Chereads / BAHASA BUNGA / Chapter 23 - TULIP III

Chapter 23 - TULIP III

Di tempat lain, seorang gadis terlihat gusar tak kala hujan turun semakin deras. Sudah hampir satu jam lebih dia berdiri, berteduh dari hujan sialan yang bukannya berhenti malah turun semakin deras.

Bodoh kau, Lily. Kenapa tertidur setelah ujian selesai. Pikirnya sebal. Hari ini ujian praktek dan tertulis untuk masuk universitas. Lily belajar semalaman suntuk agar bisa masuk dengan nilai sempurna. Pagi tadi ujian praktek berjalan dengan baik. Jam tiga sore dilanjutkan ujian tertulis. Calon mahasiswa diperbolehkan pulang atau beristirahat terlebih dahulu. Tapi tidak dengan Lily, gadis itu lebih memilih untuk kembali membuka buku, mengulang lagi, belajar lagi.

Ujian tertulis dimulai, Lily tersenyum puas, ia berhasil menjawab keseluruhan esai dengan benar. Setelah menyusun kertas ujian, Lily kembali ke bangku, mengisi sisa waktu sambil menyangga dagu. Tak menyangka dia akan tertidur dengan nyenyak. Saat bangun, hujan telah turun dengan deras. Matahari telah tumbang, langit mulai gelap. Bintang bersembunyi di balik awan pekat.

Lily mengaduh dalam hati, dengan sebal ia terpaksa menunggu hujan reda. Masih menyalahkan diri sendiri, bisa-bisa sampai tertidur begitu lelap di dalam kelas. Lily membuka telapak tangan, mengecek tempias air hujan yang turun, dan ternyata malah semakin deras.

Apa nekat saja? tanya Lily dalam hati, sudah pukul 8 malam, orang tuanya pasti cemas bila Lily tidak segera sampai ke rumah. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk berlari menembus hujan, kembali ke rumah. 

Lily berlari-lari kecil, kepalanya bertudung syal wol berwarna merah. Udara dingin bercampur air hujan membuatnya menggigil sepanjang perjalanan. Mantel hitam terlihat mulai basah, menghambat laju langkahnya. Terlalu fokus dengan jalanan, Lily tak memperhatikan ada tiga orang yang muncul dari sebuah rumah dan menabrak mereka.

"Ach!!" pekik Lily, bokongnya sakit karena terjatuh, menyentuh aspal jalanan.

"Hei, lihat-lihat kalau jalan!" Salah seorang dari mereka membentak Lily. Payung yang digenggamnya terjatuh, membuat hujan membasahi setelan jas mahal pria itu.

"Maaf, aku tidak sengaja." Lily mencoba bangkit, tapi kakinya sakit. Sepertinya terkilir saat terjatuh tadi.

"Aduh!" seru Lily, ternyata rasanya cukup menyakitkan. Lily kembali terjatuh.

Hujan turun semakin deras, ketiganya terperana melihat wajah cantik Lily. Wajah itu terlihat semakin menggairahkan di tengah guyuran hujan. Mereka saling beradu pandang beberapa saat. Sepertinya merencanakan sesuatu.

"Butuh bantuan?" Seringai salah satunya.

"Tidak!! Jangan sentuh aku!" Lily menolak bantuan ketiganya, mencoba bangkit sendiri.

"Kau cantik sekali gadis kecil, siapa namamu?" 

"Kalian mau apa? Jangan mendekat!" Lily ketakutan, tak berani memandang wajah pria-pria yang jauh lebih dewasa darinya itu.

"Kenapa gadis sepertimu keluar malam-malam?" tanya mereka.

"Tidak, lepaskan!! Jangan macam-macam atau aku akan berteriak!" Lily mengancam mereka.

"Uuuh ... takut!" ledek mereka, mana ada yang bisa mendengar teriakan Lily di tengah hujan sederas ini?

"Tolong jangan ganggu aku!" Lily mengiba, wajah cantiknya terlihat sendu.

"Kami tidak ingin mengganggumu gadis kecil. Menurut saja!" Keduanya menarik tangan Lily, sementara yang lain menyumpal mulut Lily dengan sapu tangan.

Mau apa? Lily melotot kaget, ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. Jantungnya berdetak cepat dan keras sekali. Tubuh Lily melemas, terlalu takut membuatnya tak bisa melawan. Jangankan meronta, tubuhnya seakan kehilangan daya, lemas, tak mau digerakkan.

Bau alkohol begitu menyengat saat ketiganya membawa Lily masuk ke dalam rumah. Lily terus bergeleng, memberi kode agar mereka memberikan belas kasihan dan melepaskannya. Lily tak bisa berteriak, mulutnya tersumpal kain. Meronta adalah satu-satunya cara melepaskan diri, tapi ketakutan membuat tubuhnya tak bisa diajak bekerja sama.

"Kurus sekali dia!" ucap salah satunya.

"Benar, ringan sekali!"

"Tapi wajahnya sangat cantik!" Yang ke tiga mencekal dagu Lily, mengamati wajah cantik Lily dan mata zambrutnya yang membelalak lebar.

"Uuumm ... umm ...!" (kumohon lepaskan aku!)

"Dia bahkan tidak menangis."

Bagaimana bisa Lily menangis, tenggorokkannya kering dan tercekat. Seluruh ototnya lemas dan tak berdaya, sekujur syaraf di tubuh melawan kehendak otaknya, membeku karena rasa takut.

"Sudahlah, cepat bawa dia masuk ke kamar! Hujan semakin deras. Aku sudah tidak tahan!" sergah yang lain.

Lily memucat, mendengar ucapan pria-pria itu membuatnya semakin takut. Apa yang mereka rencanakan? Apa yang mereka inginkan darinya?

— Bahasa Bunga —