IRIS
Lambang kesetiaan, iman, kebijaksanaan, dan keaggungan
******
Gerimis kecil mengiringi perjalanan Isaac pagi ini. Roda sepeda yang dikayuhnya terus berputar melintasi jalanan kecil berpaving. Sesekali mencipratkan lumpur akibat genangan air yang beradu dengan kecepatan roda.
Isaac terlihat santai, mengayuh sepeda sambil bersiul melewati jembatan kayu dan juga trotoar jalan. Sepeda jengki berwarna biru itu sesekali berdencit saat melewati lubang jalan. Keranjang rotan di bagian depan dan tempat duduk tambahan di bagian belakang ikut bergoncang, menumbulkan suara dencitan pelan.
Isaac sampai pada jalan utama desa, beberapa pertokoan dua lantai berjajar rapi. Dinding toko-toko itu berwarna warni, unik. Semua menjual segala keperluan desa. Mulai dari bahan makanan mentah —hasil kebun dan ternak—, kedai kopi, sampai toko pakaian dan alat tulis. Kehidupan sederhana di desa terlihat mulai menyala, papan-papan tanda buka telah di putar, tanda transaksi sudah bisa dimulai.
Walaupun jalanan sepi karena hujan, namun beberapa orang terlihat mulai berlalu lalang pada trotoar. Mereka membeli bahan makanan maupun mampir ke kedai-kedai kopi untuk menikmati secangkir penambah semangat sebelum memulai hari. Beberapa lansia sarapan dengan bubur putih, di depan mereka ada sebilah papan catur, game asah otak itu nyatanya memang ampuh untuk membunuh waktu.
Aroma wangi roti panggang, bubur gandum, dan kopi tercium sepanjang jalan. Hawa dingin dan gerimis kecil membuat perut Isaac kembali berbunyi, padahal tadi pagi dia tak melewatkan roti lapis dan segelas susu tawar, sebagai menu sarapannya.
Pria itu akhirnya memutuskan untuk berhenti membeli sebuah bagel —roti padat berbentuk cincin— yang baru saja keluar dari oven terlebih dahulu. Isaac turun dari sepeda. Setelah melepaskan topi, Isaac masuk ke dalam toko roti milik si tua Joel. Ia memesan roti padat mirip donat itu dan juga secangkir kopi hitam. Teksurnya yang garing di luar serta lembut dan kenyal di dalam membuat roti ini cocok bersanding dengan kopi hitam di pagi hari.
"Bibi, berikan aku sebuah begel dan secangkir kopi." Isaac tak sabar mencicipi roti. Bau mentega sudah membuat air liurnya menetes —tentu saja ini hanya kiasan.
"Ekstra susu untuk kopinya?" tawar Bibi Joel, tangannya membawa cangkir dengan lapisan enamel dan teko berisi susu hangat.
"Tidak, aku rasa tanpa susu lebih baik."
"Pilihan tepat, Nak. Kopi hitam lebih baik untuk memulai hari." Paman Joel terkikih dari dalam ruangan, lelaki tua itu sibuk mengolah adonan pastry.
Toko roti milik Paman dan Bibi Joel hanya berjarak beberapa kavling saja dari toko bunga Lily. Hanya pasangan lansia itu yang menghuni tokonya, mereka biasa melayani sendiri pembeli, tanpa pegawai. Orang-orang tua jaman dahulu memang selalu bekerja lebih keras dibanding anak muda jaman sekarang.
Seluruh ruangan bercat warna warni pastel, beberapa furniture meja kursi kayu tertata rapi. Lengkap dengan taplak meja kotak-kotak berwarna pink dan satu pot kecil tanaman hias pada tiap meja sebagai assesoris pemercantik.
Isaac memilih duduk di dekat jendela, menikmati sarapan keduanya ini sambil menatap hujan gerimis. Menenggak perlahan kopi panas dari cangkir enamel berwarna beige, lalu mengigit roti begel. Kombinasi pahit dan manis yang nikmat.
Apa lagi alasan yang harus aku buat untuk menemuinya? lamun Isaac, selain mengantarkan bunga pesanan pelanggan, Isaac sama sekali tak punya celah atau pun alasan untuk berlama-lama di dekat Lily. Padahal setelah sekian lama gadis itu mulai membuka diri, mau berbicara sedikit kepadanya.
Isaac menatap jendela, anak-anak kecil terlihat bermain riang di bawah guyuran geremis. Hawa dingin tak menyurutkan niat mereka untuk berbasah-basahan. Sesekali mereka meloncat ke dalam kubangan di tengah jalan. Berusaha saling mencipratkan air kotor ke teman-temannya yang lain.
Setelah menikmati kopinya sesaat, Isaac kembali bangkit. Sepertinya Isaac sudah menemukan ide brilian sebagai alasan untuk menemui Lily.
"Bungkuskan aku dua begel lagi, Bi. Rasanya sangat enak, aku ingin membaginya dengan seorang teman." Isaac tersenyum, ia menunjuk roti hangat yang terjajar rapi di balik etalase kaca.
"Mau gula bubuk atau sirup maple?" tanya Bibi Joel, wanita berkerudung penjual berbagai macam pastry itu sudah memasukan dua roti ke dalam kertas pembungkus.
"A-apa yang disukai oleh Lily?" Isaac memberanikan diri bertanya kesukaan Lily dari tetangganya ini. Wajah Isaac terlihat merona.
"Lily? Gadis penjual bunga?" Bibi Joel terkesiap. Tak pernah ada pria yang berani mendekati Lily, walaupun cantik, Lily sedikit gila, dan itu membuat banyak pria mengurungkan niat mereka untuk mengenal Lily.
"Iya." Angguk Isaac.
"Madu, Lily suka madu. Tapi aku tidak punya madu saat ini, Nak." Senyum Bibi Joel ramah.
"Justru itu lebih bagus. Berikan saja polos tanpa topping, Bi." Isaac merogoh kantong celana, ia mengeluarkan selembar uang. Pecahan terbesar saat ini.
"Apa tak ada uang kecil saja, Nak?" tanya Bibi Joel. Toko roti baru saja buka, Isaac adalah pelanggan pertama, tentu saja belum ada uang kecil untuk kembalian.
"Ambil saja kembaliannya, Bi!"
"Tapi ini terlalu banyak!" sergah Bibi Joel. Roti itu hanya seharga seperempat dari nilai uang yang disodorkan Isaac.
"Tak apa, anggap saja tips karena telah berbagi rahasia." Isaac tersenyum, ia meletakkan kantong belanjaan pada keranjang rotan di depan sepeda. Dengan senyuman hangat pria itu melambai ke Bibi Joel dan mengayuh sepeda.
"Pria yang aneh, tapi dia sangat tampan. Ah, andai saja aku tiga puluh tahun lebih muda." Bibi Joel terkikih, namun dari belakang tiba-tiba suaminya berdehem keras. Heran dengan tingkah genit istrinya —padahal sudah lanjut usia. Yah, tapi mau bagaimana lagi, mengaggumi ciptaan Tuhan memang tidak perlu memandang usia, bukan?
— Bahasa Bunga —