"Boleh aku bekerja di sini, Lily? Aku akan membantumu memilih bunga yang segar dan cerah. Aku akan menjadi assisten pribadimu yang paling menurut." Isaac memeluk lengannya sendiri sambil menunggu jawaban Lily.
"Aku tak sanggup membayar upahmu, Isaac." Lily terkikih, membuat Isaac ikut terkikih.
"Aku tak butuh upah besar." Lanjut Isaac.
"Lagi pula bagaimana dengan pekerjaamu sebagai kurir pengantar barang?" tanya Lily.
"Aku bisa mengabil shif siang. Saat pagi hari aku akan selalu kemari untuk membedakan bunga yang layu atau busuk. Kau tinggal merangkainya tanpa takut mengambil bunga yang layu," jawab Isaac enteng.
"Eum ...." Lily berpikir.
"Ayolah, cukup berikan aku madu dan juga roti begel buatan Bibi Joel sebagai bayaran." Isaac menepuk pundak Lily.
"Bagaimana, ya? Aku sungguh tak ingin merepotkanmu, Isaac," tolak Lily lembut.
"Lalu bagaimana kalau kejadian seperti ini terulang kembali?" Isaac terus mendesak Lily agar menerimanya bekerja di toko bunga.
.... Lily terdiam, ucapan Isaac tidaklah salah.
"Roti begel, madu, dan senyumanmu. Itu gajiku." Isaac mengulurkan tangan, meminta Lily menjabat tangannya sebagai tanda setuju.
"Baiklah, tolong, ya." Lily meraba-raba, menerima jabat tangan Isaac.
"Yes!!" teriak Isaac, wajah Lily menghangat saat tahu betapa bahagianya Isaac hanya karena Lily telah menerimanya bekerja di Helena florist.
"Kapan kau akan mulai bekerja?"
"Besok, ah ... tidak, hari ini saja!" tukas Isaac bahagia.
"Dasar, kau ini aneh sekali. Coba katakan sebenarnya apa tujuanmu berada di dekatku, Isaac?!" Lily menepis pipi Isaac pelan.
"Hanya ingin mengenal dekat dirimu, Lily, apa itu juga hal yang aneh?" Isaac membalas tepisan Lily, keduanya lantas tertawa bersama.
"Dasar pria misterius!" tuduh Lily.
"Setidaknya aku tak punya maksud jahat, percayalah." Isaac memungut sisa buket bunga dan membuangnya. Lily ikut bangkit, mengambil tongkat dan berjalan menuju ke belakang meja kasir. Merapikan barang-barang yang terjatuh karena ulah Frank.
"Baiklah, ayo kita mulai bekerja. Dari dulu aku ingin melakukan hal ini." Isaac merenggangkan tangan ke atas, meliukkan tubuh sebagai pemanasan.
"Jangan terlalu giat, bagaimana kalau kau pingsan? Aku tak mau menampung pria di rumahku," goda Lily.
"Hei! Kau mulai bisa bercanda rupanya." Isaac melirik Lily.
"Hahaha," tawa Lily membuat hati Isaac lega. Lily lebih tegar dari yang Isaac kira.
Isaac mulai menata ulang pot-pot tanaman. Membersihkan dedaunan kering yang jatuh berguguran. Menyapu juga teras dan mengelap kaca jendela. Semenjak kepergian Helen, keterbatasan Lily membuatnya tak bisa membersihkan rumah sampai ke plosok-plosok ruangan. Ada beberapa detail yang terlewat. Tak jarang ada sarang laba-laba, sampai guguran daun kering terselip di antara pot-pot besar.
"Apa yang bisa kubantu?" Lily merasa aneh karena Isaac bekerja keras sampai malam.
"Tinggal sedikit lagi." Isaac masih menikmati perkerjaan itu.
"Tapi sudah malam."
"Masih terang kok." Isaac melihat ke luar jendela, cahaya jingga masuk dengan lembut melalui kisi-kisinya. Matahari di negara ini bersinar lebih panjang, bahkan di musim panas, matahari bisa saja tenggelam pada jam 8-9 malam.
"Kau mau teh?" Lily menawarkan sesuatu untuk mengatasi penat.
"Boleh." Isaac melepas sarung tangan karet.
Lily kembali dengan dua cangkir teh dan biskuit dengan irisan keju. Aroma teh membuat Isaac meletakkan pekerjaannya, mendekat untuk bergabung. Menyantap biskuit bersama dengan teh adalah kombinasi yang sempurna.
"Teh mint?" Isaac menghirup aroma tehnya.
"Cobalah, Isaac." Lily memberi kode dengan mengangkat cangkir.
"Wah ini enak!" puji Isaac, ada rasa pedas dan segar terkecap pada lidah. Bermain cukup lama, memberikan sensasi menenangkan.
"Cocok untuk melepas penat." Lily menyiapkan keju, mengiris tipis-tipis, menutup tiap sisi dengan biskuit tawar.
"Ini, cobalah. Keju buatan Noir sangat enak. Biskuit yang diolah dengan mentega dan juga susu dari pertenakkannya tak kalah nikmat. Kombinasi yang pas untuk minum teh." Lily menyerahkan beberapa tangkup sandwich keju.
"Thanks, Lily." Isaac menerima biskuit dari tangan Lily.
Mereka berdua menikamati indahnya malam dalam balutan perbincangan yang hangat. Juga guyonan yang penuh canda tawa dan kekonyolan Isaac.
"Kau tidak pernah salah memasukkan garam ke dalam tehmu kan?" goda Isaac.
"Hei, aku itu buta, tidak bodoh! Aku bisa mencicipinya terlebih dahulu sebelum memasukkan ke dalam cangkir," sergah Lily sambil melotot galak.
"Hahaha! Banyak hal yang ingin aku tahu, Lily. Bagaimana kau melakukan semua pekerjaanmu dengan keterbatasan itu?! Bahkan tinggal sendiri. Apa kau tidak kesusahan?" Isaac menghabiskan sisa biskuit di atas piring.
Lily diam cukup lama.
"Apa aku menyinggungmu? Tak apa bila tak ingin bercerita," tukas Isaac.
"Tidak, Isaac. Aku akan bercerita. Semula memang susah, tapi aku mulai terbiasa. Kau kan tahu, manusia adalah makhluk paling pintar, kemampuan beradaptasi mereka yang terbaik." Lily tersenyum kecut. Setahun dia belajar untuk bertahan hidup dalam kondisinya saat ini. Belajar untuk menerima keadaan. Hampir buta total memang membuatnya kehilangan keinginan hidup, ingin menyerah, segalanya berkali-kali lipat lebih berat. Untung saja masih ada Bibi Helen. Kasih sayang dan perhatian Helen lah satu-satunya pegangan Lily, lewat Helen Lily belajar banyak hal. Belajar menerima kekurangan itu dengan lapang.
Lily membuat batasannya sediri, ia tak pernah pergi lebih jauh dari satu blok, itu pun hanya untuk membeli perlengkapan sehari-hari agar tidak tersesat. Lily menghapal jalan-jalan yang ia lalui, menghapal suara, menghapal bentuk, tekstur, menghapal bau bunga, menghapal kondisi angin dan suhu untuk menentukan cuaca. Semua Lily lakukan agar ia bisa bertahan hidup.
Lily juga memasak seadanya, sup sayur, kentang dan jagung rebus, juga bubur gandum adalah menu andalan Lily setiap hari. Bella atau Noir —tetangganya— juga sering mampir untuk memberi makanan atau pun membantu Lily memasak.
"Dulu aku pernah tak sengaja makan makanan busuk, hidungku mampet karena flu dan aku buta. Aku tak bisa melihat kondisi makanan itu dengan baik. Untung saja aku belum sempat menelannya." Lily meletakkan cangkir, mengenang masa-masa awal keterpurukkannya.
Isaac menunduk, lagi-lagi hatinya terasa iba, ikut merasakan kesesakkan itu.
"Sekarang sih, aku sudah lebih berpengalaman. Kehilangan indra pengelihatan membuat indra penciuam, pendengaran, perraba dan juga pengecapku jauh lebih sensitif. Aku bisa dengan mudah mengenali benda-benda," jelas Lily. Isaac mengangguk paham.
"Pasti berat?"
"Iya, berat. Tapi saat aku memilih untuk menerima semua ini, entah kenapa rasanya jadi tidak terlalu berat." Lily mengusap sudut mata yang berair. Isaac tak tahan lagi, jemarinya ikut mengusap lelehan bening itu.
"Sudah malam Isaac, kau harus pulang." Lily menghindar saat sentuhan Isaac mengenai pipi mulusnya.
"Kau benar, sudah malam." Isaac menilik keluar, matahari telah tumbang, bulan dan bintang gemintang kembali bertahta di angkasa.
Setelah membantu Lily membereskan cangkir teh, Isaac berpamitan. "Selamat malam, Lily."
"Selamat malam, Isaac."
Isaac mengangkat topi sebelum meninggalkan Lily, Lily tak bisa melihat, jadi hanya mengangguk seperti biasa.
"Sampai jumpa besok."
"Sampai jumpa besok."
Isaac mengayuh pedal sepeda, ia sempat menoleh kepada Lily sebelum menghilang masuk dalam kegelapan malam.
— Bahasa Bunga —