Chereads / BAHASA BUNGA / Chapter 42 - LILY

Chapter 42 - LILY

LILY

Lambang keindahan, ketulusan, keagungan, dan pengharapan.

***

Musim gugur tiba, curah hujan meningkat drastis. Hujan turun mengguyur desa sejak pagi. Tak ada aktivitas yang bisa mereka lakukan di tengah hujan deras. Toko-toko sepi pembeli, warga desa memilih untuk mendekam di dalam rumah. Menikmati secangkir coklat panas sambil mendekam dalam selimut mereka. Pagi ini suhu menyentuh 15 derajat celcius.

Toko bunga beranjak sepi. Tanpa Isaac, Lily tak bisa membuat buket bunga yang cantik, tak bisa memilah mana bunga yang segar dan mana yang layu. Bella juga tak bisa setiap hari membantu Lily karena dia juga punya pekerjaan sendiri. Kini Lily hanya mengandalkan pemasukan dari pembelian bunga eceran. 

Isaac menatap ke arah toko bunga dengan netra hazelnya yang mempesona. Hujan tak menyurutkan keinginan Isaac untuk memandang Lily dari kejauhan. Sudah hampir dua minggu Isaac melakukan hal ini. Mengikuti Lily diam-diam, menjaganya dari kejauhan.

Lily mengancam akan bunuh diri bila Isaac masih datang menemuinya lagi. Jadi Isaac mengalah, kembali ke titik awal, mengamati dan mengukuti Lily dalam diam.

"Lily," gumam Isaac lirih. 

Saat angin basah berhembus, saat hujan turun menyentuh permukaan pertiwi, saat bau tanah basah tercium pekat, saat buncahan air mulai menyelimut desa, saat itu pula Isaac akan berada di dekat Lily. Isaac merasa kawatir kalau Lily akan kembali depresi setiap kali hujan turun.

Tubuh Isaac menggigil kedinginan, mantel fanel abu-abu tak lagi bisa melindunginya karena terlanjur basah kuyup. Isaac lupa membawa payung hari ini. Dan lagi hujan pada musim gugur terasa lebih dingin dibanding hujan pada musim semi. 

"Isaac." Bella yang melihat kondisi Isaac dari toko buah datang, memayungi Isaac. Isaac menoleh, menatap Bella.

"Hai, Bell," sapa Isaac, ada getaran pada nada suaranya. Kedinginan.

"Kau tak harus melakukan ini, Isaac." Bella menatap iba.

"Harus, Bell. Bagaimana kalau Lily kambuh? Dia akan menyakiti dirinya sendiri." Isaac memeluk lengan, mencari kehangatan. Napas keduanya mengembun karena dingin. Suhu udara saat ini turun mencapai 13 derajad.

"Setidaknya bawalah payung. Tak ada hujan dimusim panas, jadi langit seakan membalasnya dimusim gugur. Hujan selalu deras, Isaac." Bella memberikan nasehat.

"Hari ini aku lupa, biasanya aku selalu membawa payung," kata Isaac.

"Mampirlah ke tokoku, Isaac. Keringkan bajumu. Kau bisa sakit. Lagi pula Lily tidak selemah yang kau kira," ajak Bella, Isaac mengangguk lantas mengekor.

Bella yang tidak tega mempersilahkan Isaac masuk ke dalam toko buah. Lalu memberikan handuk kering dan menyuruh Isaac berganti pakaian di lantai dua. 

"Hanya ada baju ayahku, Isaac. Walau tidak semahal bajumu, tapi kurasa ini lebih nyaman dibanding baju basah yang kau kenakan itu." Bella meletakkan satu set pakaian kering di atas tangan Isaac.

"Terimakasih, Bell."

"Aku tunggu di bawah." Bella tersenyum simpul. Rambut keriting pirangnya terkuncir ke belakang.

Isaac menuruni anak tangga kayu. Melihat ke sekeliling toko buah milik Bella. Luasnya hampir sama dengan toko bunga Lily. Tegel abu-abu, dinding rata dengan cat yang sedikit usang termakan usia. Ada juga kipas angin coklat besar yang menggantung pada langit-langit ruangan.

"Ini." 

Bella membuat dua cangkir coklat panas, menyerahkan salah satunya kepada Isaac. Isaac telah berganti pakaian kering, sedikit kebesaran saat melekat di tubuhnya. Yah, seperti ucapan Bella, setidaknya baju ini lebih nyaman dibandingkan baju basah yang ia kenakan tadi. 

Isaac menikmati kehangatan coklat. Menggenggam erat cangkir panas, mengusir rasa dingin yang bersarang pada kedua telapak tangan. Duduk bersebelahan dengan Bella pada bangku kayu panjang.

"Kau bilang tinggal di desa seberang, apa kau juga berbohong?" tanya Bella.

"Iya, aku berbohong. Sebenarnya aku tinggal di villa pinggir desa." Isaac menenggak coklatnya.

"Vila besar itu? Wah, kau pasti berasal dari keluarga kaya raya." Bella tahu kalau ada sebuah vila itu besar dan megah tak jauh dari desa. Tiga puluh menit berjalan kaki dari pemungkiman.

"Tidak juga," jawab Isaac, semua memang milik ayahnya, milik keluarga Ronan.

"Oh, ya, apa yang dikatakan Bobby dan Noir benar? Bahwa kau seorang pengacara?" Mata Bella membulat, begitu ingin tahu.

"Benar, aku seorang pengacara." Isaac menghindari kontak mata Bella, gadis itu terlihat penasaran dengan kehidupan Isaac.

"Wah, luar biasa." Bella mengangguk, "Hei! Aku dengar kau menolak membantu keluarga Lincon tentang sengketa lahan mereka?" timpal Bella. 

"Iya." Angguk Isaac membenarkan.

"Kenapa?" Bella terperangah.

"Surat putusan hakim sudah keluar, tak ada yang bisa kita lakukan." Isaac mengangkat bahu.

"Bukankah mereka telah menghancurkannya? Pihak keluarga Lincon harusnya masih punya kesempatan naik banding bukan?!" cerca Bella. Lagi-lagi gadis itu terperangah.

"Pengadilan pasti punya salinannya." Isaac menunduk, memilih untuk menikmati coklat panas. 

"Tapi bagaimana mungkin dia mendapatkan surat itu? Pasti pria itu menyogok hakim!! Dasar pria jahat!! Berengsek!!" Emosi Bella mendadak ikut meledak-ledak.

Isaac menelan coklat, memilih diam. Mengingat surat dari James menghimbaunya untuk memenangkan kasus Franks Gysor sebagi batu tanjakan karir. Isaac belum memberikan keputusan, apakah dia akan menolong warga, atau mengikuti kehendak ayahnya. 

Setelah mendengus kesal Bella kembali pada Isaac. "Sebenarnya apa yang terjadi antara kau dan Lily, Isaac? Kenapa hubungan kalian tiba-tiba berakhir? Apa alasannya?!"

.... Isaac terdiam, menunduk, pertanyaan Bella membuat dadanya kembali berdenyut sakit. Isaac memilih untuk menatap permukaan coklat panas yang berputar perlahan. Uap air masih mengepul, ada aroma yang harum di sana.

"Kenapa? Jujurlah, Isaac. Siapa tahu aku bisa membantumu. Kalau kau tidak cerita bagaimana bisa aku membujuk Lily?" Bella ikut menenggak coklatnya. Sesekali ia melirik ke arah Isaac. Mengamati ditail wajah Isaac yang tampan, Bella tak habis pikir, kenapa juga Lily tiba-tiba menolak Isaac? Masalah apa yang membuat hubungan mereka sampai benar-benar hancur?

"Terima kasih coklatnya." Isaac tetap bungkam, memilik untuk tidak menjawab pertanyaan Bella. Pria itu memilih untuk pergi meninggalkan toko, kembali mengamati Lily.

"Kau bisa bawa payungku, Isaac." Dengus Bella.

"Terimakasih."

"Sama-sama."

Bella bersedekap tangan, mengamati punggung Isaac menjauh pergi. Hujan belum mereda, Isaac masih menunggu Lily dengan tenang di depan toko bunga.

"Ck, kira-kira apa yang telah terjadi?" Bella menggigit kuku ibu jarinya penasaran.

— Bahasa Bunga —