Toko bunga terlihat tenang, tak ada kehidupan lain selain gadis cantik bernama Lily. Lonceng angin berdenting lembut, angin basah menggiring komponen lonceng agar saling beradu. Lily tengah memotong daun pada tangkai bunga mawar, tangannya terus bekerja namun pikirannya melayang jauh entah ke mana. Lily merasa hampa, merasa ada yang hilang. Lily merasa aneh, merasa ada yang kurang.
"Ach!!" Lily tertusuk duri mawar, spontan Lily mengulum jarinya.
Ada apa denganku?! Kenapa aku melamun?! pikir Lily sebal. Tak bisakah sedetik saja bayangan Isaac pergi dari dalam benaknya?
JRESSS!!
Tiba-tiba Lily tersentak. Mendengar suara hujan turun dengan deras membuat gadis itu takut. Keringat dingin mulai membanjiri wajahnya. Lily menggenggam erat jemari, mencoba menghilangkan ketakutan. Mencoba menahan diri. Lily menelan ludahnya berat, suara hujan semakin terdengar riuh saat menghujam atap.
"Tidak!! Tidak!!" Lily menangkup telinga agar suara hujan sedikit berkurang.
Jangan menangis saat hujan turun, Lily. Ingatlah saja aku! Sama seperti aku akan selalu mengingatmu saat hujan turun! ucapan Isaac terngiang dalam benak Lily, gadis itu perlahan-lahan melepaskan tangan dari telinganya.
Lily mulai meneteskan air mata, bermain dalam benaknya ingatan akan indahnya kebersamaan yang pernah mereka lalui bersama.
Lily mulai mengingat satu per satu kenangan manis itu. Mulai dari awal pertemuan mereka, roti begel dan teh mawar, dansa di tengah guyuran air, membonceng sepeda, membantu ia berias, piknik, juga saat Isaac memainkan harmonika. Semuanya terasa begitu manis, begitu indah, rasa cinta yang terkandung di dalamnya begitu besar.
Lily merasa sesak, bukan lagi karena memikirkan trauma dan depresinya. Lily merasa sesak, lantaran tak ada lagi Isaac di sampingnya.
"Isaac ...." Tanpa sadar Lily bergumam, memanggil lirih nama kekasihnya.
Dengan tertatih Lily masuk ke dalam kamar, meringkuk di dalam selimut. Mengharapkan dekapan hangat yang dulu pernah ia rasakan.
Janji??! Ingat saja aku!! Saat hujan turun, ingatlah kau tidak sendiri, kau punya aku, Lily! Lagi-lagi, ucapan Isaac terngiang dalam benaknya.
Apa kau tahu, Isaac. Saat hujan turun aku selalu mengingatmu? Apa kau tahu, saat butirannya mulai menyentuh permukaan pertiwi, saat itulah aku selalu mengingatmu?
Resah. Takut. Kebencian. Kekecewaan. Rasa bersalah. Hina. Kotor. Semuanya terangkum saat Lily mengingat kenangan kelam kala itu. Semuanya tercampur menjadi satu dalam bentuk depresi. Sama seperti keclapan kilat, bunyi guntur, dan hembusan angin saat hujan deras membuncah dari angkasa membuat teror bagi segelintir manusia.
Salahkah aku, Isaac, bila aku membencimu? Salahkah aku bila aku tak bisa menerimamu? Pikir Lily. Tangannya masih meremas erat selimut, menangis. Dada itu mulai berdenyut, sakit sekali.
Berjanjilah, Lily. Karena aku berjanji akan membuatmu sembuh. Aku berjanji akan merajut asa bersamamu, merajut mimpi yang baru. Ucapan manis Isaac kembali, memenuhi benak Lily.
"Isaac," lirih Lily mulai mengharapkan pertemuan sekejap lewat mimpi yang indah.
Di sudut jalanan lain, Isac berdiri.
"Lily," lirih Isaac, masih memandang keberadaan Lily dari seberang jalan. Mulai mengharapkan pertemuan sekejap mata yang indah.
— Bahasa Bunga —