Hujan gerimis kembali mengguyur desa, membasahi tiap jengkal balok paving jalanan. Toko-toko mulai membereskan dagangan yang tergelar di luar agar tidak terkena tempias air. Beberapa di antara mereka mengeluh karena hujan terus turun dalam satu minggu ini. Mereka pasti akan merugi kalau hujan terus turun sepanjang musim.
"Lily, apa kau di dalam?" Bella masuk, menyisakan bunyi gemerincing lonceng.
"Hai, Bell, iya, aku sedang menyeduh teh. Masuklah!" Lily berteriak dari dalam dapur.
"Kau sendirian?" Bella bertolah toleh, siapa tahu Lily sudah berbaikan dengan Isaac, karena sudah dua hari ini Isaac tak terlihat mondar-mandir di sekitar toko bunga.
"Iya, memang dengan siapa lagi? Duduklah, apa kau mau teh camomile?" tanya Lily.
"Boleh," jawab Bella, Lily tersenyum menyeduh dua cangkir teh bunga.
"Sepi sekali hari ini." Bella duduk pada kursi kayu meja makan, menggosok kedua telapak tangan sambil meniupkan napas mencari sedikit kehangatan.
"Iya, sepi sekali. Apalagi saat hujan turun. Tak ada warga yang keluar membeli bunga." Lily menaruh secangkir teh di depan Bella.
"Minumlah, Bell."
"Hm ... aromanya enak. Pasti rasanya juga enak." Bella menghirup aroma teh bunga, tak sabar untuk menyicipi rasanya.
"Apa yang membuatmu datang kemari, Bel?"
"Aku hanya khawatir padamu."
"Aku baik-baik saja." Lily tersenyum, menyusul Bella duduk.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada kalian? Isaac juga hanya diam saja saat aku bertanya." Bella menghenyakkan punggung pada sandaran kursi.
"Kau bertemu Isaac?" Lily terperangah mengetahui Isaac masih berkeliran di dekatnya.
"Heh? Kau benar-benar tidak tahu?" tukas Bella.
"Memangnya ada apa?" Wajah Lily terlihat ingin tahu.
"Ya ampun, Lily. Isaac setiap hari datang ke toko bunga. Dia selalu membeli bungamu setiap hari. Mengambil dan membeli semua bunga yang layu." Bella mendengus kesal, ternyata Lily tak pernah tahu pengorbanan Isaac selama ini.
"Apa kau bilang, Bel?!" Lily terkejut saat mendengar penuturan Bella.
"Juga tiap kali hujan deras, Isaac akan kemari. Mengamatimu di tengah hujan. Dia takut kau akan kambuh Lily, kembali depresi seperti dulu. Menyakiti dirimu sendiri. Tak jarang dia basah kuyup hampir berjam-jam. Aku sendiri tak tahu, dia itu bodoh atau gila," tutur Bella.
Lily terbungkam, tak pernah menyangka bahwa Isaac akan berkorban sampai sejauh itu untuknya. Butiran air bening menetes dari sudut mata Lily, membasahi pipinya yang mulus.
"Aku tahu Isaac begitu mencintaimu, Ly. Dan kau, kau juga masih mencintainya bukan? Kenapa juga kalian harus sama-sama tersiksa kalau sama-sama saling mencintai?" Bella mencela Lily.
"Aku tidak lagi mencintainya, Bell," selak Lily, wajahnya berpaling.
"Ck, jangan selak batinmu, Lily. Buktinya depresimu tak lagi kumat saat hujan deras turun. Menurutmu karena apa? Sudah pastikan, karena hatimu menerima Isaac. Hatimu mencintai Isaac." Bella menepuk pipi Lily.
Lily menyentuh dadanya, benar juga apa yang diucapkan Bella. Hujan deras tak membuatnya kambuh belakangan ini? Kenapa? Apa karena Lily sudah tahu kalau Isaac-lah yang memperkosanya dulu? Benarkah Isaac yang kembali dan menawarkan kehangatan membuat jiwanya sembuh? Mungkin bisa saja, alam bawah sadar Lily merespon kehadiran Isaac sebagai orang yang ia kasihi, bukan sebagai seorang penjahat.
Bunyi lonceng membuat keduanya terkejut. Bella bangkit, menyembulkan sedikit kepala untuk mengetahui siapa yang datang.
"Permisi, apa Anda Nona Lily?" tanya seorang nenek tua, dia datang bersama dengan beberapa lansia dan juga anak kecil. Mereka semua datang membawa beberapa kantong makanan, ada juga yang membawa syal hangat rajutan tangan sendiri. Mereka membawa apa saja yang mereka punya.
"Bukan, bukan saya." Bella menggelengkan kepala juga telapak tangan.
"Bisa kami bertemu dengan Nona Lily?" Dengan sopan mereka menanyakan keberadaan Lily.
"Lily, ada yang mencarimu." Bella menggigit bibirnya.
"Siapa?" Lily meraba jalanan dengan tongkatnya, menyibakkan tirai kerang dan keluar ke arah toko.
"Warga disekitar peternakkan," bisik Bella.
"Eum ... a—ada apa? Kenapa mencari Lily, Nek?" Lily meraba meja, mencari pegangan.
"Ini hadiah dari kami, Nona."
"Apa ini? Kenapa tiba-tiba memberi Lily hadiah?" Mata Lily membulat.
Semua warga saling pandang, seakan berdiskusi siapa yang akan menjelaskan permohonan mereka kepada Lily. Seorang gadis kecil berusia 7 tahun maju, datang mendekat, mengambil bunga lili putih dari ember. Lalu memberikannya kepada Lily.
"Berapa harga bunganya, Bibi Lily?"
"5 sen. Kalau kau mau kau bisa mengambilnya gratis, Nak." Lily meraba-raba kepala gadis kecil itu, rambutnya lembut dan panjang. Sedikit lembab karena basah terkena hujan gerimis.
"Aku tak membawa hadiah apa pun seperti Nenek dan para tetangga, jadi aku ingin membeli bunga ini sebagai hadiah untukmu, Bibi," katanya sambil tersenyum, dua buah gigi susu yang baru saja tanggal membuat lubang pada sela-sela gigi.
"Kenapa kau memberiku bunga lili?" Lily berjongkok, mencoba mendengar pendapat anak itu. Ada banyak bunga di toko, banyak yang berwarna lebih indah dari pada setangkai lili putih.
"Bahasa bunga lili adalah keindahan, ketulusan, dan juga pengharapan. Ibu bilang kau adalah harapan kami, Bibi. Mau kah kau membantu kami?" tanya gadis kecil itu, lagi-lagi dia tersenyum.
Semua pasang mata terharu, mereka menitikan air mata. Ada pula yang menunduk lesu. Bella ikut terenyuh, mereka adalah para warga yang akan tergusur karena pembangunan pabrik pengolahan anggur. Kebanyakan dari mereka sudah berusia lebih dari 60 tahun. Tua renta dan juga cacat, hidup bergantung dengan uang pensiun almarhum suami mereka atau dari tunjangan lansia. Mereka menyempatkan diri mengunjungi Lily, padahal hujan gerimis masih turun mengguyur desa.
"Harapan kalian? Memang apa yang bisa Bibi lakukan?" Lily mengelus pipi gadis kecil itu, tersenyum tipis.
"Tolonglah bujuk Paman Isaac, Bi. Selamatkan desa kami. Kami tak ingin terusir dari rumah kami sendiri." Jelasnya.
Wajah Lily berubah, tertunduk lesu. Mendengar nama Isaac membuat hatinya berdenyut.
"Tolonglah kami, Lily." Nenek itu menggenggam tangan Lily, meminta bantuan.
"Tapi, Nek. Ak—"
"Terimalah ini, Nak. Tidak seberapa, aku membuatnya dengan tanganku sendiri." Yang lain menyela ucapan Lily.
"Ini terima juga pemberian kami."
"Iya, ini, Nak. Makanlah. Ubi dari ladang kami." Satu persatu menyerahkan buah tangan mereka.
Ya Tuhan, apa yang harus aku katakan pada mereka?? Lily menggigit bibir, lidahnya kelu. Lily tak bisa mengakui kalau saat ini sudah tak ada hubungan apapun di antara dirinya dan Isaac.
"Tolonglah kami. Kurir itu, ah ... tidak, maksud kami, Tuan Isaac. Dia adalah satu-satunya harapan kami, Nona."
"Benar, diusia kami yang sudah tidak lagi muda, tak ada lagi tempat yang bisa kami tuju." Semua warga menangis, tertunduk lesu. Beberapa anak kecil yang ikut memeluk kaki ibu atau nenek mereka.
"Tolonglah mereka, Lily." Bella menggenggam erat tangan Lily.
"Bell," lirih Lily.
"Isaac pasti mendengarkan permintaanmu. Aku tahu betapa besar rasa cintanya padamu, Ly." Bella mempererat genggamannya.
Lily tak bisa melihat wajah-wajah mereka yang sendu, tapi atmosfir yang menekan ini cukup untuk membuktikan betapa mereka membutuhkan pertolongan. Lily adalah harapan bagi mereka saat ini. Pengharapan di tengah jalan yang buntu.
Sama seperti namanya, Lily. Bunga cantik yang punya arti tentang keindahan, ketulusan, dan pengharapan.
"Baiklah, aku akan menemui Isaac besok. Tapi aku tidak bisa berjanji dia mau menerima permintaan kalian." Lily menghela napas, akhirnya ia menyanggupi permintaan warga untuk membujuk Isaac.
"I—itu sudah cukup, terima kasih." Nenek tadi langsung memeluk Lily, begitu pula gadis kecilnya.
"Terima kasih, Nona."
"Terima kasih!!" seru mereka semua, wajah-wajah yang tadinya sendu berubah ceria, seakan mendapatkan angin segar dan pengharapan baru. Lily tersenyum tipis, membalas pelukan warga. Bella menepuk lembut pundak Lily.
Hujan telah berlangsung cukup lama, tidak deras namun juga bukan gerimis. Matahari senja juga sudah tumbang, berganti bulan yang merajai langit malam. Berbentuk sabit, kadang menghilang ditelan awan gelap. Perapian menyala, lidah api melenggok anggun, mengusir hawa dingin. Bunyi gemeletuk sesekali terdengar saat kayu terbakar.
Sepeninggalan warga dan Bella, Lily terduduk seorang diri pada tepian ranjang. Melamunkan permintaan mereka. Memejamkan mata sambil memutar tangkai bunga lili putih. Ada denyutan nyeri pada ulu hatinya, entah apa itu. Sakit atau rindu? Atau bahkan keduanya.
Guruh terdengar bersahuatan, dan kilatan cahaya masuk melalui kisi-kisi jendela. Bunyi hujan yang semakin deras membuyarkan lamunan Lily. Lily mencoba memahami hatinya, merasakan juga tubuhnya, dan mengulik jiwanya. Ucapan Bella benar, Lily bahkan tidak takut lagi saat hujan turun dengan deras. Bunyi guruh yang menggetarkan dinding kaca tak membuatnya gentar seperti dulu lagi.
Lily merebahkan tubuh di atas kasur sambil memeluk bunga lili. Benar, bukan lagi bayangan kelam yang menyedihkan, bukan lagi luapan kekecewaan yang penuh dengan amarah, bukan lagi getaran ketakutan dan air mata. Semuanya telah hilang, tertimbun oleh kenangan manis yang penuh cinta, tertumpuk oleh indahnya perasaan dan luapan rasa bahagia. Ya, Isaac tidak berbohong, dia pernah berjanji membuat Lily sembuh. Isaac pernah berjanji menyusun serpihan jiwanya yang hancur. Isaac berhasil. Cinta dan kasih sayang Isaac menggantikan rasa takut dan kecewa di hati Lily.
"Isaac," lirih Lily.
— Bahasa Bunga —