Legang, lagi-lagi sunyi dan senyap. Tak ada suara selain napas Isaac yang berat. Lily memainkan jari di atas pangkuan, tongkat kayu tersandar di samping meja nakas. Lily juga bingung harus melakukan apa selain menunggu Isaac terbangun. Yah, bagaimana pun, Lily sudah lama tidak bertemu Isaac, karena Lily juga Isaac jadi seperti ini, jadi sudah pasti Lily merasa tidak enak hati.
"Eum ...," gigau Isaac, keringat dingin memenuhi pelipisnya.
"I—Isaac?" Lily meraba-raba kasur dan tubuh Isaac.
Ya Tuhan keringat dinginnya banyak sekali. pikir Lily.
Lily mengambil sapu tangan dari saku baju hangat lantas menyeka keringat pada dahi Isaac dengan lembut. Isaac menggeliat perlahan, tangan Lily membuatnya nyaman.
"Lily ...," lirih Isaac.
"Eum ...," gumam Lily.
"Ah, aku pasti terlalu demam sampai bermimpi." Isaac mengerjapkan mata perlahan, menatap lamat-lamat keberadaan gadis cantik itu.
"Ya Tuhan kalau ini mimpi jangan biarkan aku bangun dulu," ucap Isaac masih sambil mengerjapkan mata.
"Ini bukan mimpi, Isaac." Wajah Lily menghangat mendengar penuturan jujur Isaac.
"Lily???" Isaac membelalak, dia tak sedang bermimpi.
"I—iya, ini aku." Lily tersenyum tipis.
Isaac terdiam, masih berusaha mengumpulkan kepingan nyawanya sambil menatap Lily lamat-lamat. Benarkah gadis di hadapannya saat ini Lily? Bunganya?
"Kenapa kau bisa berada di sini? Dari mana kau tahu rumahku?" Isaac menyibakkan selimut, duduk di pinggir ranjang. Isaac hanya memakai kaos singlet tipis dan celana panjang katun.
"Dari Bella." Lily menggenggam erat rok gaun, terlihat canggung.
"Ah, begitu." Isaac mengerti.
"Apa masih sakit? Apa kau masih demam?" Lily bertanya sambil menunduk, menyembunyikan wajah kikuknya.
"Kenapa menunduk? Wajahku kan tidak berada di lantai." Goda Isaac.
"Tak apa kan, toh aku juga tak bisa melihat wajahmu." Ucapan Lily membuat hati Isaac berdenyut sakit.
"Maaf, Lily." Isaac mengelus pipi dan turun untuk mengangkat dagu Lily, gadis itu mau tak mau mengangkat wajahnya.
"Berhentilah meminta maaf, Isaac."
Sunyi, baik Isaac dan Lily lagi-lagi memilih diam. Mencoba menata hati mereka masing-masing. Pertemuan setelah berpisah cukup lama membuat keduanya merasa canggung. Belum lagi kenyataan bahwa Isaac adalah pria pada masa lalu Lily, dan Lily sendiri yang telah mengusirnya pergi.
"Apa kau masih demam?" Lily menaruh punggung tangan pada dahi Isaac. "Sepertinya sudah tidak panas."
"Hanya sedikit pening saja. Semua rasa sakitnya seakan menghilang saat kau datang. Berjumpa denganmu membuatku bahagia. Bukankah hati yang bahagia adalah obat yang paling manjur." Isaac terkikih, Lily memanggutkan kepala membenarkan ucapan Isaac.
"Ah, Sepertinya kau sudah baikan, mau keluar jalan-jalan menikmati pemandangan musim gugur?" tanya Lily.
"Kau mau aku jadi matamu lagi?" tanya balik Isaac. Lily mengangguk. Isaac bergegas bangkit, melepaskan kaos dalam basah — keringat dingin karena demam— dan menggantinya dengan yang baru.
"Jangan lupa pakai mantel, anginnya dingin. Jangan sampai kau jatuh sakit lagi." Lily mewanti-wanti Isaac.
"Baiklah, Nona." Isaac menurut. Tak lama Isaac telah bersiap, menggunakan mantel coklat dan celana panjang katun.
"Kau sudah siap?" Lily bangkit, meraba jalan dengan tongkatnya.
"Sudah. Kemarilah!" Isaac merenggut tongkat Lily lalu menggenggam tangan gadis itu. Menggandeng turun ke taman belakang.
Wajah Lily bersemu kemerahan, bukan karena udara dingin. Tapi karena genggaman Isaac yang hangat. Rasa hangatnya membuat desiran halus menjalar pada sekujur tubuh Lily, gadis itu benar-benar menikmati sensasinya. Sebuah getaran hebat dari sensasi rasa rindu yang membuncah. Rasa rindu, ya, baru Lily sadari, ternyata ia sungguh merindukan Isaac.
Lily menurut saja saat Isaac membawanya ke taman. Mengajaknya duduk pada kursi malas di pinggir kolam. Ada beberapa ekor angsa yang berenang dengan anggun. Pepohonan maple juga sudah mulai menguning, daun-daun berguguran dengan indah, laksana karpet keemasan pada istana raja.
Isaac menatap bentangan alam yang mulai berwarna, tak lagi hanya berwarna hijau, tapi ada warna kuning, merah, dan coklat. Tergantung musim gugur mengubah warna daun pohon-pohon itu menjadi apa. Angin berhembus semilir, memberi rasa sejuk yang kaku saat menerpa wajah. Bunyi dencitan bangku kayu terdengar, Lily menikmati angin dingin dan bunyi-bunyian suara alam. Isaac mengamati Lily lamat.
"Bagaimana? Apa kau kedinginan?" Lily mencoba memecah keheningan.
"Tidak, aku tak kedinginan." Isaac bergeleng masih menatap Lily. Isaac masih belum percaya bahwa Lily ada di sampingnya. Berbagi lagi ruang yang sama.
"Ah, baguslah."
"Apa yang membawamu kemari, Ly? Aku tahu pasti bukan hanya sekedar untuk menemuiku." Isaac sepertinya bisa menebak walaupun Lily belum memberi tahukan tujuannya.
"Eum ... aku mau meminta tolong padamu, Isaac." Lily terbata.
"Minta tolong? Apa?" Isaac mengeryitkan alisnya bingung.
"Bisa kau bantu Noir dan juga warga desa? Masalah sengketa lahan dengan keluarga Gysor." Lily menyisir anak rambut ke belakang telinga. "Maaf, Isaac. Mereka berharap banyak padamu. Aku tahu tidak sepantasnya aku meminta hal ini padamu."
Isaac mendesah panjang, sudah ia duga sebelumnya, Lily pasti menemuinya karena masalah ini. Isaac sedikit kecewa, andai saja warga tidak meminta bantuan, akankah Lily tetap akan menemuinya? Memaafkannya?
"Kalau aku membantu kasus itu, apa kau mau memaafkan dan kembali padaku?" Isaac menggenggam tangan Lily.
"Isaac, aku ...." Lily menunduk.
"Bagaimana?"
Butuh beberapa menit yang panjang bagi Lily untuk berkutat dengan perasaannya. Sebenarnya Lily sadar betul akan perasaannya yang masih mencintai Isaac. Lily hanya takut, takut kembali kecewa, takut kembali sakit.
"Baiklah, Isaac. Aku akan kembali padamu."
"Benarkah?" Mata Isaac membulat, Lily mengangguk.
"Terimakasih." Isaac menyadarkan kepala dipundak Lily.
Apakah yang kulakukan ini benar? Pikir Lily. Lily memejamkan mata menikmati hembusan angin dan juga hangatnya genggaman tangan Isaac. Jemari yang saling tertaun memberikan rasa aman. Tak ada alasan bagi Lily untuk meragukan cinta Isaac.
Benar. Tak ada yang perlu di sesali lagi, Lily. Tak ada yang perlu ditakutkan, segalanya akan baik-baik saja. Pikir Lily.
Pemandangan musim gugur yang indah membuat perasaan Isaac menjadi nyaman. Begitu pula dengan Lily, walaupun tak bisa melihat, rasa nyaman tetap saja memenuhi hatinya.
Isaac mengangkat kepala, mengecup perlahan pipi Lily yang terlihat kemerahan. Isaac berkata, "kalau di bibir nanti tertular flu."
"Ah, dasar," desis Lily malu-malu.
"Jangan pergi dariku lagi, Lily! Jangan pernah, bahkan coba-coba pun jangan!!" Isaac menggenggam kedua tangan Lily lantas mengecup permukaannya dalam.
Lily langsung memeluk Isaac, melingkarkan tangannya pada leher Isaac. Lily mengangguk sambil menahan tangisan. Isaac membalas pelukkan Lily, membelai rambut coklat kemerahan itu dengan lembut. Dua tahun yang penuh dengan kekecewaan seakan menghilang dalam dekapan hangat itu. Dua tahun yang penuh dengan air mata terhapus dalam belaian itu.
"Detik ini juga kita akan selalu membagi kebahagiaan Lily. Aku akan menjadi matamu, menjadi tongkat kayu itu. Tak akan sedetik pun aku meninggalkanmu. Terimakasih telah mengizinkanku bertanggung jawab." Isaac mempererat pelukkannya.
Sinar matahari menelisik melalui dedaunan padat yang menguning. Membuat sensasi keemasan yang amat cantik. Lily terus terisak dalam dekapan Isaac, terisak penuh luapan kebahagiaan.
— Bahasa Bunga —