Air menetes dari sudut keranjang rotan pada sepeda biru. Butiran-butiran air juga terlihat memenuhi permukaan rangka besinya. Butiran bening itu menggenang menjadi satu lalu luruh ke bawah, jatuh pada terotoar jalan. Hujan telah reda sejak setengah jam yang lalu. Menyisakan sinar matahari yang terlihat mulai berwarna jingga.
Hujan deras yang mengguyur desa telah berlangsung seharian. Membuat aktifitas warga terhenti. Banyak di antara mereka yang berprofesi sebagai peternak dan petani memilih untuk menghabiskan waktu di dalam rumah. Tak ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan di tengah hujan deras.
Lily mengerjapkan mata pelan, mencoba mencari keberadaan cahaya seredup apapun itu. Suara petikan bunga api dan rasa hangat membuatnya Lily tersadar kalau perapian menyala. Ada orang lain di sisinya.
"Siapa?" sergah Lily, suaranya parau dan bergetar, terdengar masih ketakutan.
"Ah, kau sudah bangun?" Isaac terkesiap dari tidurnya.
"I-Isaac?" Lily tercekat, bukankah dia sudah mengusir pria itu keluar tadi?
"Iya, ini aku, Ly. Ah, tidurku nyenyak sekali." Isaac merenggangkan lengannya yang kekar ke atas kepala. Dengan cepat pria itu menyahut kemeja, mengenakan kembali pakaian yang sudah kering. Kemeja itu sobek pada bagian lengan, terkoyak oleh pagar besi —saat Isaac memanjat tadi. Noda darah juga telah mengering, menimbulkan kerak kecoklatan.
"Bagaimana kau bisa masuk?" Lily menarik selimut, gadis itu kembali meringkuk di sudut ranjang. Lily kira bisa mendapatkan sedikit keamanan dari selimut itu.
"Dari belakang, aku memanjat pagar besi," jawab Isaac.
Isaac mendekati Lily, mencoba untuk menyelidik. Ingin tahu dengan luka-luka lecet hasil cakaran Lily atas tubuhnya sendiri.
"Jangan mendekat!! Jangan!" Lily menghardik Isaac, namun pria itu tak bergeming. Ia tetap menarik pergelangan tangan Lily, dengan mudah membuat gadis itu terduduk di atas ranjanga. Lily tak berkutik melawan tenaga Isaac, masih dengan getaran hebat Lily menurut.
"Ini harus diobati." Isaac mengelus luka-luka di sekitar lengan Lily, membuat gadis itu berjengit, wajahnya terlihat meringis menahan perih.
"Sakit?" tanya Isaac.
"Iya," lirih Lily, kepalanya mengangguk pelan.
"Apa di sini ada persediaan obat? Kotak P3K mungkin?" Isaac bangkit, mencari-cari kotak putih di sekeliling ruangan. Siapa tahu ada.
"A-ada di laci teratas dresser, ya ... yang kanan." Lily menunjuk dresser pakaian, telunjuknya terlihat bergetar.
"Oh, ketemu." Isaac terlihat gembira, dengan cepat ia menyahut kotak putih yang bersanding dengan kotak peralatan merajut itu.
Lily terdiam, mencoba menajamkan telinga karena tak bisa melihat apapun. Lily mencoba mengetahui keberadaan Isaac lewat suara derap langkah kaki. Tapi lagi-lagi Isaac membuat Lily berjengit kaget karena tangannya sudah berhasil kembali mencekal pergelangan tangan Lily.
"Tahan, ya, pasti sedikit perih." Isaac dengan lembut mengoleskan obat merah. Sesekali ia meniup luka Lily agar rasa perihnya berkurang. Dengan telaten Isaac membalurkan obat pada semua luka-luka itu.
"Hhiiss ...," desah Lily menahan perih.
"Pasti sakit sekali." Isaac mengelus punggung tangan Lily, ia terus menahan tangan Lily walaupun gadis itu berusaha untuk menariknya.
"Isaac, tolong lepaskan tanganku." Lily menunduk.
"Sakit?" Isaac mengangkat dagu Lily, menatap jauh ke dalam bola mata kehijauan itu dengan penuh kesedihan. Melihat Lily menderita membuat hatinya iba.
"Iya."
"Kalau sakit. Izinkan aku mengobatinya, Lily." Isaac meneteskan butiran kristal bening dari sudut matanya.
Lily terdiam, ia tak mengerti dengan perasaannya sendiri. Rasanya aneh, ada sesuatu yang menggelitik hati begitu mendengar penuturan dan tawaran manis Isaac. Rasa itu juga dipenuhi dengan tanda tanya. Sungguhkah Isaac benar-benar tulus saat mengatakan hal itu?
"Isaac. Ak—" Lily hendak menepis tawaran Isaac, tapi pria itu menyela ucapannya.
"Pasti yang di sini jauh lebih sakit." Isaac menunjuk bagian tengah dada Lily.
Jantung Lily bergemuruh detik itu juga, rasanya seperti akan meledak karena luapan perasaan. Mata Lily yang menerawang kosong terasa semakin buram. Tertutup oleh genangan air mata. Butiran kristal air menetes dari mata zambrutnya. Terus turun, mata, pipi, dagu sampai akhirnya menetes di atas punggung tangan Isaac.
"Aku akan mengobatinya, Lily. Aku akan membantumu melupakan rasa sakitnya." Isaac mengambil tangan Lily, mencium pergelangan tangannya. Aroma manis bunga tercium dari tangan pengerajin bunga itu.
"Tapi ini sangat menyakitkan. Rasa sakitnya terlalu besar. Terlalu dalam." Lily menarik tangannya.
Ucapan Isaac baginya hanyalah sebuah omong kosong, Isaac tak tahu kejadian apa yang telah menimpanya. Mana mungkin Isaac mau menerima seorang wanita korban pemerkosaan, yang bahkan telah cacat dan kehilangan segalanya.
"Maka bagilah denganku! Izinkan aku masuk dalam hidupmu, Lily." Isaac mengelus wajah Lily dengan ibu jari, menghapus air mata Lily.
"Isaac, aku tak mau berharap, aku takut terluka semakin dalam. Kau pasti akan membenciku bila tahu semua hal tentangku." Lily menepis tangan Isaac.
"Tidak! Berharaplah padaku, Lily, kumohon! Berharaplah padaku, bersandarlah padaku, aku akan membantumu bangkit." Isaac memeluk Lily.
Legang. Hanya gemerutuk api di perapian dan detak jantung keduanya terdengar saling bersahutan.
Lily tak mengerti kenapa Isaac begitu ingin membuatnya bahagia? Benarkan apa yang Bella katakan, bahwa Isaac punya perasaan terhadapnya?
Perasaan apa itu? Cinta? Atau hanya sekedar rasa kasihan? Iba pada gadis buta sebatang kara seperti dirinya.
— Bahasa Bunga —