Lily terlihat sibuk dengan deretan bunga mawar di depannya. Tangannya meraba-raba, mencari tahu panjang tangkai, jumlah daun, dan mulai mengurutkan dari tangkai terpendek. Deretan mawar merah terlihat cantik dan begitu elegan. Kali ini mawar merah akan menjadi bunga utama, dihiasi dengan beberapa fresia dan sedikit lily sebagai second flowernya.
Dengan perlahan-lahan Lily menyusun buket bunga. Menyusun bunga-bunga dengan teknik terracing, meletakkan tangkai yang paling panjang di bagian bawah, lalu lebih pendek, dan terakhir yang paling pendek. Teknik ini mirip dengan tangga, berundak-undak. Lily meletakkan juga beberapa dahan daun meniran hijau juga kayu putih pada pinggiran buket. Warna hijau sedikit menetralkan warna merah pekat mawar, sehingga tidak terlalu jenuh saat memandangnya.
Lily mengikat pangkal buket bunga dengan spiral handtie, lalu meletakkannya di atas meja. Dengan hati-hati Lily mencari pita, kali ini warna merah dan silver. Pita merah yang lebar tertumpuk oleh pita silver yang lebih pipih lebarnya.
"OK, Jadi. Aku harap bunganya cantik, jadi kekasih Tuan itu akan merasa sangat bahagia saat menerimanya." Lily meraba perlahan buket bunga, memastikan bentuk dan susunan bunga sekali lagi.
Tak lama lonceng berbunyi, pintu terbuka. Seorang pria tinggi tegap dalam balutan jas mahal datang. Usianya tak lagi muda, mungkin berusia sekitar 40 tahunan, namun masih terlihat bugar. Ada cerutu kelas tinggi terselip di antara bibir tebalnya. Kumis terlihat rapi, melengking ke kanan dan kiri.
"Apa bunga pesananku sudah jadi?" tanyanya mengagetkan Lily.
Tubuh Lily bergetar saat mendengar suara pria. Ketakutan mulai muncul, namun Lily mencoba untuk tegar dan menyembunyikan hal itu. Bukankah saat ini Lily mulai terbiasa dengan kehadiran Isaac, sudah bisa membagi ruangan dengan seorang pria. Lily tak boleh takut, ia harus melawannya demi bertahan hidup, demi perjuangan Bibi Helen.
"Apakah Anda Tuan Frank? Bu .. bunga Anda ada di meja." Lily mendekat, menebak jalan dengan tongkat kayu.
"Kau buta?" tanya pria itu.
"Ha-hampir, Tuan." Lily menunduk, menyembunyikan kegelisahan. Juntaian gaun terus tercengkram dengan erat.
"Mana bunganya? Waktuku tidak banyak." Pria itu melirik arloji mahal, merk terkemuka.
Pria itu adalah Frank Gysor, seorang pengusaha yang memiliki perkebunan anggur. Frank rencananya akan membangun pabrik pengolahan anggur di desa ini. Menjadikan sari buah itu menjadi minuman beralkohol dengan harga fantastis. Kesukaan para bangsawan dan kalangan atas.
Kebetulan Frank punya kekasih gelap di desa ini, mereka akan berkencan sebentar lagi. Frank ingin memberikan bunga yang terbaik sebagai hadiah bagi wanita simpanannya itu.
"Ini, Tuan." Lily menyerahkan buket bunga, tangannya bergetar karena rasa takut. Ternyata sampai selama ini fobia Lily belum menghilang.
Dulu saat Helen masih menemani Lily, bibinya itulah yang selalu menyerahkan buket bunga pada pelanggan mereka, juga yang menilai apakah bunga yang dibuat Lily telah sempurna. Tanpa Helen Lily kehilangan pegangan hidup dan penjaga kualitas terbaiknya.
[Tegarlah, Lily, jangan kecewakan Bibi Helen.] pikir Lily. Sudah saatnya Lily belajar mengatasi ketakutan. Benar, Helen sudah tak ada di sisinya, tak ada lagi pelindung, tak ada lagi punggung untuk bersembunyi. Lily tak bisa terus menjalani hidup tanpa berjuang, terus bersembunyi hanya akan membuat kerja keras bibi Helen menjadi sia-sia.
Mata Frank menatap buket bunga dengan wajah mengeras lalu bergantian menatap Lily. Lily terlihat menajamkan telinga, berusaha mengetahui apa yang sedang terjadi.
"Apa ini?? Kau memberiku sampah!!" bentak pria itu.
Lily terperangah, membuat mata zambrut itu membulat sempurna, bahunya berjengit karena takut. Lily mundur beberapa langkah ke belakang, mulai menutup telinga.
"Kau berikan bunga busuk untukku!! Lihat ini!! Bunganya sudah banyak yang menghitam, layu!!" Frank lagi-lagi berteriak, ia memukulkan buket bunga buatan Lily ke atas meja. Kelopak bung rontok, berhamburan di udara. Buket itu rusak, hancur berantakan.
Lily mulai menangis, ketakutan kini melanda hatinya, merayap pelan dalam bentuk getaran hebat. Lily terus menggenggam erat tongkat, tanpa sadar ia menaikkan tongkatnya sebagai wujud pertahanan diri.
"Kenapa kau diam saja? Kenapa malah mengacungkan tongkat ke arahku??!!" Frank naik pitam, dia kira Lily malah berusaha menantangnya, padahal gadis itu sedang cemas saat ini, hanya ketakutan.
"Singkirkan ini!" Frank menepis tongkat Lily sampai tongkat itu terhempas. "Kalau buta jangan merangkai bunga!! Membedakan bunga segar dan layu saja tidak bias!!" seruan keras dilanjutkan dengan dengus panjang napas penuh amarah.
"Tidak!! Jangan!! Jangan mendekat!" Lily malah semakin berteriak histeris, membuat wajah Frank semakin tidak bersahabat.
"Kau gila?? Sudah buta, gila. Ya ampun sudah hilang akal rupanya orang yang mempekerjakanmu di sini. Orang bilang bunga di sini bagus, ternyata hanya rumor." Pria itu berkacak pinggang saat melihat Lily meringkuk di sudut ruangan.
"Tolong pergi!! Pergilah!!" Lily menatap nanar, ingin mengusir pria itu, tak tahan lagi mendengar suara keras yang lolos dari bibir Frank.
Lily mulai menjambak rambut, semakin Lily bergeleng takut, penampilannya terlihat semakin acak-acakan. Ditambah peluh dan air mata membuat wajah Lily semakin kacau.
"Kau mengusirku!! Wanita sialan! Kau merusak kencanku hari ini dan malah mengusirku? Harusnya aku yang meminta ganti rugi!" Frank mendekati Lily. Suara bentakan amarah memenuhi langit-langit ruangan.
Lily merangkak mundur, menjauh dari derap langkah pria arogan itu. Suara kakinya semakin mendekat, membuat Lily semakin ketakutan. Tubuh Lily bergetar hebat, ia terus mencengkram erat ujung gaun yang dikenakannya sampai kusut.
"Ternyata kau cantik juga," desis Frank saat berhasil mencekal dagu Lily, mengangkat wajahnya. "Sayangnya gila!"
"Lepaskan!!" Lily meronta, tanpa sengaja ia mencakar leher Frank cukup kuat. Cakaran Lily menimbulkan noda lecet. Frank mengusap leher, perih juga berdarah.
"Sialan!! Wanita gila!!" Frank mengayunkan lengannya hendak menampar Lily.
— BAHASA BUNGA —