Lily menangis pasrah sepanjang jalan. Tangannya terikat di belakang. Anak buah Frank menyumpal mulut Lily dengan kain. Isakkan pelan membuat napas Lily terasa berat.
"Kita sampai, Tuan."
"Baik, saat aku memberimu aba-aba, bawa dia turun!!" Frank menuruni mobil terlebih dahulu. Bergabung dengan petugas keamanan bersenjata yang telah berkerumun di pekarangan rumah keluarga Lincon.
Kepala polisi sudah memberikan surat penangkapan pada Harry Lincon. Memberikan tuduhan penghasutan warga dan menimbulkan kekerasan di berbagai tempat. Kepala polisi memberi waktu untuk Harry menyerahkan diri.
BRAK!!
Anak tertua Harry menggebrak meja. Dengan amarah yang menggebu ia menjerit. "Omong kosong apa lagi yang sedang ia mainkan?!"
"Kita tak boleh bertindak gegabah, kita tak boleh menyulut emosinya. Tidak sampai petugas penyelidik dari kejaksaan datang." Isaac menghentikan amarah keluarga Lincon. Meminta mereka mendinginkan kepala.
"Bagaimana mungkin kami akan diam saja. Mereka ingin menahan Ayah. Usia Ayah sudah tidak muda lagi, Isaac. Bagaimana kalau mereka menyiksa Ayah di dalam penjara? Ayah bisa mati," tukasnya menyangkal Isaac.
"Isaac benar, Nak. Kita tak boleh gegabah, tak hanya nasib peternakan ini, nasib warga pun bisa ikut terseret." Harry menilik melalui kisi-kisi jendela, ada beberapa unit mobil polisi berjajar di depan rumahnya. Belum lagi anak buah Frank, dan juga buruh perkebunan anggur. Semuanya ingin menyeret Harry.
"Jangan keluar, Ayah!" Pinta mereka.
Para warga berbondong-bondong datang, buruh ladang dan peternakan menghambur masuk ke dalam rumah utama. Ingin membantu keluarga Lincon. Mereka membawa benda apapun sebagai senjata. Sekop, sabit, garuk, sampai palu.
"Pria gila itu mencari gara-gara lagi?"
"Benar, dia ingin menuntut Ayah. Menjadikan kambing hitam akan kerusuhan yang terjadi belakangan ini." Desis anak tertua dengan nada tinggi.
"Tidak bisa, kita harus keluar dan mengusir mereka!" Seorang warga mengangkat senjata, mengobarkan semangat. Yang lain mengikuti, hendak menerobos ke luar. Isaac bergegas menghalangi pintu keluar.
"Sabar dan tenanglah!! Kita bicara baik-baik." Isaac melentangkan tangan, mencoba untuk menahan tubuh seluruh warga yang berusaha menghambur keluar. Mencoba menghentikan keresahan dengan jalan kekerasan.
"Aku akan keluar menemui mereka." Harry menetapkan hati.
"Aku akan menemanimu, Paman," kata Isaac.
Akhirnya Harry dan Isaac keluar, para warga dan buruh pertanian berdiri di belakang mereka. Lengkap dengan senjata sederhana. Pihak kepolisian mendapat respon, Frank berhenti berkacak pinggang dan menyeringai senang.
"Anda dituduh melakukan penghasutan dan menimbulkan kekacauan yang berujung pada kekerasan, Tuan Lincon." Kepala polisi maju, menyerahkan surat penahanan.
"Kalau saya tidak mengakuinya bagaimana?"
"Katakan itu di depan hakim nanti, Anda berhak diam dan memperoleh pengacara." Kepala polisi mengeluarkan borgol.
"Tak bisakah kita bicara baik-baik?" Isaac menahan tangan polisi berjanggut coklat sebelum mengunci tangan Harry.
"Tuan Frank ingin Anda mencabut penyelidikan atas sengketa lahan dan ia akan mencabut juga laporannya. Itu pembicaraan baik-baik yang bisa Tuan Frank tawarkan, Tuan Isaac." Polisi menjelaskan keinginan Frank.
"Tidak!!! Tidak bisa!! KAMI MENOLAK!!" jeritan warga terdengar, Isaac menoleh kaget. Para polisi dan anak buah Frank langsung memasang posisi siaga. Beberapa polisi bahkan terlihat mulai mengeluarkan senjata api mereka.
"PERGI DARI SINI!!"
"POLISI KORUP!!! KAMI MENOLAK MENCABUT TUNTUTAN!!" teriakan mereka memenuhi langit-langit. Bagaimana mereka tidak menolak, mencabut pemeriksaan sama saja membuat semua warga terusir, kehilangan pekerjaan, bahkan sampai tempat tinggal.
Hujan geremis masih terus mengguyur desa, membuat pekarangan luas milik keluarga Lincon basah. Udara dingin terasa merasuki tulang, namun semangat dan amarah warga membakarnya. Isaac mencoba meredakan amarah warga dengan kode tangan, namun tidak berhasil. Bagi warga permintaan Frank tidak maauk diakal, lantas bagaimana bisa polisi malah mendukung Frank? Mereka pastilah menerima uang sogokkan.
"KAMI TAK AKAN PERGI!! KAMI AKAN MELAWAN!"
Para warga mengambil ancang-ancang, bergerak maju, mencoba untuk menyerang polisi. Kepala polisi telah kembali pada posisinya. Hanya pak tua Lincon dan Isaac yang masih berdiri tenang pada tempatnya berpinjak.
DOR!!! Sebuah tembakan peringatan di tembakkan ke udara. Membuat gerakan warga terhenti. Semuanya terpaku sesaat.
"BERGERAK SATU LANGKAH LAGI, kami akan menembak!!" Polisi memberi peringatan.
Di tengah-tengah kepanikan warga, seseorang dari kubu Frank membawa masuk Lily pada kerumunan. Mendorong kasar lantas menyerahkan tubuh lunglai gadis itu kepada Frank. Rambut dan pakaian Lily basah kuyup, terguyur oleh dinginnya air hujan. Tubuh Lily bergetar hebat, antara takut atau kedinginan. Jantungnya juga berdetak cepat, membuatnya lemas. Lily menunduk, Frank dengan kejam menjambak rambut agar Lily mendongak, jadi Isaac bisa melihat wajah Lily.
"Lily??!" Isaac terkejut melihat Lily tersandra dalam cekalan Frank, wajah cantiknya terlihat lebam, ada darah mengering pada sudut bibir. Isaac mengepalkan tangan dengan geram.
"Isaac, tolong aku!" Lily terisak, bibir tipisnya bergetar hebat.
"Apa yang kau lakukan pada Lily?!" teriak Isaac kalap.
"Ayo kita bertukar! Cabut laporanmu. Aku lepaskan gadis gila ini!! Kalau kau tidak mau, aku akan mempermalukannya di depan semua orang." Frank melepaskan ikatan tangan dan menarik paksa cardigan yang dikenakan Lily. Lily meronta, mencoba menahan kelakuan Frank. Lily terisak, dadanya bergerak naik turun. Sayangnya air mata Lily tersapu oleh curahan air hujan. Lily memeluk tubuhnya sendiri saat cardigan coklat itu berhasil terlepas.
"Bajingan!!" umpat Isaac, ia hendak maju ke depan, tapi Harry menahan sikut tangannya.
"Bagaimana?? Aku lepaskan gadis ini!! Kau kembalilah ke kota! Hidup bahagia!! Jangan campuri urusanku!! Aku bahkan akan membayarmu lima kali lipat dari yang warga desa ini tawarkan." Frank menatap Isaac tajam, begitu pula Isaac, menatap Frank dengan tajam. Penuh amarah, pikirannya mulai kalud, melihat Lily terbelunggu dalam cekalan Frank membuat akal sehat Isaac menghilang.
Lily bergeleng, memberi isyarat agar Isaac tak mempedulikan ucapan Frank. Lily menggigit bibirnya supaya berhenti bergetar. Mengumpulkan sisa keberanian, mencari cara kabur dari cekalan Frank.
Para warga mulai kehabisan kesabaran, mereka menghentakkan senjata, berusaha menakuti polisi dan para pendukung Frank. Isaac masih menatap nanar ke arah Frank, lalu Harry, baru kemudian warga. Isaac diperhadapkan di antara pilihan yang sulit. Cintanya, rasa kemanusiaannya, dan juga dedikasinya. Mana yang harus Isaac pilih?? Mana yang harus Isaac korbankan?
"Tentukan pilihanmu!!!" teriakan Frank menggema di udara, menembus rintikan hujan.
"JANGAN!! BAGAIMANA NASIB KAMI!!" teriak warga.
"Kumohon Isaac! Lebih baik aku menyerahkan diri dan mati di penjara!" Harry menatap sendu dengan mata tuanya yang penuh keriput.
"CEPAT TENTUKAN PILIHANMU!!" Frank kembali berteriak, pria itu mulai tidak sabar.
Lily tak menyia-yiakan kesempatan ini. Ketika Frank sibuk bernegosiasi dan anak buahnya sibuk bersitatap dengan para warga. Lily mengumpulkan segenap keberanian dan tenaga. Tanpa ragu Lily menggigit lengan Frank sekuat mungkin. Spontan Frank melepaskan cekalannya, mengaduh keras karena rasa perih, lengannya mengeluarkan darah segar.
Lily berhasil terlepas, ia langsung berlari sekuat tenaga ke arah depan, berharap Isaac akan segera memeluknya.
"Sialan!! Wanita gila!!" Frank naik pitam, dengan kalap ia mencabut pistol pada pinggang salah seorang polisi.
"Tuan apa yang Anda lakukan?!" Cegah polisi itu, tapi terlambat. Frank menarik pelatuk pistol. "Tentu saja memberi mereka pelajaran!!"
Pria itu menembakkan beberapa peluru ke arah Lily berlari.
DOR DOR DOR!!!
— BAHASA BUNGA —