Chereads / BAHASA BUNGA / Chapter 38 - ORCHID IX

Chapter 38 - ORCHID IX

Isaac mengkayuh cepat sepeda birunya, melesat turun dan membiarkan sepeda itu tergeletak begitu saja saat tiba di depan toko bunga. Kaki jenjangnya berderap cepat menaiki anak tangga, ingin segera mungkin menemui Lily.

"Lily!" Panggil Isaac. Isaac terus mengetuk pintu, senyap. Tak ada siapa pun di toko bunga. Pintu depan terkunci, lampu padam, tak ada tanda-tanda keberadaan Lily di dalam rumah.

"Apa dia ke rumah Bella?" Isaac menyeka dahi, mengelap peluh yang menetes sebelum bergegas menaikki sepedanya kembali. Tanpa mempedulikan rasa lelah, Isaac menyelusuri jalanan berpaving menuju ke rumah Bella.

Cahaya remang menyambut kedatangan Isaac. Rumah sederhana dengan dinding bata bercat biru langit itu terlihat asri dengan berbagai macam tanaman hias pada bagian depan. Pohon maple besar berdiri tegak di ujung pekarangan, dedaunannya mulai menguning karena musim gugur akan segera tiba. Ada satu set kursi rotan beserta mejanya di teras depan. 

Isaac memberanikan diri mengetuk pintu. Benar saja, Bella muncul membuka pintu kayu. Isaac bisa melirik Lily yang terduduk di sofa, menggenggam erat jemarinya. Mata Lily terlihat sembab, merah, dan berair. Pastilah gadis itu menangis sepanjang sore. Bahu Isaac melemas, kenapa? Apa yang terjadi pada Lilynya saat ini? Apa Lily membencinya karena berbuat kasar pada Frank?

"Lily tidak ingin bertemu denganmu saat ini, Isaac." Bella melipat tangannya di depan dada.

"Kenapa?"

"Aku tidak tahu, dia tak mau mengatakannya. Dari tadi dia hanya menangis dan mengeluh takut." Bella menghela napas panjang.

"Aku akan bicara padanya." Isaac hendak melangkah, namun Bella menghalangi jalan.

"Jangan!!" sergah Bella.

"Bella, izinkan aku menemuinya. Aku akan bicara pada Lily." Isaac menatap iba pada Bella.

"Aku tak tahu apa yang terjadi dengan kalian. Tapi penyebab ketakutannya adalah dirimu, Isaac. Lily takut padamu." Bella menatap lamat Isaac, seakan meminta jawaban sebenarnya apa yang telah Isaac lakukan pada Lily.

"Takut padaku?" Isaac terhuyung, mundur dua langkah ke belakang.

"Apa karena aku memukul Frank dan berkata-kata kasar?" Isaac mencoba mencari penyebab ketakutan Lily.

"Aku rasa bukan itu, Isaac. Lily sudah ketakutan sebelum mereka datang. Dan pemicunya adalah ...." Bella tercekat.

"Apa pemicunya?"

"Karena aku menceritakan paras wajahmu, Isaac. Aku bilang kau punya tahi lalat di dekat telingamu." Bella menunjuk tanda lahir milik Isaac, Isaac spontan langsung menutupnya dengan tangan.

"Setelah mengetahui itu tubuh Lily membeku, seakan dia sedang melihat monster menyeramkan." Lanjut Bella.

Wajah Isaac memucat, matanya membulat, berkaca-kaca. Isaac tahu, suatu saat Lily pasti akan mengenalinya sebagai pria brengsek yang telah merusak hidup lagi masa depannya. Tapi tidak begini caranya. Isaac berharap dia akan mengatakannya sendiri setelah Lily benar-benar pulih dan mencintainya sepenuh hati.

"Lily, apa kau bisa mendengarku!! Lily!!" Isaac memanggi nama Lily dari luar pintu.

Lily memutar lehernya perlahan, menerawang kosong dengan mata sembab. Air mulai menggenang, jatuh perlahan. Tubuh Lily mulai bergetar dengan hebat, kegelisahan dan ketakutan kembali merayap masuk. Membuat hatinya sesak.

"Ayo kita bicara, Lily! Kumohon." Isaac mengiba, berusaha masuk ke dalam.

"Isaac, tolong jangan begini! Beri Lily waktu." Bella mendorong tubuh pria itu, tubuh kokoh Isaac terlalu kuat untuk Bella lawan. Gadis berrambut keriting ini harus menggunakan seluruh tenaganya agar Isaac tidak menerobos masuk.

"Tidak!! Pergi dariku!!! TIDAK!!!!" jerit Lily, jeritannya terdengar sangat keras, orang tua Bella keluar dari kamar mereka, begitu pula beberapa tetangga yang lain.

"Isaac, aku mohon. Mengertilah." Bella mendorong Isaac, seluruh mata menatap lamat ke arah Isaac, mencoba ingin tahu duduk perkaranya.

Isaac marah, matanya memerah nanar. Bukan marah dengan Bella yang melarangnya masuk atupun Lily yang mengacuhkannya, tapi marah pada dirinya sendiri. Isaac tak bisa memungkiri perasaannya yang teraduk-aduk, berbagai macam rasa muncul mengisi hatinya. Tak hanya rasa marah dan benci terhadap dirinya sendiri, Isaac juga ketakutan, takut kalau Lily akan membencinya. Isaac takut, Lily akan megusirnya pergi, menuntutnya, atau bahkan memenjarakannya. Tapi satu hal yang paling Isaac takutkan, Isaac benar-benar takut akan kehilangan Lily dari hidupnya.

"Jangan menghindar, Lily. Aku jelaskan semuanya, jangan menghindar! Aku jelaskan semuanya. Kumohon!!" Isaac mencengkram baju di depan dadanya, semua rasa mulai berubah menjadi kesesakkan yang menghimpit hati.

"Isaac!!!" Bentak Bella.

"Aku mencintaimu, Lily!! Sungguh!! Kumohon jangan menghindari takdir kita. Semakin kau menghindar hanya akan membuat hatimu terasa semakin sakit. Aku tahu Lily, karena aku pun merasakannya." Isaac menatap lamat gadis buta itu, Lily menelan ludahnya berat. Separuh hatinya menderita karena rasa cintanya yang besar. Separuh lagi ketakutan.

"Bukankah aku telah berjanji padamu akan membuatmu sembuh, aku pasti menepatinya, Lily. Jadi aku mohon jangan tolak aku." Isaac memohon. Lily tetap tidak bergeming, masih mencoba menata hati yang sama gundahnya dengan hati Isaac.

Lily masih belum bisa percaya kalau Isaaclah pria brengsek itu. Bagaimana pun Isaac telah memberi warna pada hidupnya selama setengah tahun perkenalan mereka. Setengah tahun yang manis, setengah tahun yang hangat, setengah tahun yang mendebarkan, setengah tahun yang penuh dengan gejolak asmara. 

"Lily," lirih Isaac.

"Isaac, kembalilah besok. Aku akan membujuk Lily." Bella mendorong lagi tubuh Isaac. "Para warga sudah mulai berkumpul, Isaac. Ini tidak baik!" Bella berusaha mencegah warga ikut campur.

"Baiklah." Tak ada yang bisa Isaac lakukan lagi. Sejauh matanya bergerak, banyak warga yang menatap mereka dengan heran. Isaac tak ingin membuat kegaduhan lagi, cukup sudah masalah yang dibuatnya dengan Frank. Jangan sampai warga juga mengusirnya dari desa.

"Aku akan ke toko bunga besok." Pamit Isaac.

"Berhati-hatilah, Isaac." Bella tersenyum sumbang lantas menutup pintu.

Isaac memutar badan, kembali menaiki sepeda birunya. Satu per satu warga mulai meninggalkan rumah Bella, namun sambil berkasak kusuk. Isaac menganggukkan sedikit kepala, memberi salam santun pada para warga sebagai ganti topi yang terangkat.

— Bahasa Bunga —