Matahari mulai condong ke barat, desiran angin masuk melewati kisi-kisi bouvenlight. Isaac telah mengenakan lagi pakaiannya yang kering, pria itu kini tengah sibuk membersihkan toko. Lily juga terlihat sibuk dengan jajaran bunga iris ungu.
"Apa kau tahu kalau iris ungu sering menjadi perlambang kehormatan dan keagungan kerajaan?" tanya Lily.
"Tidak. Aku tidak tahu, Ly." Isaac menjawab sambil mengangkat bahunya.
"Bunga camomile adalah obat insomnia, poppy merah pengingat berhentinya perang dunia I. Lavender bisa mengusir serangga. Biji bunga matahari bisa dimakan. Kata orang bunga matahari adalah perlambang kekayaan yang semu, dan mawar adalah perlambang cinta sejati." Lily menceritakan banyak hal tentang bunga kepada Isaac. Isaac kusuk mendengarkan sambil menyangga dagu pada ujung pegangan pel. Mereka mengisi waktu luang dengan mengobrol, entah kenapa hari ini toko sepi sekali.
Lily menaruh dagu di atas meja. Bosan bercakap, tak ada lagi yang bisa Lily ceritakan pada Isaac. Isaac melanjutkan prosesi bebersih ruangan, mengelap dinding-dinding kaca. Begitu sampai di dekat pintu masuk Isaac spontan menepuk dahinya.
"Ya Tuhan, Lily!!" seru Isaac.
"Kenapa?" Lily mengeryitkan alisnya bingung.
"Kita lupa memutar papan tanda buka! Pantas saja tak ada yang datang, mereka kira kita tutup hari ini." Isaac bergeleng, mereka teledor karena terlalu asyik menghabiskan waktu intens berdua dalam guyuran air.
"Benarkah?" Lily terhenyak pada kursi, bahunya melemas. Jadi mereka berdua selama ini menunggu dengan percuma. Membuang waktu lebih dari lima jam hanya untuk mengobrol dan bersendal gurau.
"Wah, sudah hampir jam empat." Isaac melirik jam dinding.
"Tanggung juga." Lily menyangga dagu dengan telapan tangan, tinggal dua jam tersisa dari jam tutup toko.
"Benar, sepertinya percuma." Timpal Isaac.
"Ya sudah, tutup saja." Lily mengangguk lemas.
"Hei! Bagaimana kalau kita piknik, Lily? Bukankah kau bilang tak pernah pergi lebih jauh dari satu blok!" Isaac memberikan ide, alisnya naik turun, Lily tak bisa melihatnya tapi Isaac tetap melakukannya.
"Piknik? Ini sudah sore, Isaac."
"Justru itu, matahari tidak akan terlalu terik. Ayo, aku ajak kau berkeliling desa, ada danau di kaki bukit yang sangat indah. Padang bunga liar tumbuh di dekat sana." Isaac menarik tangan Lily.
"Aku tidak bisa melihat." Lily menunduk, percuma pergi jauh, percuma Isaac mengajaknya pergi ke tempat indah itu. Tak ada yang bisa Lily lihat. Lily rabun, hampir buta, apa Isaac lupa?
"Aku akan menjadi matamu!" Isaac menepuk pundak Lily, "aku akan menceritakan segala yang kulihat padamu. Sekarang ganti bajumu dan bergegaslah." Isaac mencubit pipi Lily.
"Auch." Lily mengaduh.
"Cepat, Sayang!" Isaac mendorong Lily masuk ke dalam kamar. Lily menurut, mencari baju gaun lain yang lebih baik.
Isaac menunggu dengan sabar di depan pintu kamar. Tak lama pintu kayu terbuka, Lily keluar dengan gaun selutut berwarna kuning, motif garis-garis vertikal. Ada pita besar melilit pinggang, menimbulkan kesan ramping pada bagian perut. Isaac terpaku, Lily terlihat mempesona dengan warna cerah, kulitnya yang putih tampak serasi bersanding dengan warna kuning.
Gadis itu tampak malu-malu saat mengangkat benda yang ada di atas telapak tangan. Bedak dan juga lipstik pemberian Noir dulu. Lily ingin terlihat lebih cantik dari biasanya, ingin merias diri. Hanya Isaac yang bisa membantunya memoles wajah.
"Bisa kau bantu aku memakainya?" tanya Lily ragu, takut juga kalau Isaac menganggapnya gadis centil.
"Tentu saja, Lily." Isaac dengan senang hati meraih make up dari tangan Lily. Lily mengekor Isaac, duduk pada tepian ranjang. Menunggu dengan sabar Isaac mengoleskan bedak. Menepukkan puff spons perlahan pada kulit wajah Lily, membuatnya semakin tampak halus.
"Oke, bedak selesai. Tinggal lipstik." Isaac memutar tabung kecil, stik berwarna merah menyala muncul.
Lily bersiap, memejamkan mata. Isaac tersenyum saat mengaplikasikan lipstik lalu meratakan warna merah dengan ujung jarinya. Mengetuk-ketuk pelan pada permukaan bibir ranum Lily.
"Rasanya geli." Lily hampir terkikih.
"Sabar, Lily. Nanti tercoret." Isaac menahan dagu Lily.
Warna merah merona pada bibir Lily membuatnya telihat semakin cantik dan menggairahkan. Isaac menatap lamat-lamat, semakin hari Lily membuat Isaac semakin terpesona pada kecantikkannya.
"Apa aku terlihat aneh?" Lily membuyarkan lamunan Isaac.
"Tidak, Lily. Kau cantik, sangat cantik." Isaac mengelus sepanjang garis tulang hidung Lily yang mancung dengan punggung jari telunjuk.
Jantung Lily lantas berdegup keras, cepat, dan tak beraturan. Getarannya menderu sampai ke relung hati.
"A-ayo kita berangkat, Isaac!" Lily bangkit, malu dengan perasaan yang meluap-luap ini.
"Baiklah." Isaac menggandeng tangan Lily, membawa gadis itu keluar dari toko bunga.
"Tunggu! Tongkatku!" Lily menahan tarikan Isaac.
"Tinggalkan saja, Lily. Aku yang akan jadi matamu hari ini." Isaac membantu Lily menaikki sepeda. Lily menurut, dengan perlahan memposisikan diri, duduk miring pada sedel belakang. Isaac mengusik pelan pucuk kepala Lily karena gadis manis itu menurut.
"Siap?" tanya Isaac.
"Siap." Lily terkikih pelan.
Isaac mulai mengkayuh pedal sepeda, roda berputar, mulai bergulir melintasi jalanan. Lily berpegangan erat pada pinggang Isaac, sudah lama tak merasakan sensasi menaiki sepeda, Lily sedikit takut.
"Jangan takut, Lily, santai saja." Isaac tertawa, salah satu tangannya menggenggam tangan Lily –yang bersarang pada pinggangnya.
"Aku belum terbiasa," seru Lily agak keras.
"Santai saja, Lily. Berpeganglah erat padaku kalau kau takut!" Isaac menenangkan Lily.
"Iya."
Baru mengayuh beberapa menit, Isaac menghentikan laju roda sepeda pada sebuah toko pakaian. Sebuah butik pada ujung jalan utama. Pakaian-pakaian berwarna cerah menyambut mata Isaac pada etalase kaca. Tapi bukan baju tujuan Isaac datang ke tempat itu.
"Tunggu sebentar, Lily!"
"Kau mau ke mana, Isaac?"
"Sebentar saja." Setelah mewanti-wanti Lily, Isaac masuk ke dalam toko. Tak lama ia keluar dengan sebuah topi lebar berhiaskan pita berwarna kuning.
"Ini!" Isaac menaruh topi ke atas kepala Lily.
"Topi?" Mata zambrut Lily terbelalak.
"Hadiah ulang tahun sekaligus hari jadi." Isaac mengulum senyuman, begitu pula Lily.
"Terimakasih, Isaac."
"Sama-sama."
Isaac kembali naik, mengkayuh sepeda biru melintasi jalan utama. Isaac selalu mengangkat topinya tiap saat melewati warga desa. Mereka membalasnya dengan cara yang sama. Isaac bergurau sepanjang jalan, sesekali sengaja meliukkan laju sepeda agar Lily semakin berpegangan dengan erat. Lily mengomel, tapi Isaac malah tertawa.
Jalanan mulai menyempit saat keluar dari desa, berubah menjadi jalan setapak tanpa aspal atau pun paving. Tumbuhan paku-pakuan dan juga semak perdu menghiasi jalanan itu. Tanah terlihat kering pada musim panas, tak ada lumut, mudah bagi sepeda Isaac melewati jalan itu tanpa takut tergelincir.
Udara sejuk terasa semakin nyaman saat sepeda mulai meninggalkan desa menuju ke arah perbukitan. Dinginnya angin sore kaku menerpa wajah, beruntung matahari masih kokoh, belum tumbang di sebelah barat, jadi masih menyisakan sedikit kehangatan bagi mereka berdua.
"Ah, sejuk sekali." Lily menahan topinya agar tidak terbang tertiup angin. Mengangkat tinggi tangan yang satu lagi, merasakan hawa sejuk menyentuh ujung-ujung jemari.
"Kita sampai, Lily." Isaac membantu Lily turun, lalu mengangkat keranjang kecil berisikan bekal piknik yang tadi telah ia persiapkan.
"Pasti pemandangannya sangat indah?" tanya Lily.
"Iya, tepat di depan kita ada hamparan padang bunga liar berwarna kuning, lalu ada danau besar yang memantulkan gambar bentangan alam pada permukaannya. Pohon cemara, pinus, oak, teak, semua berjajar pada perbukitan. Juga beberapa jenis burung yang terbang rendah di atas kita. Sangat indah, Lily." Isaac menjelaskan suasana alam sekitar sembari menggelar kain alas —motif kotak-kotak pink— agar keduanya bisa duduk dengan nyaman. Tidak duduk langsung di atas rerumputan lembab.
Isaac memeluk Lily dari belakang. Sesekali Isaac mengecup tengkuk Lily, membuat gadis itu menggeliat menahan rasa geli.
"Hentikan Isaac, kau membuatku geli," Lily memberontak, namun semakin memberontak Isaac malah semakin bersemangat untuk menggodanya.
"Aku suka melihatmu tertawa," tutur Isaac.
"Hahaha ... geli!" tawa riang Lily. Tanpa sadar Lily terlalu banyak meronta dan terpeleset rumput yang basah karena embun. Isaac bergegas menangkap Lily, keduanya terjatuh pada hamparan rumput, berguling sampai ke padang bunga. Isaac mengaduh tertahan, namun ekspresi wajahnya terliat bahagia, begitu juga Lily.
"Sakit?" tanya Lily.
"Tidak, kau bagaimana?" tanya Isaac balik.
"Tidak, kan ada tubuh ini sebagai bantalan." Lily menunjuk dada Isaac sambil tertawa.
"Benar juga, bagaimana kalau dibalik?" Isaac memutar tubuh Lily, kini Lily yang berada di bawah tubuh Isaac. Lengan Isaac menahan kokoh tubuhnya sendiri agar tidak menindih tubuh Lily. Wajah Lily menghangat, berbaring di tengah padang bunga dengan pria yang dicintai tepat berada di atas tubuhnya membuat aliran darah Lily seakan terhenti.
— BAHASA BUNGA —