Di sisi lain desa, Isaac terlihat asyik melemparkan batu-batu kecil ke dalam danau. Beberapa kali batu itu meloncat-loncat lincah di atas permukaan danau sebelum akhirnya tenggelam. Pohon-pohon cemara dan pinus berjajar rapi pada permukaan bukit, membentuk bentangan alam yang menakjubkan. Isaac merasa sedang gusar, bahkan pemandangan indah pohon cemara di sekeliling danau pun tak bisa mengusir kegelisahannya.
[Kenapa dia menolakku? Apa mungkin aku terlalu terburu-buru mendekatinya jadi dia belum siap?] pikir Isaac. Isaac tak habis pikir, gadis itu lebih susah didekati daripada kelihatannya.
Setengah jam melempar batu ke dalam danau membuat Isaac kelelahan. Ia terduduk pada rerumputan, menengadah ke angkasa. Langit hari ini terlihat biru dan cerah. Gumpalan awan putih bergerak perlahan. Sepertinya hujan kemarin menghabiskan semua stok uap air di awan-awan. Sejauh mata memandang hanya cakrawala biru bersih.
Isaac memejamkan mata, mencoba menghilangkan bayangan jerit ketakutan Lily. Isaac tak menyangka bahwa gadis itu punya luka yang begitu besar dan menyakitkan. Adegan Lily meringkuk sambil mencakari dirinya sendiri terekam jelas dibenak Isaac. Membuat hati Isaac terasa sakit.
"Ah, kenapa rasanya sesak sekali?!" Isaac membaringkan diri pada rerumputan hijau, menutup matanya dengan sikut tangan. Matahari mulai meninggi. Cahyanya menerpa Isaac dengan rasa hangat yang nyaman.
"Tidak! Aku tidak boleh menyerah!" Isaac seketika terduduk. "Aku akan mendekatinya lagi, suka atau tidak suka."
Senyum hangat terkembang sempurna pada wajah pemuda tampan ini. Dengan segera ia mengambil sepeda yang terparkir tak jauh dari tempatnya merenung. Isaac mulai mengayuh pedal, memutar roda untuk melintasi rerumputan hijau keluar menuju terotoar jalan. Bunga dandelion yang tumbuh subur berterbangan saat tersapu oleh laju sepeda Isaac, anak bunga ringan itu melayang jauh. Entah ke mana angin akan membawanya pergi.
Sepanjang perjalanan Isaac melihat banyak warga berkerumun. Samar-samar terdengar, mereka membicarakan tentang pembangunan pabrik pengolahan anggur dan lahan sengketa. Isaac mengangkat topi saat melintasi mereka, beberapa orang mengangguk dan beberapa lagi ikut mengangkat topi.
Sepeda Isaac berbelok tajam menuju ruas jalan utama, melewati beberapa toko lain sebelum sampai ke toko bunga. Ada toko kelontong, toko roti milik bibi Joel, toko hasil olahan perternakan —keju, susu, dan daging— milik Noir, juga toko buah milik Bella.
"Stop!!" Bella menghentikan laju sepeda Isaac, tiba-tiba saja gadis tomboi dengan rambut keriting meloncat, melentangkan tangan lebar-lebar di tengah trotoar. Beruntung Isaac dengan sigap menekan tuas remnya. Sepeda terhenti tepat di depan Bella.
"Hei!" Protes Isaac sebal, tak bisakah gadis berambut kriting itu menghentikannya dengan cara biasa? Memanggil nama atau melambaikan tangan mungkin.
"Sorry, aku lupa namamu!" Bella mendekati Isaac yang masih terlihat masam.
"Namaku Isaac." Isaac menatap Bella heran, kenapa gadis berpakaian kemeja kotak-kotak itu mencarinya?
"Kau bukan warga desa inikan?" cerca Bella.
"Huum. Aku dari desa seberang." Isaac mengangguk. Membenarkan ucapan Bella.
"Kau benar-benar kurir pengantar barang?" tanya Bella.
"Kau tak lihat tulisan di belakang punggungku? Aku selalu memakai seragam ini!" Isaac memutar tubuh agar punggungnya terlihat, ada tulisan nama ekspedisi tempatnya bekerja.
"Kau pakai sepatu kulit yang mahal." Bella menunjuk sepatu Isaac. Isaac terlihat selalu memakai sepatu pantofel kulit berwarna coklat mengkilat.
"Oh, ini hadiah saat aku bekerja dengan baik bulan lalu. Menjadi pegawai teladan." Isaac selalu punya jawaban atas pertanyaan Bella.
"Oh, ya?!" Bella menyelidik. Isaac terdiam, menunggu pertanyaan Bella berikutnya.
"Lalu kenapa pria sepertimu mendekati Lily? Apa alasanmu?!" Bella berkacak pinggang, sementara tangannya yang lain menunjuk ke batang hidung Isaac, membuat pria itu refleks mencondongkan tubuh ke belakang.
"Memang aku pria seperti apa?" Isaac balik bertanya. Wajah Bella merona, Isaac pria yang tampan, bola matanya saja terlihat begitu mempesona.
"Ka—kau tampan dan ... dan ... normal!" gagap Bella.
"Apa hanya pria tidak normal yang boleh mendekati Lily?" Isaac mengelus dagunya pura-pura berpikir.
"Bu—bukan, bukan begitu maksudku." Bella kehabisan kata-kata, susah baginya menjelaskan isi hati. Bukan bermaksud mengucilkan atau memberikan label pada sosok Lily yang penuh kekurangan. Tapi bukankah benar, tak mungkin ada pria tanpan dengan kondisi tubuh prima yang mendekati gadis cacat seperti Lily? Kecuali dia ada maksud dan suatu tujuan lain. Bagi Bella ketulusan hanya ada di dalam dongeng pengantar tidur dan juga lagu-lagu romantis ciptaan para pujangga.
"Tak ada alasan khusus. Aku murni ingin mengenal Lily lebih dekat, berteman, menjadi sandaran," jawab Isaac apa adanya, sekejap Bella termenung, bisakah dia mempercayai pria ini?
"Bisa kau minggir? Aku harus menemui bungaku!" Isaac menyentikkan jemarinya di depan Bella.
Bella menggeser posisi, membuka jalan bagi Isaac. Isaac tersenyum dan mengangkat topinya.
"Awas kalau kau tega mempermainkan, Lily! Atau punya maksud buruk padanya. Aku bakar rumah dan sepedamu!" teriak Bella sarkastik.
"Iya ... iya!" Isaac melambai sambil tetap mengayuh sepedanya.
— Bahasa Bunga —