Lidah api bermain di dalam perapian, menjulurkan rasa hangat. Kamar yang menyatu dengan ruang kerja terrasa legang. Tak ada suara lain selain goresan pena milik Isaac. Carl berdiri tak jauh di belakang Isaac, mengamati tulisan tangan tuannya lamat. Malam ini Isaac menulis surat permintaan resmi pada kementrian pertahanan. Isaac juga menulis surat untuk kakak tertua Lily yang bekerja di sana, tak lupa surat untuk James ayahnya.
Akhirnya untuk pertama kali dalam hidupku, aku tidak menuruti apa kehendak Ayah, pikir Isaac.
Isaac mengabaikan permintaan James untuk memenangkan Frank Gysor dalam kasus sengketa lahan. Isaac akan mendukung warga desa, memilih untuk membuang segala yang telah ia dedikasikan untuk keluarga Ronan.
Bukan masalah hasil, tapi masalah pengharapan dan juga kemanusiaan. Isaac menulis surat sambil membayangkan wajah-wajah para warga. Wajah saat mereka tertekan dan kecewa, wajah saat mereka ketakutan, juga wajah ketika mereka bahagia saat Isaac mau mengulurkan tangan. Bahkan sebuah pengharapan kecil yang bahkan belum tentu berhasil pun bisa membuat rona kebahagiaan yang begitu besar.
Isaac tak pernah melihat kepuasan terpancar dalam kehidupannya seperti saat ini. Puas karena telah menuruti apa kata hatinya. Puas karena ia benar-benar menggunakan pengetahuannya untuk kepentingan banyak orang. Tanpa memandang status mereka, tanpa perlu menggiring opini publik, tanpa ada embel-embel ketenaran sama seperti yang selalu James ciptakan dalam setiap kemenangan kasus-kasusnya.
Sesuai namamu, bunga lili memang simbol pengharapan. Tak hanya warga desa. Ternyata kau juga memberikan pengharapan pada suramnya kehidupanku, Ly. Isaac menoleh, melihat Lily tengah tertidur pulas pada sofa. Mungkin hangatnya perapian membuat Lily mengantuk.
"Mau saya siapkan kamar tamu, Tuan?" tanya Carl, kepala pelayan tua itu terus menanti di samping Isaac.
"Boleh, sepertinya dia terlihat sangat lelah." Isaac tersenyum.
"Baik, akan segera saya siapkan." Carl menaruh tangannya di depan dada.
"Kirim surat ini, Carl, malam ini juga! Pakai pos tercepat!!" Isaac memberikan tiga pucuk surat di atas nampan. Semuanya punya inisial IR pada segel penutupnya.
"Akan saya kirim, Tuan."
"Baiklah, kau boleh pergi."
"Baik. Saya permisi."
Isaac mengangguk, Carl beranjak dari tempatnya berdiri, bergegas keluar kamar untuk menjalankan perintah tuannya. Isaac menatap punggung Carl yang menjauh pergi sebelum ikut beranjak. Isaac menghampiri Lily, mengelus lembut pipi Lily dengan punggung tangan.
"Harusnya aku menentang ayahku dari dulu. Harusnya aku bertanggung jawab padamu. Maafkan kelemahanku, Lily. Maafkan kebodohanku dulu." Isaac mengecup kening Lily, gadis itu menggeliat pelan dan kembali tertidur.
Isaac menggendong Lily, memindahkan tubuhnya ke atas ranjang empuk. Malam telah larut, tinggal suara hewan noktunal yang mengerik keras, juga kukuran burung hantu.
Isaac berbaring miring di samping Lily, mengelus rambut panjangnya. Sesekali Isaac membetulkan selimut agar Lily tidak merasa dingin. Bunyi gemeretuk kayu yang terbakar di dalam perapian mengiringi rasa kantuk, Isaac pun ikut terlelap. Meringkuk nyaman di samping Lily.
"Tuan, kamar ta—" ucapan Carl terhenti, melihat keduanya tidur dengan nyaman membuat pria tua itu mengurungkan niat dan kembali menutup pintu.
— Bahasa Bunga —