Chereads / BAHASA BUNGA / Chapter 4 - DAISY III

Chapter 4 - DAISY III

Sore itu angin berhembus cukup kencang, menyapu bunga-bunga, menyebarkan serbuk sarinya ke udara. Musim semi punya caranya sendiri untuk menyelaraskan alam. Dahan pohon cemara ikut bergoyang, burung-burung memilih diam di dalam sarangnya karena udara dingin. Suhu udara saat musim semi berkisar 9-12 derajat selsius dan hanya naik sampai ke 17 derajat pada siang hari. Banyak orang terlihat menyibukkan diri untuk mengusir hawa dingin.

Lily juga tak mau tertinggal, ia sibuk menyiram semua bunga di kebun belakang dan juga di dalam rumah kaca. Air siraman juga sudah sengaja ia campur dengan beberapa jenis pupuk buatan. Dengan takaran yang dia kira-kira sendiri, Lily terbiasa meraba, menimbang, dan mengendus karena kebutaan. Pupuk digunakan untuk menyuburkan tanah, membuat bunga semakin cepat mekar, lalu warna bunga juga akan terlihat semakin pekat dan indah.

Lily menyiram bunga-bunga sambil bersenandung riang. Menyayikan sebuah lagu pengantar tidur untuk anak-anak. Lily seakan merawat bunga-bunga cantik itu bak anak sendiri. Berbagai macam bunga menghiasi kebun belakang, yang paling menonjol adalah bunga mawar, merajai hampir setengah luas kebun bunga karena varietas jenis warnanya yang sangat beragam.

Lily bersenandung. Sudah lama perasaannya tidak secerah ini. Semenjak satu bulan pasca kepergian Helen, kesunyian memang membuat Lily sedih, jadi Lily sengaja mengisi hari-hari dengan berbagai macam kegiatan agar moodnya membaik.

"Lily, ada surat untukmu." Tiba-tiba suara Bella menghentikan senandung indah Lily.

"Ah, iya," jawab Lily dari dalam. Lily bergegas menaruh gembor, mengelap tangan pada apron, dan mencari-cari keberadaan tongkatnya. 

"Dari Bibi Helen." Bella membuka surat itu di depan Lily. Wajah gadis itu terlihat sumringah. Dengan cepat Lily menyibakkan anak rambut kebelakang telinga, mempertajam indra pendengaran.

"Dear, Lily. Kak Rose sudah melahirkan, dua minggu lebih cepat dari pada perkiraan dokter. Anaknya laki-laki, sehat dan gemuk." Bella membacakan surat untuk Lily karena Lily tidak bisa membaca.

*********

Dear, Lily. 

Kak Rose sudah melahirkan, dua minggu lebih cepat dari pada perkiraan dokter. Anaknya laki-laki, sehat dan gemuk. Tangisannya sangat keras, kami tidak tidur tiap malam karena ia terus menangis meminta ASI.

Kami memberinya nama Raft, seperti nama kakeknya. Dia sangat tampan Lily. Kami harap kau juga bisa berjumpa dengannya. Lupakan trauma dan masa lalu pahit itu pelan-pelan, Sayang, lalu kembalilah ke kota. Jangan terus mengasihani dirimu, dan juga menyalahkan dirimu, semua yang terjadi bukanlah salahmu, Lily.

Oh, iya, kabar Bibi baik, sehat, seluruh keluarga pun sehat. Dan Bibi harap kau juga sehat. Jangan memaksa diri bekerja terus, Lily. Nikmati hidupmu juga. Kau berhak menjalani hidup dengan berbahagia. Jalanmu masih panjang, Nak. Jangan hidup dalam ketakutan, lawan ketakutanmu dengan rasa syukur dan buka hatimu untuk sebuah cinta.

Sekian surat dari Bibi, jaga diri baik-baik. Hubungi Bella atau Noir bila kau butuh sesuatu. 

Ingat!! Berbahagialah!

Salam manis,

Helen.

*********

"Ah, terimakasih, Bella." Lily tersenyum setelah Bella selesai membaca surat. Lily menaruh lembaran kertas surat itu di atas dada.

"Sama-sama, Lily. Hubungi aku bila kau butuh sesuatu, aku akan dengan senang hati membantumu." Bella menepuk pundak Lily.

"Iya." Angguk Lily mantap.

"Dan Bibi Helen benar, harusnya kau mulai menjalani hidup. Buka hatimu lagi, Lily. Tidak semua pria di dunia itu sama berengseknya dengan pria itu." Bella menepuk pundak Lily.

"A—aku ...." Lily tak bisa menjawabnya.

Kling cling kling ...

Bunyi lembut lonceng —saat pintu kayu terbuka— menyela obrolan mereka, Isaac —kurir yang dulu mengantar buket bunga lili— masuk ke dalam.

"Hei, Ly. Akhir-akhir ini pria itu sering sekali kemari." Bella berbisik di telinga Lily. Mereka bertetangga, —walaupun sebenarnya jarak antar toko pada jalanan itu cukup lebar— jadi tentu saja Bella tahu karena Isaac selalu mengayuh sepeda melewati toko buah milik Bella sebelum sampai ke toko bunga Lily.

"Dia kurir, namanya Isaac, dia selalu kemari untuk mengambil bunga pesanan pelanggan." Lily menjawab Bella, memang benar selama dua minggu penuh Isaac tak pernah absen. Setiap hari ia selalu datang untuk menjemput buket bunga buatan Lily. Lalu mengantarkannya pada pelanggan.

"Serius? Setampan itu hanya kurir pengantar barang?" Bella mendelik, melihat tampang Isaac yang bersih dan tampan hampir-hampir membuat Bella tak percaya. Setidaknya dengan postur tubuhnya yang tegap, kekar, dan tinggi, Isaac bisa saja menjadi seorang model fashion internasional.

"Sstt ... jangan keras-keras, Bell. Nanti dia dengar." Lily memperingati sahabatnya, takut kasak kusuk mereka sampai pada telinga pemuda tampan itu.

"Wah, sayang sekali. Dengan wajah dan tubuh seperti itu, masa depannya harusnya bisa lebih cerah dari pada sekedar kurir pengantar barang." Angguk Bella sambil mengamati Isaac dari atas ke bawah. Menilai tiap jengkal tubuh kokohnya yang berbalut kemeja katun dan rompi seragam ekspedisi tempat ia bekerja.

"Jangan begitu, pekerjaan kurir juga baik selama ia bekerja dengan sungguh-sungguh." Lily berjalan perlahan menuju ke rak pajang.

"Hari ini bunga aster kuning dan baby breath, ya?" Isaac mencoba memulai obrolan ringan dengan Lily begitu ia sampai di hadapannya. Gadis itu datang sambil menyerahkan buket bunga model round. Sesuai namanya buket jenis ini sederhana, hanya tersusun secara melingkar, membentuk bola. Jenis buket ini cocok dipakai untuk acara apapun.

"Ka—kau tahu ... jenis bunganya?" Lily tergagap, ia masih takut dan belum terbiasa dengan sapaan seorang pria. Bella hanya bergeleng melihat tubuh Lily yang bergetar hanya karena sapaan ringan Isaac yang bahkan tidak ada penekanan intonasi apa pun.

"Tentu saja, setiap hari mengantar bunga membuatku bisa menghapal nama-nama bunga secara tidak langsung." Isaac tersenyum, ia menerima buket bunga dari tangan Lily. Jemari keduanya tak sengaja bergesekkan, dengan segera Lily menarik tangan, wajahnya memucat.

"Maaf," lirih Isaac.

"Ti—tidak, ak—"

"Lily hanya lelah. Kemarilah, Lily," sela Bella, ia menyelamatkan Lily dari pandangan heran Isaac. Dua minggu bertemu dengan Lily, Isaac masih belum terbiasa dengan respon Lily yang berlebihan. Gadis itu terlalu takut, bahkan untuk sekedar mendengar suaranya.

"Tolong antarkan bunga itu baik-baik," pinta Lily seperti biasanya.

"Tentu saja." Isaac mengangguk, ia mengangkat topi flat cap motif monocrom coklat sebelum pergi.

Kepergian Isaac menyisakan bunyi lonceng. Lily menghela napas lega. Sudah tak ada lagi pria di dekatnya. Bella bersedekap tangan di depan dada, menatap Lily lekat. Ia tahu masa lalu Lily itu menyesakkan, menyedihkan. Tapi tak selamanya Lily harus hidup dalam bayang-bayang gelap itu. Sudah saatnya Lily melangkah, mencari seberkas cahaya kebahagiaan dalam hidupnya. 

Mau sampai kapan menderita?

Mau sampai kapan menjalani hidup dengan penuh luka?

Move on!!

Pasti masih banyak pria di luar sana yang mau menerima kekurangan dan masa lalunya. Menerima kondisinya saat ini dengan tulus.

"Sepertinya Isaac pria yang baik." Bella menegur Lily. Lily spontan menoleh ke arah sumber suara Bella. "Kenapa kalian tak saling mengenal?" lanjut Bella.

"A—apa maksudmu, Bell?" Lily menyeringai kaku.

"Bibi Helen benar, Ly. Sudah saatnya mencari kebahagiaan. Buka hatimu, sepertinya Isaac tertarik padamu," tutur Bella. Wanita bergaya tomboi itu menyentil pelan dahi Lily.

"Dari mana kau tahu?" Lily menatap jeri, ia langsung bergidik saat mendengar penuturan Bella tentang tebakannya akan perasaan Isaac.

"Aku tahu dari caranya memandangmu, Ly. Sorot mata tak akan pernah berbohong." Bella membantu Lily duduk.

"Jangan ngaco, Bell." Lily menunduk, urusan perasaan memang selalu saja membuat Lily merasa minder.

"Ayolah, buka hatimu! Jangan lagi bersembunyi dalam bayangan masa lalu." Bella duduk di samping Lily, ia mengelus lengan sahabatnya lembut.

"Jangankan untuk membuka hati, untuk berbicara dengan pria saja aku tidak bisa." Lily menepis wejangan sahabatnya. Traumanya terlalu mendalam, membuat Lily mengunci rapat-rapat hatinya dari hal rumit bernama perasaan.

"Jangan sergah ucapanku, Ly. Tiap manusia butuh cinta, butuh kasih sayang agar bisa merasakan kebahagiaan. Tak luput dirimu!" Bella menunjuk dada Lily sementara tangan yang lain berkacak pinggang.

"Bell—"

"Ssstt ... kau tak akan bahagia tanpa cinta, Ly! Ingat nasehat Bibi Helen! Berbahagialah!!" tandas Bella.

"Tapi aku ... aku ... aku kotor, aku cacat, dan aku menyedihkan." Lily tertunduk, malu. Air mata mulai merembes turun, membasahi wajah cantiknya. Siapa pria yang mau menerima gadis yang telah kehilangan kesucian dan juga hampir buta seperti Lily? 

"Jangan hakimi dirimu sendiri, Lily! Kau gadis yang cantik, baik, dan juga lembut. Bila aku pria, aku tak akan berpikir dua kali untuk menikahimu." Bella menasehati Lily lagi. Lily hanya terdiam, sejenak kemudian gadis itu terisak lebih kencang.

"Cobalah, Ly. Cobalah! Buka hatimu, sedikit saja. Izinkan seseorang membagi kasih denganmu." Bella memeluk tubuh Lily yang masih gemetaran karena isak tangis.

"Aku takut, Bell." Lily menangis dalam pelukan Bella. 

"Pelan-pelan, Lily. Pelan-pelan saja."

— Bahasa Bunga —