"Saat aku tersadar esok harinya, pria itu sudah pergi." Lily mencucurkan air mata.
.... legang, Isaac masih menunggu potongan cerita selanjutnya.
"Saat bangun pandangan mataku kabur, dulu belum separah ini. Aku kira kabur karena kehilangan banyak darah. Sebagai calon perawat aku tahu gejala itu." Lily memutar tubuh, terlentang, menerawang kosong ke langit-langit ruangan. Melanjutkan lagi ceritanya.
Dengan kepala pusing, pandangan kabur, dan tubuh babak belur Lily berjalan tertatih kembali ke rumahnya. Tampilannya cukup kacau, darah kering terlihat mengerak kecoklatan. Pergelangan kaki Lily membengkak karena terus meronta saat terkilir. Lily terus menggoncangkan kepalanya untuk mencari fokus pandang. Entah kenapa benda di sekitarnya memburam, tidak jelas.
Langkah Lily terhenti tak jauh dari deretan rumah sederhana. Rumah dengan pekarangan 4 kali 4 meter menghadap seletan. Di kelilingi pagar pendek berwarna putih. Tumbuhan hias tumbuh subur tepat di bawah pagar kayu. Penghuninya terlihat sibuk beraktifitas di pagi hari.
"Lily!! Ya Tuhan anakku, Lily!!" Seorang wanita paruh baya langsung melempar keranjang cucian di tangan begitu melihat putrinya kembali ke rumah. Dengan cemas wanita itu menghampiri Lily, tangisnya pecah saat melihat tubuh putrinya yang penuh luka.
"Ibu." Lily langsung pingsan dalam pelukkan ibunya.
Tak hanya ibu, ayah dan saudara-saudaranya ikut panik melihat keadaan Lily. Kondisi Lily terlihat mengenaskan. Dengan wajah pucat dan tubuh penuh luka Lily tiba di rumah, —setelah membuat cemas karena satu malam tidak kembali.
"Apa yang terjadi?" Ayah Lily membelah kerumunan anaknya, pria itu berjalan paling lambat dengan tongkat kruk menggantikan sebelah kaki.
"Lily terluka!" seru mereka.
"Lily, cepat bawa Lily masuk!" teriak ayahnya.
Kakak tertua Lily menggendong tubuh adiknya masuk ke dalam. Kakak perempuan Lily bergegas mengambil air hangat untuk membasuh kotoran, luka-luka, dan bekas darah. Baju Lily koyak di beberapa bagian. Sudah jelas sekali kalau Lily baru saja mengalami kekerasan seksual.
"Ya, Tuhan anakku, Lily." Tangis wanita yang telah melahirkan Lily. Hatinya perih melihat anak gadisnya harus mengalami hal menyedihkan seperti ini. Tangannya terus bergetar hebat saat membasuh luka-luka itu, bekas noda kemerah-merahan pada leher dan dada Lily membuat hatinya hancur berkeping-keping. Ibu mana yang bisa? Ibu mana yang tega?
Ayah dan kakak tertua Lily melaporkan kejadian ini pada pihak yang berwajib. Pihak berwajib mengerti dan ingin meminta keterangan dari korban sebagai satu-satunya saksi. Tak banyak yang keluarga Lily bisa lakukan selain menunggu Lily siuman.
Saat siuman Lily menjerit-jerit histeris, matanya kabur semakin parah. Tak hanya kabur, kini jarak pandang Lily semakin menyempit. Lily kebingungan, bertanya-tanya dengan kondisinya. Ibu dan kakak-kakaknya hanya bisa memberikan pelukan agar Lily kembali tenang.
"Kenapa aku tak bisa melihat?? Kenapa???" Lily menangis, terus menangis.
Pihak kepolisian tak pernah berhasil menanyakan ciri-ciri pelaku pada Lily karena gadis itu terus menangis dan tertekan dengan pertanyaan mereka. Kejadian mengerikan itu terus terulang dalam benaknya, sakit, dan menyesakkan. Jiwanya hancur berkeping-keping, rusak.
Lily menjadi gila, ia terus menangis dan menangis. Juga menyiksa diri saat hujan deras tiba. Orang tua Lily tak kuasa melihat penderitaan anaknya. Mereka membawa Lily berobat ke beberapa rumah sakit.
Semua hasilnya sama, Lily mengalami kebutaan karena benturan keras mengenai syaraf mata. Dan Lily juga mengalami depresi hebat yang memperparah kondisi pengelihatannya. Tekanan bola mata Lily meningkat seiring dengan banyaknya air mata yang keluar, itulah penyebab utama Lily kehilangan netranya.
"Tak ada yang bisa kita lakukan, Sayang! Sudah banyak uang kita habiskan untuk mengobatan Lily. Anak kita tak hanya Lily, mereka semua juga butuh perhatian dan juga penghidupan!" Darren Fanning, ayah Lily berteriak pada istrinya, Hilda Fanning. Pria tua itu mencoba mengajak istrinya untuk berpikir logis walaupun memang menyakitkan.
Pengelihatan Lily tak punya harapan, sedangkan ke lima anaknya masih butuh dana untuk bersekolah dan menuntaskan masa depan mereka. Akhirnya wanita paruh baya itu menyerah dengan pengobatan putrinya. Sudah saatnya mereka menerima semua keadaan Lily dengan lapang. Menerima kekurangan Lily, menanti sebuah keajaiban.
"Lily, makanlah, Sayang." Hilda menaruh nampan berisi segelas susu dan roti.
"Tidak, Lily tidak lapar." Lily memeluk lutut, menyendiri di sudut ruangan. Seperti anak anjing yang meringkuk ketakutan.
"Lily!! Jangan buat Ibu kesal!! Semua orang sudah lelah merawatmu!" Hilda menggoncang tubuh Lily, meminta Lily tersadar dari depresinya. Lily tak bergeming, hanya mencicit aneh. Air mata Hilda terurai keluar, mendapati putrinya semakin tidak berekspresi, semakin jauh melamun kosong entah ke mana.
"Kotor, Bu, Lily kotor, kotor, dan semua gelap!" rancau Lily saat mengenali suara ibunya, sebagai seorang ibu, hati Hilda benar-benar hancur. "Ibu, Lily takut!!" Lily mendadak ketakutan, ia memeluk wanita itu erat-erat.
"Jangan takut, jangan takut, Lily! Mereka pasti akan menemukan pelakunya dan mengiring pria jahat itu ke penjara. Ibu akan membuatnya membayar semua ini, Lily." Hilda kalap, ucapannya benar-benar terdengar penuh kegeraman.
Tapi nyatanya, pil kekecewaan harus mereka tenggak kembali. Tepat satu bulan berlalu dan pihak kepolisian memilih untuk menutup kasus Lily. Mereka bilang Lily gila, informasinya tidak akurat. Pihak kejaksaan mengembalikan berkas Lily, tak mau meneruskan penyelidikan. Meminta orang tua Lily merelakan saja kasus ini ditutup. Tak ada bukti yang kuat untuk memulai penyelidikkan.
Pertama ayah dan kakak Lily mengamuk di kantor polisi, dilanda kekecewaan dan rasa frustasi. Tapi begitulah keadaannya, tak ada yang bisa mereka tentang saat atasan sudah memberikan keputusan. Polisi-polisi itu juga hanya menjalankan perintah.
"Ini tidak masuk diakal!! Pasti pria itu dilindungi oleh seseorang!" Kakak tertua Lily mengamuk.
"Kalau Anda masih membuat kerusuhan di kantor polisi, mau tidak mau kami akan menahan Anda, Tuan!" Hardik salah seorang polisi.
"Sudahlah, Nak! Ayo kita pulang." Ajak ayahnya yang juga sudah menyerah. Keduanya memutuskan pulang dengan penuh kekecewaan.
Ibu Lily tak kalah kecewa, air matanya terus turun. Menyesali keputusan dari pihak yang berwajib. "Lilyku yang malang, Lilyku," isaknya lirih.
"Sudahlah, jangan bersedih lagi." Darren mencoba membesarkan hati istri juga keluarganya.
Penderitaan Lily ternyata tak berhenti sampai di situ, setelah beberapa saat berhasil bangkit, Lily kedapatan muntah-muntah dan lemas. Nafsu makannya semakin menghilang, tubuhnya terlihat semakin kurus kering. Hilda khawatir dengan keadaan Lily, ia bergegas mambawa Lily berobat ke dokter.
Saat berada di klinik, Hilda menggandeng Lily duduk pada ruang tunggu. Banyak orang berlalu-lalang. Suara-suara pria terdengar menggema dan membuat Lily ketakutan. Tubuh Lily bergetar hebat, jantungnya mulai berdegup sangat kencang. Lily mencicit pelan, entah apa yang ia ucapkan, Hilda tidak mengerti.
"Jangan, jangan, lepaskan aku ... aku takut, tidak, tidak," rancau Lily ketakutan. Kaki Lily tak mau berhenti berderap di tempat, jemarinya saling beradu remasan. Lily menyembunyikan rasa cemas.
"TIDAK!!" Lily menutup telinga tak kala suara pria terus terngiang di sekitarnya.
"Lily, kau kenapa? Lily?" Hilda mulai panik, Lily mendorongnya. Dengan segera Lily berlari, hendak kabur dari klinik. Dengan pengelihatan terbatas Lily menerabas jalanan. Menabrak siapa pun. Lily menjerit saat menabrak seorang pria, dan tanpa sengaja Lily terjatuh. Berguling beberapa kali pada anak tangga.
"LILY!!!" teriak Hilda kalud. Segera Hilda meraih tubuh putrinya yang tergeletak tak berdaya, darah segar merembes keluar dari balik rok. Lily keguguran.
"Lily, sadar, Nak!! Lily!" Hilda terus menepuk pipi anak gadisnya itu.
Kini sudah satu bulan sejak Lily keguguran, tiga bulan berlalu sejak malam kelam penuh hujan itu terjadi. Depresi Lily semakin menjadi jadi. Tanpa sadar Lily terus menyakiti diri sendirinya. Tanpa sadar Lily terus menyalahkan diri sendirinya. Lily semakin tak bisa melihat, terlalu banyak menangis membuat tekanan bola matanya semakin meninggi. Mata Lily semakin rabun.
Pihak keluarga mulai kuwalahan, tak bisa mengendalikan emosi Lily. Tak jarang mereka mengikat Lily dengan tali dan memasungnya pada kaki ranjang. Menyedihkan memang, tapi tak ada pilihan lain. Lily akan meraung, menangis, dan bahkan membenturkan kepala agar rasa sesak yang bergemuruh di dalam dadanya menghilang.
"Kita masukan saja Lily ke rumah sakit jiwa, Bu," usul seorang kakak Lily.
"Benar, masukkan saja." Yang lain ikut mendukung masukkan itu. Mereka semua telah lelah, kualahan, juga ikut sedih merasakan kesakitan Lily.
"Lily hanya akan menderita di tempat ini. Kita tak bisa merawatnya, kita bahkan tak tahu apapun tentang medis. Apa lagi penyakit kejiwaan."
Darren hanya menerawang kosong keluar jendela, sebagai kepala keluarga dan seorang ayah, dia harus memilih keputusan yang terbaik bagi keluarganya. Hilda menatap suaminya, mata tua itu terlihat sembab. Darren menghela napas panjang. Akhirnya dengan penuh pertimbangan suami istri itu memutuskan mengirim Lily ke rumah sakit jiwa. Seluruh keluarga yang telah lelah dengan kondisi Lily pun ikut menghela napas lega.
Satu hari sebelum Lily dikirim ke rumah sakit jiwa. Helen yang kebetulan sedang mengunjungi putrinya di kota mampir ke rumah kelurga Fanning. Menjenguk Hilda adiknya. Setelah mendengar semua tentang Lily, Helen memutuskan untuk merawat Lily, menjaga, dan membantunya pulih.
"Ikutlah Bibi Helen ke desa, Nak! Bangkit dan tinggalkan kenangan pahit ini." Helen tersenyum, melepaskan tali pasung yang mengikat pergelangan tangan Lily. Lily mengangguk tanpa ekspresi.
— Bahasa Bunga —