Beberapa orang pria dengan badan kekar keluar, mendampingi pemimpin mereka. Mata seluruh keluarga besar Lincon terperana. Begitu pula Isaac. Pria jangkung, dengan pandangan dingin dan kaku keluar. Sebuah cerutu kelas tinggi bersarang di antara bibir. Mengepulkan asap hasil pembakaran tembakau.
Pria itu adalah Frank Gysor. Pria yang beberapa bulan belakangan ini terlibat kasus sengeketa lahan dengan pihak keluarga Lincon. Frank seorang pengusaha wine yang terkenal, ia ingin membangun pabrik pengolahan anggur dan memperluas kebun anggur miliknya. Frank mengklaim lahan pertanian gandum milik Lincon dan beberapa warga adalah miliknya.
"Kita bertemu lagi, Tuan." Frank berjalan perlahan sampai tepat di depan Tuan Lincon. Membuang sisa cerutu dan menginjak agar apinya mati.
"Mau apa kemari?!" bentak pria tua itu dengan keras.
"Aku hanya ingin menyelesaikan permasalahan di antara kita. Segeralah pindah, aku akan membayar kompensasi lahanmu." Dengan sombong Frank menawarkan uang kepada Harry —ayah Noir, kepala keluarga Lincon. Wajah pria tua itu menegang, bukan masalah uang, tapi tanah itu diwariskan turun temurun. Tak ada yang pernah menjualnya ke pihak lain. Pastilah surat tanah milik Frank yang palsu, dia pasti curang.
"KAMI TIDAK AKAN PINDAH!! SIMPAN SAJA UANGMU!" hardiknya keras. Beberapa lelaki bertubuh kekar maju, tak terima dengan hardikkan pak tua Lincon terhadap boss mereka. Dengan memasang wajah garang mereka menghardik Harry balik.
"AYAH!!" Kakak-kakak lelaki Noir terkejut. Mereka bertujuh datang, berdiri di samping ayahnya.
"Apa mau kalian?!" Salah satunya mencoba menghalau para tukang pukul Frank –yang menteror pesta pernikahan adik mereka.
"Kami datang menawarkan kesepakatan baik-baik." Senyum Frank licik.
"PUIH!! Kami tidak akan pergi dari sini!" Harry meludahi sepatu Frank, kelakuannya membuat pria itu mendelik marah. Frank menyentikkan jari, memberi kode agar anak buahnya memberikan balasan. Yang terdepan mengangguk paham, pria berbadan tinggi besar itu bergerak maju, mencengkram lengan kemeja Harry.
"Hah!!" Semua mata tamu undangan membulat, mereka menahan napas karena tegang.
"Lepaskan!! Brengsek!!" Harry mencoba memberikan perlawannan.
"Hei pria tua, sepertinya kau tak tahu siapa yang lebih berkuasa saat ini!" Frank mendekati tubuh renta yang meronta dalam dekapan anak buahnya.
"Lepaskan ayah kami!" teriak anak-anak Harry.
Adu mulut dan pukulan tidak terelakkan. Baik anak-anak Harry maupun anak buah Frank tak ada yang mau mengalah. Semua mata memandang dengan nanar dan ketakutan peristiwa mencengangkan itu. Isaac bergegas mendatangi Frank, mencoba menengahi.
"Tuan, Tolong jangan buat keributan ditempat ini. Hargailah tuan rumah." Isaac berdiri di antara Frank dan Harry.
"Enak saja!! Aku adalah pemilik tanah yang sah! Mereka menumpang di tanahku selama bertahun-tahun." Frank menghalau ucapan Isaac.
"Pengadilan belum memutuskannya. Tanah ini masih sah dihuni oleh keluaraga Lincon." Isaac menatap anak tertua Harry yang menuturkan kebenaran dengan sangat penuh penekanan.
"Siapa bilang?! Pengadilan sudah memutuskan bahwa tanah ini adalah milikku." Frank menyerahkan surat pengadilan kepada Isaac. Isaac tahu betul, bahwa surat milik Frank benar sah adanya.
"Tidak mungkin!!" Pak tua Lincon mencelos tak percaya. Padahal keluarga mereka baru saja mengajukan naik banding beberapa hari yang lalu.
"Tidak mungkin!!" Begitu pula anak-anaknya, berseru tak percaya.
Semua mata keluarga membulat, para tamu menutup mulut mereka. Tak percaya. Para lansia yang hadir juga tertegun, hampir setengah dari mereka juga mengalami sengketa lahan itu. Kalau si tua Lincon tergusur, maka mereka juga akan tergusur.
"Tadinya aku mau mengusir mereka baik-baik, menawarkan imbalan dan kompensasi. Tapi pria tua itu malah merusak suasana hatiku." Frank menyeringai kejam.
"Apa maksud perkataan Anda, Tuan?" Isaac menyela.
"Aku akan mengusir seluruh warga! Besok pagi mereka harus meninggalkan lahan ini tanpa terkecuali!! Atau anak buahku akan membongkar paksa semuanya. Mengusir secara kasar." Frank menatap tajam ke arah kelurga Lincon. Suasana kembali legang, bahkan tak ada yang berani berkasak kusuk, ketegangan terlihat pada tiap-tiap raut wajah mereka.
"Tolong jangan begini, Tuan Frank. Mohon maafkan kesalahan Tuan Lincon. Kita bicara baik-baik." Isaac merendahkan diri, mencoba mendinginkan suasana.
"Kau siapa? Kenapa kau tahu namaku?" tanya Frank.
"Aku Isaac, kita pernah berjumpa sebelumnya, Tuan." Isaac mengharapkan kebaikan hati Frank Gysor.
"Ah, aku ingat. Toko bunga, wanita buta dan gila. Di mana dia? Apa dia ikut bersamamu?" Frank bertolah-toleh, mencari keberadaan Lily. Mata Frank memincing saat menemukan keberadaan Lily, gadis itu terlihat cantik dan manis dalam balutan gaun salem sederhana. Lily sedang memeluk lengannya sendiri. Frank mengelus dagunya pelan, lalu kembali kepada Isaac.
"Berikan dia padaku malam ini, aku akan memberikan tenggat waktu satu bulan pada keluarga Lincon," bisik Frank di telinga Isaac.
"Apa kau bilang?" Isaac menggeram, tangannya mengepal menahan amarah.
"Ayolah. Berikan gadis buta itu padaku. Wajahnya sangat cantik, terlepas dari kondisinya yang cacat dan gila. Kau pria yang tampan, pasti banyak gadis lain yang mau menjadi kekasihmu. Apalah artinya seorang gadis buta dan gila. Hahaha ...!" tawa lantang Frank disambut gelak tawa seluruh anak buahnya.
"Sial!!" Isaac mengangkat tinjunya, sudah tak bisa lagi menahan emosi yang membuncah. Hanya sepersekian detik, hook keras Isaac telah berhasil menghantam wajah Frank sampai pria itu terjungkal ke belakang.
Lily mendengar umpatan Isaac. Lily mengenali suara itu. Walau sekecap saja, Lily mengenali suara Isaac sama dengan milik pria yang merenggut kehidupannya, merenggut masa depannya.
"Brengsek!!" Isaac dengan mata merah dan pandangan nanar menghampiri Frank. Dengan cepat menyahut kerah pada kemeja Frank dan mengangkatnya. Pria itu tercekik, kakinya bahkan terangkat sedikit dari tanah. Seluruh anak buah Frank terpaku, tak berani maju menolong Frank karena warga desa berdiri di belakang Isaac. Membawa apapun sebagai senjata. Berkat keberanian Isaac memukul Frank, semangat seluruh warga bangkit. Garuk, sekop, sabit, dan garpu jerami, mereka membawa senjata apapun yang mereka temui di peternakan.
"Cabut kata-katamu, Tuan!" Isaac mengangkat lagi tinjunya, mengancam Frank.
"A –ku akan me ... nuntutmu!!" ancam Frank dengan nada terbata, darah segar keluar dari hidung. Setelan jas mahalnya kusut, dan juga ternoda oleh darah miliknya sendiri.
"Silahkan saja! Anda melecehkan wanita secara verbal, ini hanya bentuk pembelaan diri. Banyak warga menonton, mereka akan bersaksi bagiku." Isaac kembali menghujani Frank dengan pukulan demi pukulan. Menghajar Frank dengan brutal. Darah mengucur dari hidung pria itu, menodai juga kepalan tangan Isaac dengan merahnya darah.
"Isaac, hentikan!!" Beberapa warga memberi peringatan pada Isaac. Tapi emosi Isaac terlanjur menyala, Tak ada yang boleh merendahkan Lily, tak ada yang boleh melecehkan kekasihnya. Isaac sudah tak peduli lagi dengan hukum, tak peduli lagi dengan status dan martabatnya sebagai seorang pengacara.
"Ah, aku ingat. Pantas saja wajahnya tidak asing." Bobby, suami Noir yang berdiri tak jauh dari Bella dan Lily berseru.
"Apa maksudmu?" tanya Noir bingung.
"Pria itu, yang mendampingi Lily. Kurir pengantar barang. Apakah kau tak merasa wajahnya sangat familiar?" Bobby menyuruh Noir menatap Isaac.
"Ya Tuhan, kau benar, Bobby!! Bukankah dia Isaac Ronan?? Pengacara handal itu." Noir mengatupkan bibir, sungguh tak percaya kalau pria yang berdiri marah di depan mereka saat ini adalah Isaac, pengacara yang memenangkan banyak kasus satu tahun belakangan.
"Pengacara?" Bella ikut menelan ludah, bingung.
— BAHASA BUNGA—