Chereads / BAHASA BUNGA / Chapter 50 - LILY IX

Chapter 50 - LILY IX

Isaac bangkit kembali menyelusuri ruang keluarga dan keluar dari kediaman keluarga Lincon. Di bagian peternakan Isaac melihat Lily sedang duduk di tepi palungan bersama dengan Noir. Bercakap riang sambil menyikat bulu kuda. Sesekali Lily tertawa lepas, entah apa yang sedang mereka bicarakan, yang pasti terlihat riang dan bahagia.

"Lily." Panggil Isaac.

"Ah, Isaac. Kalian sudah selesai?" Lily mencari-cari arah suara Isaac.

"Sudah, masalahnya cukup pelik." Isaac berbisik, takut Noir mendengarnya.

"Ah, begitu." Lily mengangguk paham.

Noir menghentikan pekerjaannya, menarik kekang yang menempel pada mulut kuda hitam miliknya. Noir mengelus surai legam kuda itu, sesekali kuda menringkik, seakan memamerkan kegagahannya.

"Kuda yang bagus." Isaac mendekati kuda jantan milik Noir, ikut mengelusnya.

"Benar, dia memenangkan dua kali pacuan antar desa." Noir terlihat bangga dengan prestasi kudanya.

"Benarkah?? Siapa namanya?"

"Hercules."

"Wow, tapi memang dia terlihat sama gagahnya."

"Mau coba menaikinya?" tawar Noir.

"Bolehkah?" Mata Isaac membulat, terlihat antusias, sudah lama sejak Isaac tak menaiki kuda pacu.

"Tentu saja, lagipula Hercy sangat penurut."

"Kau mau berkuda, Ly?" Isaac kembali bertanya pada Lily.

"Berkuda? Aku tidak pernah naik kuda sebelumnya." Lily mengibaskan tangan, menolak ajakan Isaac.

"Ayolah, ini akan menyenangkan." Bujuk Isaac.

"Apa menakutkan?" tanya Lily ragu.

"Tidak, jangan takut aku akan menjagamu. Aku tak akan membiarkanmu terjatuh, Ly."

"Baiklah." Lily menngangguk.

"Jangan nakal, Hercy. Bawa mereka jalan-jalan." Noir menepuk pantat Hercules, kuda itu meringkik pelan sambil mengibaskan ekornya, sesekali debu mengepul saat tapal kuda beradu dengan tanah.

"Kita akan mengitari peternakan." Isaac menggandeng Lily, menggendongnya naik terlebih dahulu agar Lily bisa duduk nyaman di atas pelana kuda.

"Berpegangan yang erat." 

"Iya."

Isaac menggebahkan tali kekang, dengan menurut Hercules melangkah maju. Perlahan-lahan mengitarai hamparan padang gandum yang terlihat siap dipanen. Matahari tak terlalu menyengat karena memang hari mulai sore. Dari kejauhan dedaunan terlihat menguning dengan indah. Lembaran demi lembarannya gugur tersapu angin. Kesiur angin membuat perasaan Isaac yang semula gundah menjadi lebih nyaman. Isaac melingkarkan tangan pada pinggang Lily, memeluk erat kekasihnya.

"Apa kasusnya berat?" tanya Lily.

"Iya, hampir tak ada kesempatan." Isaac mendesah pelan.

"Lalu bagaimana?"

"Aku akan menyurati kementrian pertahanan. Semoga saja respon mereka cepat." 

"Kau bilang kementrian pertahanan?" Lily berpaling pada Isaac.

"Iya, setiap tanah di sekitar lahan ternyata adalah bentuk kompensasi negara pada veteran perang dunia 1. Negara memberikan mereka lahan pertanian agar tetap bisa bekerja dan bertahan hidup meskipun cacat. Para tentara itu ada dalam lingkup kementrian pertahanan," jelas Isaac.

"Isaac, kakak tertuaku bekerja di kementrian pertahanan!!" seru Lily.

"Benarkah? Dia seorang tentara?"

"Bukan, dia lulusan administrasi. Kakak bekerja di sana atas rekomendasi dari perwira tim ayah dulu. Setelah lulus kuliah kakak menjadi sekretaris di kementrian pertahanan." Lily bercerita dengan semangat menggebu.

"Sungguhkah?!! Ya Tuhan, Lily. Kau benar-benar memberi pengharapan bagi mereka." Isaac mengusik lembut pucuk kepala Lily.

"Iya, kita bisa menyurati kakak. Kita bisa minta salinan dokumennya." 

"Benar."

"Kalau pun isi suratnya hak milik, mungkin kita bisa mengubahnya menjadi hak guna tanah sebelum mengajukannya ke pengadilan," usul Lily.

"Itu namanya curang."

"Bukankah Frank juga curang karena menyuap hakim? Lagi pula dokumen itu sudah berumur 30 tahun lebih, tak ada yang tahu kita curang." Dengus Lily.

"Dasar. Kalau tertangkap kakakmu bisa dipenjara, Frank juga tak akan menyerah secepat itu," sergah Isaac.

"Oh, ya? Kalau begitu jangan."

"Kita tak bisa memaksakan diri untuk membantu semua orang, Lily. Sebab setiap orang punya kepercayaan dan alasannya sendiri. Frank memang curang karena menyuruh hakim mempercepat proses peradilan, tapi dia memang membeli tanah itu dengan uangnya. Bahkan surat-suratnya pun lengkap. Warga desa memang benar, tapi mereka yang tak tahu menahu tentang administrasi hanya bisa pasrah saat seorang mandor ladang menjual tanah mereka pada orang kaya. Itulah kehidupan Lily, kejam, dan tak memandang bulu. Kita tidak boleh bodoh, atau kita akan tergilas. Pada era ini, siapa punya uang dia yang berkuasa." Isaac memacu kudanya lebih lambat.

"Bahkan tak jarang dalam persidangan malah korban yang semakin terpuruk. Mereka yang punya uang akan membayar pengacara kondang dengan harga selangit guna meringankan hukuman seringan mungkin." Isaac menaruh dagu di atas pundak Lily.

"Kau benar, Isaac. Tapi aku tetap berharap mereka akan mendapatkan hak mereka kembali. Bukankah kau bisa melihatnya, ladang gandum yang luas ini? Ditambah dengan bunyi-bunyian hewan ternak di pagi hari. Peternakan ini pasti terlihat sangat indah, Isaac." 

"Iya, pasti sangat indah Lily." 

Kuda telah membawa mereka ke ujung lading gandum, tractor-tractor teronggok, tak ada lagi pekerja yang mengendarai benda besar itu. Jam kerja telah habis, saatnya pulang dan berkumpul kembali dengan keluarga. Menikmati makan malam dan secangkir coklat yang hangat. Canda tawa dan senyuman mengiringi pergantian hari.

"Ah ... Kenapa tanganmu selalu saja beraroma bunga?" Isaac mencium pergelangan tangan Lily.

"Karena aku memang seorang pengerajin bunga." Lily tertawa kecil.

"Ah, Benar, harum sekali." Isaac menghirup lebih dalam lagi. "Terimakasih sudah mau memberiku kesempatan." Sambung Isaac, semakin erat memeluk Lily.

"Terimakasih sudah memberi warga pengharapan." Lily merebahkan kepala di dada Isaac.

"Kau yang telah memberi mereka pengharapan, Ly. Bukan aku," kata Isaac.

Isaac mencekal lembut dagu Lily, membuat Lily menoleh padanya. Dengan lembut Isaac mendaratkan sebuah ciuman ke atas bibir Lily, menyesapnya pelan. Madu manis terasa hangat, menyeruakkan kebahagiaan kecil di tengah-tengah himpitan kasus yang masih terasa buntu.

Matahari perlahan tumbang, tertelan belahan bumi lainnya. Cahaya kuning keemasan berubah menjadi jingga kemerahan. Kuda hitam bergerak perlahan memberikan siluet yang indah pada bulatnya matahari sore. Angin menerpa dedaunan maple, daun berwarna kemerahan terlihat kembali berguguran. Isaac masih mengulum bibir Lily dengan lembut. Berharap segalanya akan selesai dengan damai.

— Bahasa Bunga —