BRAK!!
Pintu kayu berukiran indah langsung terbanting. James dengan wajah garang masuk ke dalam kamar putranya. Menatap galak ke arah Isaac. Isaac menghentikan laju mesin ketik, membalas tatapan ayahnya.
"Ayah," sapa Isaac tenang.
"Dasar anak tidak tahu diri!! Sudah berapa kali Ayah bilang, jangan membuat keluarga Ronan malu!" serunya keras.
"Siapa yang membuat malu, Ayah?" Isaac mengusap dahi, bangkit dari atas kursi kerja.
"Untuk apa membantu warga desa itu?! Untuk apa mengambil kasus yang tak mungkin kau menangkan? Namamu akan rusak, prestasimu tercoreng! Sudah Ayah bilang untuk membantu Tuan Gysor saja. Menangkan dia, namamu pasti terangkat!" James menggeram marah, Isaac butuh suatu tanjakan untuk menggiring opini publik akan prestasinya. Sehingga saat kelak naik menjadi kepala jaksa, semua orang akan memuji Isaac karena prestasinya, bukan karena hasil warisan dan embel-embel nama orang tua.
"Siapa yang bilang aku akan kalah?" Isaac maju, membawa surat fax dari kementrian pertahanan.
"Frank punya surat-surat tanah yang SAH!!" James menekankan kata 'sah' pada susunan kalimatnya.
"Lihat ini, Ayah! Tanah itu milik negara, bahkan sampai sebagian dari perkebunan anggur miliknya masih tercatat milik negara. Kalau pun Frank menang, pihak negara bisa saja menuntutnya. Dan dalam hal ini, bila aku berlaku sebagai pengacaranya, sudah pasti aku yang paling akan menanggung malu." Isaac membanting dokumen itu di depan James. Bahunya bergerak naik turun, menahan emosi.
"Frank membeli tanah negara tanpa persetujuan negara?" James mengerutkan dahi, membuka-buka berkas yang dikumpulkan Isaac sebagai bukti.
"Betul, dan aku yakin banyak pihak pegawai pemerintahan terlibat dalam kasus ini. Mereka pasti menerima suap, korup, dan membuat surat akta tanah yang palsu bagi warga desa." Isaac mulai bisa mengatur napasnya.
James terbungkam, ucapan anaknya tidak salah. Isaac akan menanggung rasa malu bila kasus itu tercium oleh pemerintah. Isaac akan ikut terseret pada kasus korup penjualan tanah pemerintah secara ilegal. Namun juga bila mendukung warga, Isaac juga sama saja mencari gara-gara dengan keluarga yang berpengaruh di kota. Bisa saja Frank akan menghasut semua orang untuk tidak menggunakan jasa firma hukum Isaac lagi.
"Kalau begitu jangan ikut campur, Isaac. Lupakan kasus ini dan kembalilah ke kota." James melunak.
"Tidak. Tolong izinkan aku menyelesaikan kasus ini, Ayah. Semua warga berharap kepadaku, juga Lily." Tolak Isaac.
"Lily?" Alis James menyatu heran.
"Iya, Lily, gadis yang dua tahun lalu menjadi korban kebodohanku, juga korban arogansi keluarga Ronan," jawab Isaac.
"Apa?? Apa maksudmu, Isaac?" James terlihat pucat, Lily, gadis yang pernah menjadi mimpi buruk anaknya itu hadir kembali.
"Aku tak akan mengulang kesalahan yang sama, Ayah. Aku tak akan menuruti keinginanmu lagi, sampai membuang sesuatu yang berharga. Aku akan berjuang untuk warga desa, untuk Lily, juga untuk hidupku." Isaac mengutarakan isi hatinya, semua kepenatan yang selama ini dipendam akhirnya tumpah keluar. Isaac tak ingin lagi terkekang dalam aturan keluarga Ronan, tak ingin terkekang dengan keinginan ayahnya.
"Kau ... kau ...!" James kehabisan kata-kata.
"Aku akan menentukan nasibku sendiri. Aku akan memakai kemampuanku berdasarkan kemanusiaan, berlandaskan hukum, bukan berdasarkan opini publik! Aku tak butuh tanjakan, tak butuh popularitas. Biarlah dunia mengakuiku karena usahaku, bukan karena kasus yang telah disekenario demi pencitraan!" cerca Isaac.
James terdiam, selama ini dia berusaha membuat Isaac mengikuti jejaknya. Menjadi jaksa yang kompeten. James membuat Isaac seakan-akan selalu memenangkan kasus yang diberikan olehnya, tak ada kecacatan, semuanya sempurna. Para pelahap berita menulis tentang prestasi gemilang Isaac, menguntai pencitraan Isaac sebagai seorang pengacara yang sukses.
"Isaac ka—" ucapan James terpotong.
"Aku akan menjadi kepala jaksa seperti keinginan Ayah. Tapi aku akan meraihnya dengan usahaku sendiri. Aku akan meraihnya mengikuti suara hatiku. Bukan karena perintah darimu, Ayah." Isaac melangkah, membuka pintu kayu. "Keluarlah, Ayah. Pulang dan beristirahatlah! Aku harus bekerja."
James memutar tubuh, menatap wajah Isaac yang tegas tanpa ada keraguan. James terdiam, mata hazel indah Isaac meminta James untuk percaya pada keputusannya. James mengendurkan dasi sebelum beranjak keluar dari kamar Isaac. Pintu tertutup kembali, James menuruni anak tangga. Sudah tak ada lagi yang bisa dilakukan, Isaac sudah mengutarakan keputusannya. Di tengah tangga, James berpapasan dengan Lily.
"Tu-tuan Besar." Sophie yang mendampingi Lily terlihat panik. Niat untuk menyembunyikan Lily ketahuan, tak menyangka James akan secepat itu keluar dari kamar Isaac.
"Tuan Besar?" tanya Lily pelan.
"Benar, Nona Lily. Beliau adalah ayah dari Tuan Isaac." Sophie memperkenalkan James dengan suara lirih.
"A—ayah?" gagap Lily, cepat-cepat Lily menoleh ke depan, walaupun pandangannya kosong Lily berusaha mencari keberadaan ayah dari kekasihnya itu.
"Selamat siang, Paman," sapa Lily sopan.
"Jadi kau yang bernama Lily?" tanya James dingin.
"Benar. Nama saya Lily, Lily Fanning," jawab Lily sambil tersenyum semanis mungkin.
James menatap Lily lamat, menilai gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lily terlihat cantik dengan gaun midi berwarna biru langit. Warna cerah memang terlihat segar pada kulitnya yang putih. Rambut coklat panjang kemerahan terkepang rapi, anak rambut di samping telinga membuat Lily terlihat manis. Mata zambrut Lily menarik perhatian James.
"Pantas saja."
"Ya?" Lily kebingungan.
James kembali menuruni tangga, acuh terhadap Lily. Di lantai dasar, Carl berdiri tegap, lengkap dengan mantel bulu berwarna hitam. Sesampainya di bawah, Carl membantu James mengenakan mantel dan mengantarnya ke luar.
"Gadis itu sudah tahu kalau Isaac yang mencelakainya?" tanya James pada Carl, Carl mengangguk.
"Lalu kenapa dia masih kemari? Apa dia mencoba memeras Isaac karena tahu Isaac kaya?" James kembali bertanya, menerka dengan akal pikiran logis yang selalu ia banggakan.
"Tidak, Tuan. Justru Tuan Isaac yang tergila-gila padanya. Gadis itu menolak setelah tahu kebenaran akan masa lalu mereka, tapi Tuan Isaac tak pernah berhenti untuk membuat gadis itu percaya pada ketulusan cintanya." Carl membukakan pintu mobil untuk James.
"Lantas kenapa dia berada di sini?" James tak habis pikir, kalau menolak Isaac kenapa Lily ada di vila?
"Dia merendahkan diri demi kebahagiaan banyak orang, Tuan. Mungkin karena ketulusan dan kelembutan hatinya itulah Tuan Isaac begitu mencintai Nona Lily." Carl menutup pintu mobil James.
"Jelaskan padaku, Carl!"
"Karena permintaan tulus warga desa Nona Lily datang menemui Tuan Isaac. Anda tak akan pernah bisa membayangkan betapa beratnya saat harus kembali mendatangi orang yang pernah melukai kita dengan begitu dalam. Kembali dan memohon demi pengharapan bagi banyak orang. Tapi gadis itu melakukannya, ia datang, merendahkan diri meminta Tuan Isaac membantu warga desa." Carl tersenyum hangat saat memuji kebaikan hati Lily.
Wajah James yang semula mengeras telihat jauh lebih relaks. Perlahan mobil menderu, beranjak pergi dari vila. Membawa seorang pria tua menikmati pemandangan musim gugur yang indah. Desa kecil yang penuh warna, di dalamnya menyimpan banyak cerita. Salah satunya adalah cerita tentang Isaac dan Lily. Kisah keduanya mengajarkan tentang ketulusan, pengharapan, dan cerita cinta yang tak bersyarat.
"Lily ya," gumam James.
"Ah, sepertinya aku telah menua. Isaac mulai dewasa, rasa-rasanya baru kemarin aku menggendongnya." James tersenyum. Sudah saatnya melepaskan Isaac, membuat anak itu mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Juga cintanya.
"Lakukan apa yang menurutmu benar, Nak." James merebahkan kepala pada sandaran kursi, menikmati potongan-potongan pemandangan alam yang indah. Pohon demi pohon silih berganti terlintas pada pelupuk mata tuanya.
— Bahasa Bunga —