"Sialan!! Wanita gila!!" Frank mengayunkan lengannya hendak menampar Lily.
Grab!
Frank terkejut, tangannya tertahan oleh tangan lain yang sama kokohnya.
"Apa yang Anda lakukan, Tuan?" Isaac memandang dengan geram pria di hadapannya saat ini. Rahang dan otot-otot leher Isaac mengeras.
"Gadis gila itu! Gadis buta itu!! Dia membuatkanku buket bunga yang telah layu. Dan lagi, bukannya bertanggung jawab dia malah mengusirku, lalu mencakarku! Bagaimana aku tidak marah?!" Frank menghempaskan tangan Isaac.
Isaac mengepalkan tangan menahan geram. Isaac ingin sekali mengayunkan tinjunya pada wajah pria di depannya itu saat ini. Pria itu membuat Lily meringkuk ketakutan, membuat Lily mengalami kecemasan dan bisa saja kembali memicu depresinya. Padahal susah payah Isaac berhasil mendekati Lily, susah payah sampai akhirnya Lily bisa menerima keberadaan Isaac dalam satu ruangan. Kini pria itu merusaknya, kembali merusak bunganya.
"Mohon maafkan kami, Tuan. Kami akan membuatkan buket bunga yang baru." Isaac yang mengenal siapa pria itu memilih untuk mengurungkan niatnya. Dengan kerendahan hati Isaac meminta maaf atas nama Lily.
"Lupakan, aku tak punya waktu untuk menunggu!" Suara Frank kembali bernada tinggi. Isaac tetap terlihat tenang.
"Tutup saja toko ini! Orang buta tidak bisa merangkai bunga! Membedakan bunga saja tidak bisa, memilih yang segar dan layu juga susah! Untuk apa bertahan?!" Frank membetulkan dasi. Setelah melirik Lily --yang mendekam ketakutan, Frank mengusapkan tangan pada kemeja Isaac. Membersihkan kotoran seakan baju Isaac adalah kain lap.
Isaac memejamkan mata, lagi-lagi dia harus menahan geram akan penghinaan ini.
Frank adalah orang kaya yang tak bisa dilawan oleh Isaac. Isaac hanya kurir pengantar barang saat ini, dia tak boleh gegabah menyerang orang itu. Salah-salah Lily dan warga lain akan ikut kena imbasnya.
"Sekali lagi, maafkan kami." Isaac membukakan pintu untuk Frank, bunyi lonceng mengikuti derap langkah pria itu pergi. Frank sempat meludah ke trotoar dan kembali masuk ke dalam mobil. Sopir terlihat menutup pintu dan beralih ke kursi pengemudi. Mobil menderu menunggalkan toko bunga. Isaac mendesah tertahan, andai saja ia tak berlama-lama merenung di pinggir danau, mungkin hal ini tak akan terjadi.
Isaac bergegas masuk untuk melihat keadaan Lily. Lily masih ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat, air mata bercucuran tak terbendung. Pandangannya mulai kosong, bibir tipisnya bercicit pelan. Menyuarakan ketakutan dan rancauan kesesakkan.
"Semuanya akan baik-baik saja, Lily." Isaac mengusap lengan Lily, menyalurkan kehangatan. Tapi Lily tidak mau, dengan sekuat tenaga Lily mendorong Isaac.
"Pergi!! Jangan mendekat!! Pergi!!" bentak Lily kalap, dengan segera ia bangkit, mengambil sembarangan benda di dekat situ, hendak memukul Isaac.
Rabaan Lily ternyata tak menemukan apapun selain gunting tanaman. Benda tajam itu terlihat cukup besar di tangan Lily. Lily mengarahkan ujung tajamnya ke arah Isaac.
"Ya, Tuhan! Taruh benda itu, Lily! Bahaya!" teriakkan Isaac memenuhi langit-langit ruangan, menggema. Lily tak mengindahkannya, bahu Lily naik turun karena menahan tegang dan rasa takut. Tangannya terus bergetar hebat. Sorot matanya terlihat garang.
"Pergi!! Pergi!!" Lily mengayunkan gunting ke kanan dan ke kiri. Mengayunkan sembarangan, membabi buta karena Lily tak bisa melihat keberadaan Isaac.
Isaac bangkit perlahan-lahan, kebutaan Lily adalah keuntungan bagi Isaac saat ini. Isaac mengendap ke belakang Lily. Sekejap kemudian Isaac –dengan meloncat- telah berhasil meringkus tubuh Lily dari belakang, mengunci punggung sekaligus lengan kurusnya. Mereka berdua terjatuh pada lantai kayu. Isaac menjadikan tubuhnya sendiri bantalan.
"Lily, ini aku, Isaac!" Isaac menahan tangan Lily, mencoba menyadarkan gadis itu dari depresi yang merenggut akal sehatnya.
Menit-menit berlalu penuh ketegangan, Isaac berusaha merebut gunting tanaman dari tangan Lily. Hampir lima menit, sampai Isaac akhirnya berhasil mencekal gunting tanaman, lalu melemparkan benda tajam itu jauh-jauh. Takut Lily meraih atau menghunuskan gunting itu kembali untuk menyakiti dirinya sendiri.
"Pergi!! Kumohon!! Jangan sakiti aku!" Lily masih meronta dalam dekapan Isaac.
"Aku tak akan menyakitimu lagi, Lily. Kumohon dengarkan aku! Semuanya baik-baik saja sekarang. Semuanya baik-baik saja," bisik Isaac. Isaac memutar tubuh Lily untuk membawanya masuk dalam dekapan Isaac. Lily masih terus menangis, namun berangsur-angsur mulai tenang.
Lily menangis pada dada bidang Isaac, Isaac hanya bisa menepuk pelan punggung Lily. Berusahan menenangkan emosi yang membuncah keluar.
Lily yang malang, Lily yang rapuh, Lily yang menderita.
Pantaskah gadis itu mengalami semua ini? Pantaskah gadis cantik dengan senyumnya yang menawan itu mendapatkan semua penghinaan ini? Dia hanya gadis berusia 19 tahun, usianya masih terlalu muda untuk kehilangan masa depan dan pengharapan. Terlalu muda untuk kehilangan kepercayaan, kebahagiaan, dan juga cinta.
Terlalu sayang membiarkannya menangis, menanggung beban itu seorang diri.
Netra hazel Isaac mulai berkaca-kaca. Isaac kembali meneteskan air mata, ikut menangisi kisah hidup sang bunga. Tumbuh terkukung dalam semak duri yang tajam dan mencekik. Bunga itu punya secuil keinginan, hanya berharap untuk tetap mekar dengan indah.
Isaac terus memeluk Lily, walaupun gadis itu terus meronta tanpa henti dalam dekapannya. Cukup lama sampai tubuh Lily pun akhirnya merasa lelah, Lily tumbang. Tubuhnya melemas. Isaac membantu Lily duduk. Lily terduduk lemas di dekat pot-pot tanaman hias, Isaac menyusul duduk di sampingnya.
Legang. Ruanggan senyap, prabotan teronggok bisu, bahkan lonceng angina pun tak berdenting. Baik Isaac maupun Lily juga memilih untuk diam. Saling memberi waktu dalam keheningan agar hati mereka kembali tenang.
Isaac melihat buket bunga yang telah hancur berantakan, kelopak bunga mawar berserakan di mana-mana. Isaac menghela napas panjang, menyesali keterlambatannya hari ini.
"Kau sudah tenang?" Pertanyaan Isaac memecah keheningan.
"Iya." Angguk Lily perlahan, masih lemas.
"Sudah tidak apa-apakan?" Isaac berpaling, menatap Lily lamat dan dalam. Rona ketakutan telah memudar dari wajah cantik Lily.
"Aku baik-baik saja, Isaac. Tapi ...."
"Tapi apa?"
"Tapi bunganya tidak, kata pria tadi bunga buatanku jelek. Aku tak bisa membedakan mana bunga yang segar dan mana yang layu." Lily meremas tangan, gugup. Matanya mulai berkaca-kaca. Muncul pertanyaan dalam benak Lily.
"Kalau aku tak bisa membedakan bunga yang segar, lalu bagaimana dengan bunga pesanan pelanggan selama ini? Apakah juga tidak segar? Ada yang layu?" Lily menarik lengan kemeja Isaac, bertanya pada pria yang mengantarkan bunga dari toko setiap hari ke tangan para pelanggan.
Isaac terdiam sesaat, mengambil tangan Lily dalam genggamannya. "Tidak, bunganya bagus. Pelanggan tidak komplain. Kadang memang ada satu dua bunga yang kelopaknya menghitam. Tapi aku mengupasnya. Kadang mencabut yang terlalu layu." Isaac menepuk punggung tangan Lily, meminta gadis itu kembali tenang.
"Benarkah? Jadi tetap ada yang layu?" Lily menundukkan kepalanya, kecewa. Jadi selama ini dia tak bisa memberikan bunga terbaik pada pelanggan-pelanggannya.
"Semua tidak ada yang protes, Lily. Kau bisa tenang. Kebetulan saja pria arogan itu susah untuk dipuaskan." Isaac bangkit, membantu Lily bangkit juga. Mengambil tongkat Lily yang terlempar, lantas mengembalikannya ke tangan Lily.
"Kau mengenal pria itu?"
"Eum ... tidak." Geleng Isaac.
"Kau bilang dia susah dipuaskan." Lily mengetuk pelan jalanan dengan tongkat.
"Asal tebak. Mungkin saja kan? Sifat orang itu macam-macam, ada yang mudah ada yang susah. Ada yang keras ada yang lembut, ada yang baik ada pula yang jahat." Isaac membereskan bunga yang berserakan pada lantai kayu.
"Aku akan membereskannya, Isaac." Lily ikut berjongkok. Meraba-raba permukaan lantai kayu, menjumput klopak bunga yang berserakan. Isaac menatap lamat Lily, rambut coklat kemerahan itu kacau menutup wajah. Isaac mengangkat tangan ingin menyisirnya ke belakang telinga, sekejap kemudian memilih untuk mengurungkan niat.
"Boleh aku bekerja di sini, Lily? Aku akan membantumu memilih bunga yang segar dan cerah. Aku akan menjadi assisten pribadimu yang paling menurut." Isaac memeluk lengannya sendiri sambil menunggu jawaban Lily.
— BAHASA BUNGA —