Chereads / BAHASA BUNGA / Chapter 6 - IRIS II

Chapter 6 - IRIS II

Sepeda Isaac kembali menyelusuri trotoar, warna balok paving yang dilewatinya terlihat lebih gelap karena terbasuh oleh air hujan. Hujan gerimis masih terus mengguyur desa, tidak deras, butirannya kecil dan lembut, tapi awet sekali. Sudah dari subuh hujan turun dan tak kunjung menunjukan tanda-tanda kapan akan berhenti.

Kring cling kling ...

Bunyi lembut lonceng tembaga menyambut kedatangan Isaac di Helena Florist. Isaac sudah hapal betul dengan bunyi merdu itu. Lily terlihat sedang membungkuk, memetik bunga iris ungu yang baru saja mekar kemarin. Lily akan membuat buket bunga model nosegay. Bunga iris sangat cocok untuk buket yang menonjolkan penggunaan banyak daun itu karena tangkai dan daunnya panjang.

"Hallo," sapa Isaac.

Tubuh ramping Lily berjengit saat mendengar suara sapaan Isaac.

"Ha—hallo, be ... belum ada pesanan bunga," gagap Lily, wajahnya pucat. 

Hanya mendengar suara Isaac saja Lily masih begitu ketakutan, padahal sudah hampir dua minggu Lily mengenal pemuda itu. Isaac tersenyum hangat melihat kekikukan Lily, justru Isaac yang mulai terbiasa melihatnya. Lily selalu takut, minder, tak percaya diri menghadapi orang yang tidak dikenal terutama yang berjenis kelamin PRIA.

"Aku kemari untuk berteduh, di luar gerimis." Isaac memberi kode pada Lily dengan tunjukan jempol. Lily yang tidak bisa melihat mulai menajamkan telinga, mencari tahu kebenaran alasan Isaac.

"Ah, kau benar, gerimis." Lily mengangguk, bunyi gemericik air terdengar samar dari luar.

"Boleh aku berteduh di sini?" tanya Isaac.

"Bo—boleh." Tak ada alasan bagi Lily untuk mengusir Isaac, lagi pula jahat sekali membiarkan pemuda itu masuk angin karena kehujanan.

"Thanks." Isaac melepaskan topi flat cap dan juga membuka jaket dari kulit berwarna coklat tua. Jaket itu terlihat lembab karena air hujan. 

Isaac menggantung jaket dan topi pada tiang kayu di dekat pintu masuk. Hanger berbentuk tiang itu memang biasa digunakan oleh para tamu untuk menggantung payung, topi, atau mantel mereka. 

Isaac terlihat nyaman dengan kemeja putih lengan panjang dan celana kain hitam, sepatu kulit coklat melengkapi penampilannya hari ini. Isaac berjalan pelan-pelan mendekati Lily, tak ingin membuat gadis itu takut.

"Kau sudah sarapan? Aku membawa begel yang masih hangat, ingin memakannya dengan madu. Sayang sekali, Bibi Joel tak punya madu. Apa kau punya, Ly?" Isaac mendapat alasan bagus untuk mengajak Lily bicara. Madu, ya, madu adalah topping kesukaan Lily.

"I-iya, aku punya." Lily mundur ke belakang, menghindari Isaac.

"Boleh aku minta? Kita bisa makan bersama." Isaac menunjukkan kantong kertas coklat berisi pastry. Isaac tahu percuma kerena gadis itu buta, tapi tetap saja Isaac menunjukkan kantong itu kepada Lily.

"Em ...." Lily bingung, tidak tahu harus menjawab apa. Tubuhnya masih bergetar dengan hebat. Takut pada Isaac.

"Baunya enak sekali, Ly. Apa kau yakin tidak mau makan bersamaku?" Isaac membuka kantong, bau roti yang kental dengan aroma vanilla yang manis dan mentega yang gurih membuat Lily menelan ludah.

"Gerimis, roti, dan teh. Bukankah itu kombinasi yang luar biasa?" Isaac mendekati Lily, tanpa sadar tubuh jangkungnya sudah berada tepat di depan Lily.  

Lily mencoba menghindar, namun ia justru menabrak tubuh kokoh Isaac dan hampir terjatuh. Beruntung Isaac bisa menangkapnya. Kini keduanya berada dekat sekali, Lily bisa mendengar degupan jantung Isaac. Juga bisa mencium aroma parfum woody yang hangat dari balik kemeja katun yang menempel pada tubuh Isaac.

"Kau tidak apa-apa?" Isaac menahan lengan Lily agar gadis itu tidak terjatuh.

"A ... aku akan membuat tehnya." Lily bergegas menarik diri dari pelukan Isaac. Melangkah cepat dengan langkah gontai. Membuat gadis itu beberapa kali menabrak pot bunga. Isaac tertawa kecil melihat tingkah kikuk Lily. Baginya itu menggemaskan.

Selagi Lily menyiapkan teh, Isaac mengamati interior toko bunga. Semua dinding terbuat dari kaca tebal dengan frame kayu. Tinggi dinding batanya hanya sepertiga dari tinggi dinding keseluruhan. Warna cet di dominasi oleh warna putih. Separuh atapnya juga adalah kaca, Isaac menengadah, melihat butiran air hujan yang turun membasahi atap kaca, menahan sinar matahari masuk.

Raft —suami Helen— memang sengaja membuat bangunan toko bunga dengan material kaca agar mempermudah sinar matahari masuk. Panasnya sinar matahari di dalam toko bisa membuat bunga yang tidak bertahan dimusim gugur atau dingin bisa tetap bertahan lebih lama. Mirip efek rumah kaca pada pertanian.

Selain beberapa pot berisi bunga-bunga segar, masih ada beberapa jenis tanaman hias lain, tapi tidak banyak. Ada meja kasir, lemari penyimpanan, dan beberapa lemari pajang pada sisi sebelah kanan ruangan —yang atapnya tertutup genteng, bukan kaca.

Setelah toko. Pada sisi yang lebih dalam ada pot-pot besar yang tertata dengan rapi.

Bunga-bunga dibudidayakan di tempat ini. Kebun bunga dikelilingi oleh dinding bata tinggi dan tidak memilik atap, terbuka. Terkena sinar matahari secara langsung. Di tengah-tengahnya ada keran pipa panjang yang terhubung dengan mata air desa. Bunga akan selalu mendapatkan air meski musim panas sekali pun. Pipa-pipa melintang di atas punya lubang-lubang kecil. Saat keran menyala air akan menyiram bunga secara otomatis, membuat ruangan itu seakan sedang hujan.

Isaac mengangguk kagum, ternyata toko bunga ini sangat indah dan nyaman. Aroma wangi bunga selalu tercium setiap hari, bunyi gemericik air juga terdengar menenangkan hati. Ditambah udara sejuk desa di kaki pegunungan. Tak heran Lily cepat pulih dalam kondisi lingkungan yang nyaman seperti ini.

"Apa yang bisa ku bantu?" teriak Isaac dari toko.

"Tidak ada," jawab Lily tak kalah kencang. Isaac mengangguk pelan, lalu kembali berkeliling toko. Mengusap debu di meja dan rak-rak lemari dengan ujung jari telunjuk.

"Tehnya sudah jadi." Lily keluar dengan nampan berisi dua cangkir teh mawar, madu, dan dua piring kecil untuk begel.

"Aku bantu!" Isaac bergegas mengambil alih nampan dari tangan Lily lalu menaruhnya di atas meja.

"Terimakasih." 

"Harusnya aku yang berterimakasih, Lily. Kau memberikan teh dan juga madu." Isaac menarik keluar kursi, mempersilahkan Lily untuk duduk di hadapannya. Semula Lily ragu, namun akhirnya melangkah juga.

Sepintas Lily mengingat ucapan Bella, tak ada salahnya berkenalan dengan Isaac. Pemuda itu terlihat baik dan juga sopan, sudah pasti dia bukan orang jahat. Lily hanya perlu duduk, membuka diri, lalu membiarkan kebahagian kecil masuk ke dalam hidupannya.

"Teh mawar?" Isaac tercengang saat mendapati ada beberapa kelopak bunga mawar dalam cangkir tehnya.

"Iya, aku yang membuatnya sendiri. Ada beberapa jenis mawar yang bisa dikomsumsi." Lily menunduk, jemarinya terus bercengkraman erat, menyembunyikan emosi dan ketakutan.

"Aromanya sangat manis. Aku akan mencicipinya." Isaac menghirup aroma teh sebelum menyesap bibir cangkir. 

"Ba—bagaimana?" Lily menanti respon Isaac dengan tegang. Seperti menunggu hasil ujian kelulusan diumumkan.

"Ini ... enak sekali, Lily!" Wajah Isaac berseri bahagia, rasa teh yang sedikit sepat, bercampur dengan aroma manis dari bunga mawar. Sungguh kombinasi yang tidak biasa, namun sangat nikmat. Uap air panas membuat aroma mawar semakin menggelitik hidung Isaac, membuat perasaannya ikut nyaman.

"Kau memang jenius!" Isaac memuji Lily, wajah gadis itu menghangat, rona kemerahan memenuhi garis tulang pipinya.

"Sudah banyak yang memakai mawar sebagai perasa makanan, Isaac. Bahkan ada yang memakainya untuk membuat sirup." Lily meraba-raba meja, mencari garpu. Isaac segera mendekatkan garpu ke samping tangan Lily.

"Benarkah? Aku belum pernah mencicipi sirup rasa mawar." Isaac terlihat antusias dengan obrolan mereka.

"Aku bisa membuatnya untukmu." Lily tanpa sengaja tersenyum, senyuman yang manis.

"Kau baru saja tersenyum? Aku kira aku tak akan pernah melihat senyum manismu, kau selalu ketakutan dan wajahmu memucat saat aku datang," tutur Isaac, pemuda itu masih mengamati lekat-lekat senyuman Lily sambil menyangga dagu dengan punggung tangan. Isaac menatap Lily dengan binar mata penuh kekaguman, Lily adalah gadis yang sangat cantik saat tersenyum.

Lily terdiam, wajahnya pasti sangat merah. Suasana kembali hening. Isaac pun tak bersuara, lebih memilih untuk menikmati wajah cantik Lily. Tempias air hujan karena gerimis terdengar bergemericik pelan saat jatuh di pekarangan. Mengusir kesunyian.

"Kenapa kau baik padaku, Isaac?" tanya Lily menyelidik.

— BAHASA BUNGA —