sisi lain ruangan. Kamar itu begitu mewah dan besar, lengkap dengan furniture bergaya chippendale. Cet dan prabotannya didominasi dengan warna hijau tua.
"Silahkan duduk, Nona. Apa perlu saya membangunkan Tuan Isaac?" tanya Carl.
"Tidak!! Jangan!! Biarkan dia beristirahat. Aku akan menantinya di sini." Lily duduk dengan sopan pada kursi di samping ranjang Isaac.
"Tuan Isaac selalu pulang dalam keadaan basah kuyup. Padahal udara musim gugur sangat dingin belakangan ini." Carl menatap Isaac sendu, Lily menunduk, karenanya Isaac memaksakan diri dan sampai terjatuh sakit.
"Baiklah, saya permisi."
"Iya."
Legang, lagi-lagi sunyi dan senyap. Tak ada suara selain napas Isaac yang berat. Lily memainkan jari di atas pangkuan, tongkat kayu tersandar di samping meja nakas. Lily juga bingung harus melakukan apa selain menunggu Isaac terbangun. Yah, bagaimana pun, Lily sudah lama tidak bertemu Isaac, karena Lily juga Isaac jadi seperti ini, jadi sudah pasti Lily merasa tidak enak hati.
"Eum ...," gigau Isaac, keringat dingin memenuhi pelipisnya.
"I—Isaac?" Lily meraba-raba kasur dan tubuh Isaac.
Ya Tuhan keringat dinginnya banyak sekali. pikir Lily.
Lily mengambil sapu tangan dari saku baju hangat lantas menyeka keringat pada dahi Isaac dengan lembut. Isaac menggeliat perlahan, tangan Lily membuatnya nyaman.
"Lily ...," lirih Isaac.
"Eum ...," gumam Lily.
"Ah, aku pasti terlalu demam sampai bermimpi." Isaac mengerjapkan mata perlahan, menatap lamat-lamat keberadaan gadis cantik itu.
"Ya Tuhan kalau ini mimpi jangan biarkan aku bangun dulu," ucap Isaac masih sambil mengerjapkan mata.
"Ini bukan mimpi, Isaac." Wajah Lily menghangat mendengar penuturan jujur Isaac.
"Lily???" Isaac membelalak, dia tak sedang bermimpi.
— BAHASA BUNGA —