Lidah api tak lagi menyala, padam sempurna karena kayu bakar telah habis dilahap si jago merah. Lily kembali tertidur setelah bercerita panjang lebar tentang masa lalunya, menangis sepanjang kisah menyesakkan itu membuatnya lelah. Lily tertidur dalam dekapan Isaac.
Isaac mengecup dahi Lily dengan lembut. Menyisir anak rambut ke belakang telinga. Sesekali Lily terusik, menggeliat pelan lalu kembali tertidur. Isaac tertawa kecil, kebahagian kecil menyelimuti hatinya.
"Maafkan aku Lily, kau pasti sangat menderita." Isaac mengecup bibir ranum Lily, "aku akan membantumu bangkit, menebus semua kesalahan itu. Aku akan membuatmu sembuh."
Isaac terdiam, bayangan masa lalu kembali hadir.
Plak!!
Bunyi tamparan keras menggema sampai ke langit-langit ruangan. Pria paruh baya dengan wajah garang menampar wajah anak semata wayangnya. Hatinya geram, gusar, dan kecewa.
Rumah dengan nuansa klasik berprabotan mewah itu mendadak legang. Bunyi tamparan tadi membuat semuanya terdiam membeku. Kemarahan sang kepala keluarga nampaknya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun, tak ada yang berani menyela.
Pria tua itu tak lain adalah James Ronan, kepala jaksa wilayah dan tak lain juga adalah ayah dari Isaac Ronan —pria yang menghabiskan malam dalam buaian alkohol dan menghancurkan hidup seorang gadis berusia 18 tahun.
"KELUAR KALIAN SEMUA!!" teriaknya tegas, tak ada yang membantah, semua pelayan keluar dari ruang keluarga.
"Maafkan aku, Ayah!" Isaac menunduk, tak berani mengangkat seinci pun dagu.
Pandangannya terus tertuju pada lantai pualam putih. Pipinya tampak memerah, perih dan panas akibat tamparan keras ayahnya. Isaac tak melawan, jangankan tamparan. Isaac bahkan layak menerima hukuman yang jauh lebih berat lagi.
Sebagai orang yang bekerja di bidang hokum, Isaac tahu betul konsekuensi dari kejahatannya. Hakim pasti akan menjatuhkan vonis 15 tahun, atau bahkan mungkin penjara seumur hidup karena Lily mengalami kecacatan permanen. Belum lagi saat di dalam penjara, semua terpidana lainnya mungkin akan menjadikan Isaac bulan-bulanan mereka. Pelaku pelecehan seksual selalu menyulut kebencian dan nurani semua orang, bahkan bagi para pesakitan di dalam penjara sekali pun.
James membanting berkas yang masuk pada kejaksaan siang tadi. Pihak pelapor menginginkan adanya penyelidikan kasus itu sampai tuntas. Anak mereka tak hanya buta dan terluka. Gadis itu mengalami depresi akut bahkan menunjukan kondisi jiwa yang rusak alias hampir gila.
"Biarkan aku menebusnya di dalam penjara, Ayah!" Isaac kini mengangkat wajahnya, kesalahannya fatal. Sebagai pria dan seorang pencari keadilan, hal ini benar-benar memalukan.
"Kau bilang apa??" James mendelik marah, putra semata wayang yang dibesarkan dengan penuh dedikasi. Yang cita-cita dan angannya selalu ia gantungkan sebagai yang utama itu ingin menyerahkan diri?! Mendekam dalam penjara kelam seumur hidupnya? Meratapi kertakan dan dinginnya malam di balik jeruji penjara? Membuang semua yang ia raih? Membuang semua yang ia bangun?!
"Anak bodoh!! Kau kira aku akan mengizinkanmu??!" James hendak memukul lagi wajah Isaac, namun tidak sampai hati. Bagaimana pun Isaac adalah anaknya, darah dagingnya, James paham betul dengan sikap Isaac. Isaac anak yang baik, terlepas dari kesalahannya kali ini, Isaac sama sekali tak pernah mengecewakan James.
James memejamkan mata, mengepalkan tangan menahan geram dan amarah. Siapa ayah yang tega menuntut dan memasukkan sendiri anaknya ke dalam penjara? Isaac adalah satu-satunya darah dagingnya, penerus dan pewaris tunggal keluarga Ronan yang terhormat. Turun temurun mereka melayani pemerintah dalam bidang hukum. Bagaimana mungkin juga James akan mencorengnya? Mengakui kesalahan akan mencoreng nama besar keluarga sekaligus menghancurkan masa depan Isaac.
"Ayah yang bilang hukum harus ditegakkan, bukan?!! Tidak pandang bulu, miskin, kaya, tua, muda. Kalau mereka bersalah, mereka tetap bersalah. Mereka harus menebus kesalahannya." Isaac berlutut di depan ayahnya, terisak pelan.
"Ayah bisa melanggar prinsip itu sekali demi anak Ayah." James membuang berkas amplop coklat ke dalam api perapian. Hanya dalam hitungan detik api melahapnya menjadi abu.
"Ayah!!" Isaac menjerit.
"Jangan konyol, Isaac!! Jangan konyol!! Kau anakku! Kau menyandang nama Ronan!! Kau juga seorang pengacara dengan prestasi gemilang. Seluruh media masa memujimu! Seluruh dunia mengelu-elukan namamu!! Masa depanmu masih panjang!!" James mencengkram lengan Isaac. Menyemangati Isaac.
"Kau berharga bagiku, Nak!! Ayah mana yang akan membiarkan anaknya masuk ke dalam penjara?" James mencengkram kerah kemeja Isaac, menyuruh pemuda itu menatap matanya.
"Aku memperkosanya, Ayah. Itu tak termaafkan." Isaac menatap sayu, kesalahan yang begitu fatal dan memalukan. "Dan aku kabur darinya!! Aku pengecut!" Tambah Isaac. Pemuda itu memukul-mukul dada. Hatinya bergemuruh sampai terasa sesak.
"Masa depanmu jauh lebih penting!! Gadis itu akan baik-baik saja. Waktu yang akan membuatnya sembuh, waktu yang akan memulihkan fisik dan mentalnya!" James menepuk pundak Isaac. Isaac limbung, terjatuh pada lantai pualam. Mendengar ucapan ayahnya membuat Isaac kecewa. Tapi jauh di dalam hati, Isaac memang takut dengan hukuman yang harus dijalaninya. Pasti tidak akan mudah, mendekap selama bertahun-tahun di balik jeruji besi penjara.
"Selain dirimu, siapa yang tahu?!"
"Ketiga temanku," lirih Isaac.
"Baik, aku akan mengurus mereka." James bangkit, meninggalkan Isaac yang menatap kosong lantai pualam.
Waktu yang akan menyembuhkannya, waktu yang akan menggeser semua kesesakkan itu. Waktu juga yang akan menumpuk tiap kenangan pahit dengan kenangan baru yang jauh lebih manis. Setidaknya itulah yang Isaac harapkan, pembenaran atas kejahatannya, pembenaran atas hidupnya dan hidup gadis itu.
— Bahasa Bunga —