Isaac menjalani hidup seperti biasa, seakan segalanya tak pernah terjadi. Isaac menjalani karir gemilang, menjalani hidupnya dengan dedikasi dan ambisi. Namanya mulai dikenal, sebagai pembela rakyat. Kasus-kasus kecil sampai besar terus Isaac menangkan.
Segalanya menjadi mudah, tak hanya nama besar, harta pun mengalir dengan mudah.
James bangga, prestasi putranya membuat pujian demi pujian mengalir pada kantor kejaksaan. Memuji kecakapan pria itu dalam mendidik putranya. Tak jarang beberapa jurnalis mewawancarai James. Ingin menuliskan tips-tips jitu mendidik dan cara membawa Isaac Ronan pada puncak prestasinya.
Sampai suatu ketika, saat perjalanan penting menuju ke persidangan ban mobil yang dikendarai Isaac kempes. Demi mengejar waktu, Isaac terpaksa menaiki angkutan umum. Bus tingkat kota berwarna merah. Bus sangat padat karena jam pulang sekolah. Semua bangku baik di atas maupun di bawah telah terisi penuh, rata-rata pelajar dan juga ibu rumah tangga.
Isaac berdiri, berpegangan pada tiang bus. Di bawahnya ada seorang ibu sedang membaca surat kabar hari ini. Mengisi waktu sampai bus mencapai tujuan. Dia duduk di samping tetangganya yang juga asyik mengamati surat kabar. Foto hitam putih James Ronan memenuhi hampir separuh bagian utama koran.
"Dasar pembohong! Dia bahkan tak mau menyelidiki berkas putriku! Putriku menjadi buta dan gila, dan pelakunya masih bebas berkeliaran begitu saja!!" Dengan geram wanita paruh baya itu menunjuk-nunjuk wajah James yang termuat di laman utama sebuah surat kabar.
"Kau benar, itu mengerikan, Hilda. Bagaimana kalau pelakunya mencari korban yang lain?" cibir sang tetangga.
"Masa depan anakku hancur karena dia menolak mengusut kasus itu!! Dia bilang keterangan yang diberikan Lily tidak sah!! Tidak akurat, Lily gila dan hanya merancau!" Hilda kalap, terlihat emosi, dengan geram tanganya meremat surat kabar harian.
"Sabar, sabar, Hilda. Setidaknya Lily masih hidup sampai sekarang!"
"Hidup seperti zombi!! Setiap hari aku harus memasungnya agar dia tidak mencelakai dirinya sendiri!!" Tangis Hilda pecah, semua mata memandang ke arah wanita itu. Membuat temannya ikut sungkan.
"Ayo kita turun saja di sini!" Ajaknya, Hilda menurut.
"Aku muak, akan aku sumpahi siapapun pria itu! Aku harap dia mati menderita!" umpatnya sembari mengikuti temannya turun.
Isaac mematung, tangannya bergetar dengan hebat. Matanya terus mengikuti ke mana pun wanita tua itu melangkah pergi. Bis terlihat kembali berjalan. Sudut mata Isaac masih mengekor kedua wanita itu dengan mata merah dan sembab, terlihat betul Isaac sedang menahan gejolak emosi akibat rasa bersalah.
— Bahasa Bunga —