Sisa air menetes dari pucuk dedaunan. Hujan mengguyur desa sehari penuh. Bahkan saat malam hari hujan masih turun walaupun hanya berupa gerimis kecil. Hujan baru perhenti pukul 4 dini hari. Desa terlihat sepi, mungkin dinginnya pagi membuat sebagian orang memilih untuk meringkuk di dalam selimut mereka masing-masing.
Aku lapar, Lily mengelus perut. Semalaman menangis membuat perutnya keroncongan. Tak ada lagi Isaac yang datang membawa roti atau susu panas. Tak ada lagi Isaac yang menemaninya sarapan. Menghabiskan pagi yang sunyi dan dingin.
Memikirkan Isaac tak akan membuat perutnya terisi, Lily harus kembali berjalan menuju ke toko roti atau bahan makanan. Mengisi perut.
Dengan bantuan tongkat Lily menyelusuri jalan, berjalan pelan, tak ingin genangan air membuat sepatu atau roknya kotor. Kebutaan membuat Lily tak bisa membersihkan noda dengan baik, dia hanya merendam cucian dan mencuci tanpa tahu ada noda atau tidak.
Cuitan riang anak-anak kecil membuat Lily tersenyum, pastilah banyak anak sedang bermain dengan genangan air sisa hujan semalam. Permainan sederhana itu sudah cukup membuat mereka riang gembira.
"Halo, Lily," sapa beberapa warga yang kebetulan berpapasan.
"Halo," sapa Lily balik, masih dengan senyum dan pandangan menerawang.
"LILY!!" panggil Noir yang sedang berjaga di depan toko keju dan susu milik keluarga Lincon.
"Halo, Noir. Bagaimana kabarmu? Bagaimana bulan madu kalian?" Lily berhenti, memutar tubuh agar bisa bercakap dengan sahabatnya.
"Yah, tak ada yang spesial Lily." Noir tersenyum sumbang. "Oh, apa kau mau membeli roti di tempat Bibi Joel?" Sambung Noir.
"Iya, perutku lapar." Lily mengangguk.
"Boleh aku ikut? Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Ly."
"Tentu saja." Lily mengangguk.
"Bagus, ayo kita jalan." Noir menggandeng sikut lengan Lily, mengajaknya berjalan dengan santai.
Mereka mengobrol ringan sepanjang jalan, mulai dari hujan sampai sapi yang baru saja melahirkan. Lily cukup sering tersenyum mendengar cerita Noir. Tak terasa, bau mentega dan vanila mulai tercium semerbak, menggelitik hidung dan mulai membuat perut keroncongan. Ya, sudah pastilah mereka sampai di depan toko roti milik bibi Joel.
"Pagi, Bibi Joel," sapa Noir.
"Pagi gadis-gadis cantik. Kalian mau sarapan apa pagi ini?" Wanita tua dengan kerudung biru bersiap untuk melayani.
"Kau mau apa, Ly? Aku yang traktir."
"Aku bayar sendiri saja." Lily menolak keramahan Noir.
"Ah ... sudahlah, kitakan sahabat." Noir tetap memaksa.
Noir beralih ke etalase kaca, ekor matanya menyisir jenis-jenis roti yang tersusun rapi pada keranjang rotan.
"Berikan kami ini dan ini, Bi. Juga susu coklat panas. Udaranya dingin sekali." Noir menggosok lengan mencari sedikit kehangatan.
"Baiklah, ini pesanan kalian." Dengan cekatan Bibi Joel menaruh nampan beserta dua piring roti dan dua cangkir susu panas.
Lily memesan roti ham dan keju, sementara Noir memilih croisant polos dengan taburan gula bubuk. Noir mengajak Lily duduk di dekat jendela, dari sini mereka bisa merasakan semilir desir angin pagi yang sejuk pada musim gugur.
"Bagaimana kehidupan setelah menikah, Noir?" tanya Lily memulai lagi percakapan.
"Yah, begitulah, tak ada yang berbeda selain makan dan tidur bersama. Yang paling istimewa tentu saja tidur bersama." Noir terkekeh masih dengan mulut penuh dengan roti.
"Ah, begitu." Wajah Lily bersemu kemerahan. Malah malu-malu dengan jawaban Noir.
"Maaf ya, suasana pernikahan menjadi tidak nyaman saat para preman itu datang. Mereka mengacaukan pestanya. Kata Bella kau ketakutan." Noir menggenggam tangan Lily.
Lily jadi teringat dengan pesta pernikahan Noir. Ia berdansa dengan bahagia bersama dengan Isaac, lalu sekejap kemudian kebahagiaan itu hancur berkeping-keping karena Lily mengetahui identitas Isaac yang sesungguhnya. Saat itu Lily benar-benar ketakutan, takut kepada Isaac.
"Tidak apa, Noir. Jangan pikirkan aku. Bagaimana denganmu?" Lily balik bertanya tentang perasaan Noir. Dia adalah Ratu sehari pada pesta pernikahan itu, dan pestanya rusak.
"Setelah mereka pergi, kami melanjutkan pesta dengan suasana yang suram. Yah, kau tahukan bagaimana dengan kondisi kami saat ini. Sengketa lahan itu membuat kepala pusing. Ayahku sampai jatuh sakit selama beberapa hari." Noir menaruh garpu, mengurungkan suapan.
"Bagaimana kondisi ayahmu sekarang, Noir? Apa beliau baik-baik saja? Lalu bagaimana dengan lahan pertanian kalian?" Lily terlihat cemas.
"Bohong kalau aku bilang baik, Ly." Noir menghela panjang, "Kakakku menyobek surat keputusan hakim. Butuh waktu dua minggu pihak pengadilan mengeluarkan surat salinannya. Lalu kami berusaha untuk naik banding, seluruh pekerja ladang, keluarga, dan para warga yang terlibat mendatangi kantor pengadilan desa. Melayangkan protes karena naik banding kami tidak dipenuhi. Kami yakin hakim telah menerima suap dari kelurga Gysor," tutur Noir.
"Lalu apa jawaban mereka?" Lily tampak ingin tahu.
"Mereka bilang tidak ada kecurangan. Cih, siapa pencuri yang mau mengakui kesalahannya? Sudah pasti mereka menerima uang suap. Saat itu kami bersepakat, kalau permintaan naik banding kami tidak dituruti maka kami akan membakar kantor pengadilan." Noir terpingkal pada kalimat terakhirnya. Ternyata kekacauan bisa mengendalikan situasi, yah, walaupun tidak bertahan lama. Tentu saja pengadilan dilindungi oleh pihak yang berwajib, mereka bubar begitu polisi datang.
"Apa mereka memberikan kembali hak naik banding?" tanya Lily.
"Tidak, Lily. Keputusan hakim sudah keluar, tapi kami bisa menuntut Frank lagi. Mereka memberikan tenggat waktu satu bulan untuk mencari bukti yang bisa melawan keluarga Gysor. Tanpa bukti yang otentik, kami tidak bisa mengajukan tuntutan dan terpaksa pindah satu bulan kemudian." Noir menjelaskan situasinya pada Lily.
"Kini sudah hampir satu minggu, tinggal sisa tiga minggu lagi, Ly. Warga yang sudah lanjut usia, veteran perang yang hidup sebatang kara, janda, dan beberapa buruh pertanian akan tergusur. Kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal. Entah bagaimana dan di mana akan menghabiskan sisa hidup mereka." Noir menatap lamat Lily.
"Aku ikut sedih mendengarnya. Ah, andai saja ada yang bisa aku lakukan untuk membantumu, Noir." Lily menunduk, sedih mendengar nasib sahabat dan beberapa warga desa lain yang tak beruntung.
"Ada, Ly. Ada yang bisa kau lakukan untuk membantu kami." Noir berucap, Lily langsung mengangkat wajah bingung. Memang apa yang bisa gadis buta seperti dirinya lakukan untuk menyelesaikan sengketa ini?
"A—apa, Noir? Aku tak mengerti maksudmu, apa yang bisa aku lakukan untuk membantu kalian?" Lily tergagap.
"Isaac adalah seorang pengacara, Lily. Bahkan kasus pertama yang dimenangkannya adalah tentang sengketa lahan. Isaac juga terdaftar sebagai calon jaksa aktif di kota." Noir menggenggam tangan Lily. "Isaac menolak menolong kami, Ly. Isaac menolaknya karena tujuannya datang ke desa ini adalah dirimu."
Lily terdiam, menelan ludah dengan berat. Ternyata itu tujuan Noir mengajak Lily berbincang. Isaac. Ya, pria yang merenggut segalanya dari hidup Lily benar adalah seorang pengacara, tentu saja ia bisa membantu Noir dan warga desa.
"Tidak, Noir. Kami sudah tidak ada hubungan apapun. Dan aku tak ingin menemuinya lagi." Lily menarik tangannya.
"Lily, aku mohon. Kalau saja Isaac mau membantu kami. Para lansia itu, janda-janda itu, anak kecil, dan para pekerja lahan tidak perlu tergusur. Mereka tidak perlu bingung mencari tempat tinggal baru." Noir mengusap sudut matanya yang berair, mencoba juga menarik napas sepanjang mungkin agar air mata tidak meleleh.
"Isaac tidak akan mendengar permohonanku, Noir. Dia tidak mencintaiku, dia hanya merasa bersalah padaku." Lily mencengkram dadanya yang berdenyut hebat.
"Apa maksudmu, Ly? Isaac begitu mencintaimu. Kau ingat ayam panggang? Bella bilang, Isaac yang meminta kami memasak dan menemanimu makan. Isaac selalu mengikutimu ke mana pun kau pergi. Aku bahkan pernah melihatnya menunggumu di depan toko sampai kau tidur, Ly. Dia selalu ada di sisimu, selalu menjagamu."
Mata Lily membulat saat mendengar ucapan Noir. Jadi selama ini Isaac masih terus bersamanya? Masih menjaganya? Walau Lily telah mengancam dan mengusirnya dengan kasar.
"Ku mohon, Ly. Bantu kami. Tolong bujuklah, Isaac."
"Tidak bisa, Noir. Aku tidak bisa." Lily meneteskan air mata.
"Kenapa? Apa alasanmu?"
"Aku tak bisa menemuinya lagi, Noir. Kami sudah berpisah." Lily terisak pelan.
"Hanya karena hal itu?" Bella mencelos.
"Maafkan aku, Noir." Lily menunduk.
"Aku kira kau gadis yang baik, Ly. Aku kira kau akan berbaik hati membantu kami. Ternyata pikiranku salah, kau egois, kau hanya mementingkan perasaanmu sendiri." Noir bangkit, membanting serbet makannya hendak meninggalkan Lily.
"Noir!!!" Lily meraba udara mencoba meraih tangan Noir dan menghentikan langkah sahabatnya itu.
"Isaac adalah pria yang memperkosaku, Noir. Isaac adalah pria yang telah menghancurkan hidup dan juga masa depanku. Isaac yang telah membuatku buta. Kalau kau berada di posisiku, apakah kau bisa menerimanya?" Lily menangis terisak-isak, menjelaskan alasannya putus dari Isaac.
"Apa kau bilang??" Wajah Noir memucat tak percaya. Baginya Isaac tak tampak seperti pria jahat. Isaac terlihat sopan dan selalu menyapa semua warga dengan senyuman yang hangat.
"Benar, Noir. Tolong jangan katakan kalau aku egois. Aku juga tak ingin mempercayai hal itu kalau bisa." Lily menggenggam erat tangan Noir. Menangis terisak.
Bahu Noir merosot, ia langsung memeluk Lily erat. "Maafkan aku, Ly. Aku tak menyangka, maaf."
"Isaac tak mungkin mencintaiku, dia hanya kasihan padaku. Mungkin juga hanya merasa bersalah." Lily menangis dalam dekapan Noir, hatinya terasa semakin sesak, sungguh, hal ini sangat menyakitkan.
"Maafkan aku, Noir. Sungguh maafkan aku yang tak bisa membantu kalian semua," lirih Lily.
— Bahasa Bunga —