Suasana desa semakin mencekam. Hubungan kedua belah pihak semakin memanas. Pihak peternakan sering cekcok dengan pihak perkebunan anggur. Bahkan tak jarang terjadi perkelahian sengit. Beberapa orang pekerja mengalami cidera serius karena senjata tajam. Para warga lain yang tidak terlibat memilih bungkam karena takut terluka. Kepala desa menerapkan jam malam, tak ada warganya yang boleh beraktifitas selepas jam 8 malam.
Puncak pertikaian terjadi pada akhir bulan pertama di musim gugur, Frank membawa beberapa orang petugas keamanan bersenjata api mengepung lahan keluarga Lincon. Warga tidak tinggal diam, mereka melawan dengan senjata yang ada. Garpu jerami, sabit, sekop, sampai membawa pemukul kayu. Semuanya bertekat untuk melindungi tanah miliknya masing-masing.
Satu minggu sebelum kejadian itu pecah, Isaac bertandang ke rumah Pak Tua Lincon untuk mencari bukti. Bukti kuat yang bisa dijadilan dasar bagi Isaac untuk memberikan tuntutan balik kepada Frank.
"Selamat siang Tuan Lincon," sapa Isaac sembari melepas topi flat cap.
"Siang Tuan Ronan." Harry didampingi oleh beberapa orang anak lelakinya dan juga perwakilan warga menyambut kedatangan Isaac dengan sukacita. Melihat Isaac membuat semangat dan pengharapan muncul.
"Panggil saja aku, Isaac, Tuan."
"Kalau begitu kau bisa memanggilku paman, Isaac." Harry menepuk pundak Isaac.
"Baiklah, Paman." Isaac mengangguk.
"Mari kita masuk ke dalam." Ajak Harry, tubuh rentanya terlihat mulai bungkuk.
Isaac mengekor mereka. Berbincang ringan sepanjang jalan menuju ke dalam rumah utama. Ruang tengah penuh dengan perabotan kayu rustic menyambut kedatangan Isaac. Meja makan super besar terletak di bagian tengah ruangan luas itu. Keluarga Lincon punya 8 orang anak, 8 orang menantu, 6 orang cucu, tentu saja meja makan mereka sangat panjang. Cocok digunakan untuk pertemuan hari ini.
"Silahkan duduk, Isaac." Harry mempersilahkan Isaac duduk, pria tua itu mengambil bangku di sudut tengah, bersebrangan dengan Isaac. Perwakilan warga dan anak-anak lelaki Lincon duduk di sebelah kanan dan kiri.
"Boleh saya lihat semua surat-surat legal dan mendengar cerita kalian?" Isaac mengeluarkan buku bersampul kulit, warna coklat dengan inisial timbul IR berwarna emas pada ujung kanan bawah. Isaac bersiap menulis, mencatat apapun yang warga utarakan. Siapa tahu ada petunjuk, ada bukti titik terang akar masalah yang menjerat mereka.
Anak tertua menyerahkan setumpuk surat dan berkas kepada Isaac. Semua surat-surat lama, sudah menguning dan pudar. Tak jarang ada yang telah robek atau berjamur. Isaac selalu bersin beberapa kali saat membuka tiap lembar dokumen-dokumen tua itu. Rata-rata memang telah berusia dua generasi, atau setara dengan 40-50 tahun.
"Rata-rata kompensasi tentara dari perang dunia pertama?" Isaac menemukan kesamaan pada tiap dokumennya. Perang dunia pertama terjadi antara tahun 1914-1918. Berarti 42 tahun yang lalu.
"Betul, Almarhum suamiku adalah seorang veteran perang. Kami butuh modal untuk sekolah anak, jadi menjadikan surat itu sebagai anjungan meminjam uang pada mandor ladang."
"Ayahku juga begitu, dulu beliau pernah menjadikan surat tanah anjungan sebelum mewariskan tanah beserta bangunan kepada kami. Tapi beliau bilang sudah lunas."
"Perternakan ini berasal dari kompensasi juga?" tanya Isaac.
"Tidak, lahan peternakan murni warisan turun temurun. Sedangkan untuk ladang gandum ayahku membelinya dari para warga yang pindah karena anak-anak mereka besar di kota. Mereka tak ingin mengurus lagi ladang setelah orang tua mereka meninggal. Saat itu aku berusia 30 tahun." Harry menjelaskan kepada Isaac.
"Kami para pendatang baru juga begitu Tuan Isac, begitu perang dunia ke 2 berakhir, kami memutuskan pindah ke desa, membangun hidup baru dengan sisa uang. Anda tahu betul saat itu betapa hancurna perekonomian negara, kami juga membeli rumah dari mandor lahan." tukas yang lain. Perang dunia kedua berakhir pada tahun 1945.
Isaac mengangguk. "Kalian membelinya langsung?"
"Tidak, dari mandor ladang, Tuan Isaac. Karena saat itu beberapa petak lahan dijual serempak oleh pemiliknya."
"Siapa yang mengurus pejabat notaris pembuat akta tanahnya?"
"Tentu saja semua kepemilikan tanah dibuat oleh sekertaris desa. Kami bukan warga kota yang penuh dengan keteraturan dan surat legal. Kami hidup berdasarkan rasa kepercayaan dan gotong royong. Dan lagi kami orang bodoh yang hanya tahu caranya bekerja kasar," tutur Harry, ia merasa begitu resah saat ini.
Ah, pantas saja hakim dengan mudah mengesahkan surat milik, Frank. Tukas Isaac dalam hati. Bagaimana tidak, mereka percaya begitu saja dengan akta yang dibuat oleh pihak seketarias desa tanpa surat legal dari notaris atau PPAT —lembaga berbadan hukum.
"Berarti tak ada lembaga hukum yang bisa melindungi kalian." Isaac mengusap dahinya. Kasus ini sangat berat, tak ada celah bagi mereka semua.
"Lalu kami harus bagaimana?"
"Apa Mandor yang kalian sebutkan masih tinggal di desa ini?"
"Tidak, dia pergi merantau ke kota."
"Ada yang tahu alamat rumahnya?"
"Tidak, kami tak pernah mendengar kabarnya, dia mengikuti anaknya pergi ke kota setelah penjualan lahan gandum. Menilik dari usianya, mungkin dia juga sudah meninggal."
"Aku curiga dia juga menjual lahan kalian pada keluarga Gysor. Maka itulah ada dua bukti surat kepilikkan tanah. Sayangnya milik Frank yang menang karena punya landasan hukum." Isaac mendengus panjang, Frank pasti membuat buktinya kuat.
"Lalu apa yang harus kami lakukan? Kami tak ingin terusir, Isaac. Usiaku sudah menginjak 70 tahun awal musim dingin nanti. Sudah terlalu tua bagiku untuk pindah dan menjalani hidup yang baru." Seorang wanita tua mendekam tangan keriputnya, khawatir.
"Benar, aku juga baru saja memiliki bayi, dan suamiku bertugas di luar negeri. Kalau kami harus pindah dalam tiga minggu, bagaimana aku bisa bertahan?" Seorang pewaris tanah lainnya mengeluhkan hal yang sama.
"Ladang milik Lincon menyuplai hampir seluruh bahan makanan di desa. Tanpa lahan itu, gandum akan menjadi langka dan mahal karena kami harus mencari di tempat lain. Apa lagi harga bahan bakar semakin naik sejak perang dunia kedua berakhir."
"Di mana kami akan bekerja bila lahan gandum tergusur?"
"Tolong kami!!" seru seseorang.
"Benar, Tuan Isaac, tolong kami!!!" sahut yang lain.
"Kami mohon!!"
"Berhentilah membuat ribut." Lincon mencoba mencegah mereka menekan Isaac.
"Kalian berhentilah mendesak!!!" Anak-anak Lincon ikut menyela.
"Tolong kami, Tuan Isaac." Isak tangis mulai terdengar pilu. Semuanya merasa resah.
Isaac berpikir sejenak, mengetuk-ketukkan ujung pena pada permukaan meja. Sudah menjadi kebiasaan Isaac bila menemui kasus yang buntu.
"Sepertinya masih ada satu jalan keluar." Isaac menaruh penanya.
"Apa itu?" Semua mata langsung tertuju kepada Isaac.
"Tanah kalian rata-rata adalah kompensasi pemerintah kepada veteran perang. Sudah tentu negara punya salinan surat tanah yang asli. Andai saja hak milik masih di tangan negara dan veteran perang hanya memiliki hak guna tanah saja. Berarti surat kepemilikan tanah milik Frank akan otomatis menjadi ilegal. Tapi kalau negara murni menyerahkan seluruh hak guna dan hak milik pada orang tua kalian, berarti surat Frank yang menang." Isaac menjelaskan panjang lebar, semuanya berkasak kusuk. Rata-rata adalah generasi penerus, mereka hanya mewarisi tanah itu, bukan penerima langsung.
"Apa Anda tahu, Nek? Bukankah suami Anda menerima langsung haknya?" tanya Isaac.
"Benar, tapi itu sudah lama sekali. Hampir empat puluh lima puluh tahun yang lalu. Dan aku benar-benar lupa."
Isaac mengamati dokumen-dokumen kepemilikan tanah. Rata-rata sudah tak terbaca. Ketikan mesin terlihat pudar, beberapa juga telah rusak dimakan usia. Jalan satu-satunya adalah menyurati dinas terkait. Kementrian pertahanan akan menjawab semua tanda tanya itu. Semoga saja, tanah kompensasi yang menjadi milik mereka adalah hak guna, bukan hak milik. Jadi tanpa persetujuan negara, penjual beliannya ilegal.
"Aku akan mengirim surat pada kementrian pertahanan dan HAM. Semoga saja semua tanah ini masih milik negara. Kalau tidak, kita tak punya apapun untuk melawan Frank." Isaac menutub buku agendanya.
"Baik, Nak."
"Semoga tidak makan waktu lama." Doa mereka.
"Semoga." Timpal Isaac.
— BAHASA BUNGA —