Chereads / BAHASA BUNGA / Chapter 52 - LILY XI

Chapter 52 - LILY XI

Tiga hari kemudian, surat Isaac telah sampai pada kementrian pertahanan. Berkat bantuan kakak tertua Lily dokumen-dokumen negara bisa segera ditemukan. Kakak Lily mengirim beberapa dokumen lewat faximile ke kantor balai desa —kebetulan hanya balai desa yang punya mesin fax. Lalu mengirimkan sisa salinan dokumen lewat pos. Beberapa dokumen —lewat fax— diharapkan bisa menjadi bukti terlebih dahulu. 

Isaac telah menerima dokumen-dokumen surat tanah. Dengan segera Isaac memutar nomor pada telepon di atas meja kerja, menghubungi kantor kementrian pertahanan.

"Dokumennya sudah kuterima. Terimakasih atas bantuannya, Kak," ucap Isaac.

"Sama-sama. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Dan, aku berterimakasih juga kau mau menjaga Lily." Pria dengan warna rambut coklat kemerahan mengangguk bahagia di ujung lain.

.... Isaac terdiam sesaat, kakak Lily belum mengetahui kalau Isaac adalah lelaki pada masa lalu adiknya yang kelam.

"Aku akan menjaga Lily dengan baik," kata Isaac.

"Aku percayakan dia padamu. Keluarga kami terlalu miskin untuk memberikan Lily pengobatan yang layak, sampai sekarang kami masih terus merasa bersalah karena ingin mengirim Lily ke rumah sakit jiwa. Aku kira tak akan pernah ada pria yang mendekatinya. Ternyata aku salah, masih ada pria yang begitu baik dan berhati lapang sepertimu. Kau bahkan mau menerima kekurangan Lily," tuturnya panjang lebar, Isaac hanya terdiam.

"Maaf aku cerewet sekali, bicara panjang lebar tanpa arah. Yang pasti aku sangat terharu, aku titipkan Lily padamu."

"Kau bisa pegang janjiku, aku akan menjaga dan mencintainya sepenuh hati." Isaac melirik ke arah Lily dari jendela lantai dua, gadis itu tengah menikmati teh dan hembusan angin dingin di taman belakang vila. Bersama dengan Sophie —pelayan wanita di kediaman Isaac.

"Ingat janji pria harga mati." Kakak Lily terkikih pelan, berusaha menyembunyikan nada sengau. Sudut matanya berair, rasa haru menyelimuti hatinya. Tak pernah ia sangka Lily justru menemukan kebahagiaan di desa terpencil itu. Bahkan kekasih Lily adalah seorang pengacara.

"Aku tutup telefonnya, banyak yang harus aku kerjakan." Pamit Isaac.

"Baik, aku juga harus kembali bekerja." 

Isaac menaruh kembali gagang telefon. Bergegas untuk menyusun laporan gugatan pada kasus sengketa lahan. Senyuman terkulum manis, betapa bahagianya Isaac membaca bahwa surat tanah hanyalah hak guna, bukan hak milik. Tanah itu adalah tanah inventaris milik negara, tidak bisa diperjual belikan. Hanya bisa dipindah tangankan kepada anak cucu mereka. Suatu ketika negara berhak mengambil atau menyerahkannya secara utuh.

"Terima kasih, Tuhan." Isaac berseru bahagia, sebuah mujizat terjadi, mungkin niat baik Isaac menyentuh hati Sang Pemilik Kehidupan.

Di sudut vila lainnya, tak beda dari Isaac yang bersemangat dengan kasusnya. Lily juga terlihat bersemangat menikmati pagi hari yang dingin. Sudah dua hari Lily bersama dengan Isaac. Menginap di vila. Isaac terlalu sibuk menyusun surat gugatan, tiap malam Lily akan tertidur sebelum Isaac sempat mengantarkannya pulang. Terpaksa Lily menginap. Suasana Vila juga seolah menjadi hidup, canda tawa sesekali terdengar saat Sophie membagi gosip terhangat tentang warga di sekitar desa. Sudah lama tak ada teman bercanda, Carl terlalu tua, dan Isaac bukan tipe majikan yang punya banyak waktu.

"Teh ini enak sekali, Sophie," kata Lily.

"Teh bunga mawar, Tuan Isaac sangat menyukainya, Nona," jawab Sophie.

"Ow, aku kira warga yang membelinya, ternyata Isaac." Lily menyesap teh, ucapan Sophie membuat wajahnya merona kemerahan. 

"Wajah Anda merah sekali, Nona. Apa Anda sakit? Mau masuk ke dalam?" Sophie terlihat khawatir, cuaca pagi ini memang lebih dingin dari biasanya. 

"Ah, tidak, aku baik-baik saja, ini pasti karena uap panas." Lily malu-malu membenamkan wajah pada cangkir, pura-pura menikmati teh, padahal sedang bersembunyi.

"Oh, begitu."

Pembicaraan ringan mereka terhenti, sebuah suara deruan mesin membuat keduanya menoleh. Mobil hitam mengkilat indah memasuki halaman vila. Seorang sopir membuka dan menutup sendiri pintu pagar besar. Wajah Sophie memucat, bibirnya terkatup kelu, matanya membulat. Lily tak bisa melihat hanya mampu menajamkan indra pendengaran untuk mencari tahu siapa yang datang.

"Tuan Besar?! Mau apa beliau datang kemari?" Sophie terpekik, dengan cepat masuk untuk melaporkan kedatangan James Ronan pada atasannya.

"Tuan Carl. Tuan Besar datang." Sophie mengatur napasnya yang masih berat, mencoba berdiri tegap di depan Carl.

"Tuan James?" Carl tak kalah terkejut.

Keduanya bergegas datang ke pintu masuk utama, berdiri tegap untuk menyambut kedatangan James. Tak lama pintu kayu model kupu tarung terbuka. Pria jangkung dengan wajah dingin dan tegas masuk. Tatanan rambutnya –sudah hampir seluruhnya memutih– licin ke belakang. Kaca mata dengan rantai tergantung pada kedua daun telinga. Pandangannya tajam, terlihat benar bahwa James Ronan adalah seorang yang tegas dan kaku. Berperinsip dan penuh dedikasi.

"Di mana putraku?" tanyanya langsung, sepatu pantofel mengkilat beradu dengan lantai pualam. Menimbulkan suara hentakan berirama.

"Tuan Muda ada di dalam kamarnya, Tuan. Sedang bekerja." Carl menerima mantel dari tangan James.

"Aku akan menemuinya." James menaiki tangga lengkung dengan rilling dari kayu oak yang indah.

Carl saling pandang dengan Sophie. Keduanya terlihat bingung. Carl teringat kepada Lily yang masih duduk di taman belakang, belum beranjak walupun alisnya mengeryit kebingungan.

"Bawa Nona Lily masuk ke dalam kamar tamu, Sophie. Jangan sampai Tuan James melihatnya, aku takut akan ada kesalah pahaman lainnya bila Tuan Besar sampai menjumpai Nona Lily." Carl bergegas naik mengikuti langkah James, Sophie mengangguk paham, segera berlari menuju ke taman.

BRAK!!

Pintu kayu berukiran indah langsung terbanting. James dengan wajah garang masuk ke dalam kamar putranya. Menatap galak ke arah Isaac. Isaac menghentikan laju mesin ketik, membalas tatapan ayahnya. 

"Ayah."

— BAHASA BUNGA —