Hampir tiga minggu telah berlalu sejak Helen meninggalkan desa dan kembali ke kota. Lily teringat saat ia mengantar bibinya sampai ke stasiun terdekat kala itu. Mendengarkan wejangan-wejangan panjang dari bibir bibinya sekali lagi sebelum wanita tua itu pergi. Lily menahan tangisan, air matanya tak boleh tertumpah. Helen tak punya pilihan selain meninggalkan Lily, bagaimana pun dia juga punya keluarga dengan ikatan darah yang lebih kental.
Lily mendesahkan napasnya panjang, sepi sekali toko hari ini. Biasanya Lily akan bercakap-cakap dengan wanita tua itu sembari merangkai buket bunga pesanan pelanggan. Kini hanya ada suara ciutan burung dan suara lembut lonceng angin saat komponennya saling beradu. Memang sudah dua minggu belakangan tidak ada orderan masuk. Semenjak Helen meninggalkan toko bunga, pelanggan juga seakan ikut menghilang.
Kring ...!
Telepon hitam di sudut meja kasir berbunyi. Memecah keheningan. Lily tersentak, bahunya berjengit kaget. Lily meraba-raba permukaan meja kayu untuk meraih pegangan telepon.
"Halo, Helena Florist, ada yang bisa saya bantu?" sapa Lily seperti biasa.
.... Orang di seberang panggilan terdiam.
"Halo, ada yang bisa saya bantu?" ulang Lily lagi.
Tut ... tut ... — sambungan telepon terputus.
Lily mengangkat bahunya bingung. Berusaha acuh, mungkin hanya orang iseng. Lily kembali memotong dedaunan pada tangkai bunga mawar, hal ini ia lakukan agar bunga segar itu bisa bertahan lebih lama. Tidak semua daun bisa dipakai. Terlalu banyak dedaunan akan membuat air menguap lebih cepat. Lagi pula bila terendam air, daun akan membusuk dan bisa saja menular pada kelopak bunga. Membuatnya cepat layu.
Kring ...!
Lagi-lagi pesawat telepon berdering. Lily meraba lagi permukaan meja. Mengangkat pegangannya.
"Halo, Helena Florist, ada yang bisa saya bantu?" Lily mengucapkan sapaan khas milik took bunga.
.... Lagi-lagi hanya keheningan yang diterima oleh Lily. Gadis berambut panjang itu mulai sebal menunggu jawaban. Dengan sedikit ketus Lily mengulang ucapannya, "halo, ada yang bisa saya bantu?!"
Tut ... tut ... — sambungan telepon terputus.
[Menyebalkan sekali?! Siapa yang iseng bermain dengan telepon?] gerutu Lily dalam hati.
Kring ...!
Pesawat telepon hitam dengan model rotary dial itu kembali berbunyi. Lily berdecak sebal, cukup dua kali ia menanggapi telepon iseng. Tidak untuk ke tiga kalinya.
"Ah, malas." Lily menutup telinga, namun deringan telepon tak kunjung berhenti. gadis itu mulai risi, akhirnya ia tetap mengangkat gagang telepon.
"Hallo!!" bentak Lily sedikit keras.
"Hallo, ya ampun, Lily, kenapa lama sekali mengangkat teleponnya? Aku kira kau tutup hari ini!" cerca seorang wanita, suaranya begitu melengking karena panik.
"Bibi Sari? 'Duh, maaf, Lily kira orang iseng. Dari tadi telepon terus berdering tanpa ada suara jawaban." Lily menjelaskan alasannya.
"Wah, dasar, apa dia tidak tahu betapa mahalnya tarif telepon di desa?!"
"Entahlah. Oh, ya, ada apa Bibi menelefonku? Apa Bibi butuh bunga?" tanya Lily antusias. Sari adalah seorang penata rias —sekaligus teman Helen. Sudah beberapa kali ia memesan bunga untuk calon pengantin yang diriasnya.
"Ah, iya, Lily, bisa kau tolong buatkan buket bunga untuk pernikahan? Buket bunga pengantin saat ini layu, kelopaknya berubah coklat. Huft ... jelek sekali." Sari melengguh kesal.
"Wah gawat. Mereka pasti panik." Lily menutup mulutnya.
"Benar, bisa kau buatkan yang cantik dan indah? Tak apa sederhana, kita kehabisan waktu, Ly. Satu jam lagi pestanya dimulai."
"E ... mepet sekali."
"Bagaimana, Ly? Apa kau bisa? Tolonglah kami, hanya kau satu-satunya harapan kami."
"Em ... baiklah! Lily akan buatkan buket bunga yang baru." Lily mengangguk mantap, yakin bisa membuatnya diwaktu sesingkat itu.
"Bagus!! Aku akan mengirim kurir untuk mengambilnya."
"Baik, Bi."
"Terima kasih, Lily, aku tak tahu bagaimana nasib mereka tanpamu. Hari ini adalah hari yang besar bagi mereka, sudah pasti bunga yang layu akan merusak suasananya."
"Sama-sama, Bi. Lily juga senang bisa membantu mereka."
"Baiklah, Bibi masih harus bekerja. Kurirnya datang sebentar lagi, Ly."
"Baik, Bi." Lily menutup sambungan telepon.
Lily bangkit dari kursinya, memegang tongkat, meraba-raba jalanan. Lily berjalan perlahan menuju ke teras depan. Di depan ada banyak ember-ember besar alumunium dengan berbagai macam bunga segar yang baru saja dipetik pagi ini. Pelanggan bebas memilih bunga apa yang ingin mereka beli. Lily mematok seluruh bunga dengan harga yang sama, 5 sen untuk setiap tangkai.
Para pelanggan yang terdiri dari para penduduk desa sudah tahu cara membeli. Mereka memasukkan koin pada kotak kaca di depan pagar kayu setelah memilih bunga yang mereka inginkan. Lily menjual dagangannya hanya berlandaskan kepercayaan. Kebutaan membuat pergerakan tubuh Lily terbatas, gadis itu pasti akan sangat kerepotan bila ia harus keluar masuk toko tiap kali ada pelanggan.
"Pagi, Lily," sapa Bella, tetangga yang menjual buah-buahan segar. Bella baru selesai menata dagangan menyempatkan diri menengok Lily.
"Pagi, Bella. Kau mau bunga apa hari ini? Aku akan memberikan gratis padamu." Lily tersenyum, Bella adalah teman pertamanya setelah tiba di desa.
"Coba kau pilihkan untukku, Ly."
"Bagaimana kalau aster kuning? Lambang persahabatan. Aku harap kau bahagia dan penuh semangat hari ini." Lily menghirup bebauan bunga, mencari bunga aster. Lily mendekatkan wajah, jarak bunga hanya berkisar 10 cm dari mata. Setelah memastikan warna bunga aster, Lily memberikan beberapa tangkai pada Bella.
"Thanks, Lily." Bella menerimanya sambil tersenyum kecut, melihat kondisi Lily membuat Bella terenyuh.
Lily bukan buta bawaan lahir, dia kehilangan pengelihatan karena benturan keras dan tekanan batin yang luar biasa hebat. Bella menyesal, gadis secantik Lily harus kehilangan segalanya hanya karena nafsu sesaat seorang lelaki laknat yang bahkan tak bisa tersentuh oleh hukum.
Helen banyak bercerita tentang Lily kepada Bella dan beberapa tetangga lain di desa. Meminta mereka mengerti akan kesusahan yang Lily alami. Meminta mereka menjaga Lily, menganggap gadis itu keluarga. Bella menangis mendengar kisah Lily, dia bahkan tak lebih tua darinya namun sudah harus menanggung derita yang begitu besar.
Lily akan selalu menangis, meraung, menyiksa diri, bahkan sampai ingin bunuh diri saat hujan deras bercampur angin dan guruh tiba. Lily mengalami pemerkosaan itu saat hujan lebat, sehingga jiwa Lily yang tercabik seakan terus mengulang kejadian menyesakkan itu tiap kali hujan lebat turun mengguyur desa.
"A—aku harus menata daganganku," gagap Bella, ia menyembunyikan air mata haru yang hampir menetes dari sudut matanya.
"Semoga laris, Bell."
"Kau juga, Lily. Aku akan mengirim apel untukmu sore nanti." Bella berlajan kembali ke tokonya, membawa beberapa tangkai bunga aster kuning yang indah.
Lily tersenyum sebelum kembali sibuk dengan deretan bunga di depan toko. Pot dan berbagai macam ember alumunium dengan jenis bunga yang berbeda terjajar rapi. Toko bunga milik Bibi Helen seperti rumah kaca kalau dilihat dari depan. Memang Helen sengaja membuatnya seperti itu agar sinar matahari bisa masuk ke dalam dengan leluasa.
Lily, sedang memikirkan buket bunga sederhana namun cantik dan indah. Bunga apa yang harus ia pakai dalam rangkaiannya, jenis buketnya, dan juga teknik perangkaian.
Setelah menimbang beberapa saat, Lily memutuskan untuk menggunakan bunga calla lili. Bunga putih dengan kelopak mirip teromper juga putik berwarna kuning itu memang elegan. Sangat cocok untuk pesta pernikahan dengan konsep apapun.
"Kemarilah sayangku, kalian harus tampil cantik dan membuat pengantin wanita terlihat menawan." Lily dengan antusias mengambil bunga berjenis kelopak lebar dan bertangkai tebal ini.
Lily bangkit, sudah ada beberapa tangkai bunga calla lili dalam pelukkannya. Lily mengambil lagi tongkat kayu. Bergegas membuka pintu kaca dengan bingkai kayu bercat putih. Bunyi lonceng selalu terdengar saat pintu terbuka, menjadi penanda bila ada orang yang masuk ke dalam toko.
"Ayo kita mulai." Lily bergumam, ia menggulung lengan panjang gaun putih bermotif polkadot.
Lily menjajarkan bunga calla lili tangkai per tangkai, mengukur panjang dengan cara meraba tangkai bunganya. Mana yang paling panjang dan mana yang paling pendek. Setelah itu Lily menyusunya dengan teknik layering, meletakkan bunga lili berlapis-lapis lalu mengikatnya dengan tali rami. Tak berhenti sampai di sana, Lily masih harus merapikan ujung tangkai bunga supaya rapi. Beberapa lembar daun sengaja tidak ia pangkas agar memberikan nuansa segar pada dominan warna putih.
"Pasti sangat cantik." Lily bergumam sembari sibuk mengikat bunga. Setelah terikat sempurna, Lily mengambil wadah berisi sedikit air. Setelah ujung tangkainya rapi, Lily mencelupkannya pada wadah berisi air, tak lupa ia membungkusnya terlebih dahulu dengan lembaran kertas tipis. Bunga harus tetap mendapatkan air agar segar dan tahan lama. Mereka bisa melepas wadah airnya saat buket bunga itu digunakan.
Tangan rampingnya terus bergerak cekatan, Lily sudah terbiasa merangkai bunga setiap hari, membuat kemampuannya terasah. Bedanya, dulu masih ada Helen yang menilai hasil akhir karyanya. Helen selalu membetulkan dan merapikan sedikit hasil kinerja Lily. Kini gadis itu sendiri, ia harus merangkai bunga dengan hati-hati agar tidak mengecewakan pelanggan.
"Pita, sepertinya warna peach dan silver akan sangat cocok." Lily bangkit, meraba-raba permukaan meja dan dinding, pergi ke lemari penyimpanan pada sudut toko.
Dengan mata buram, Lily memeriksa satu per satu gulungan pita. Mencari warna sesuai keinginannya. Setelah mendapatkan pita itu, Lily melilitkan pita yang lebih lebar terlebih dahulu sebelum pita yang lebih kecil.
"Oke, selesai." Lily meletakkan pageant bouquet bunga calla lili pada rak.
Kling cling kling ....
Bunyi lembut lonceng terdengar, disusul dengan derap langkah dan juga dentuman pelan dari pintu yang tertutup kembali.
"Ah, tepat pada waktunya. Apa kau kurir yang disuruh Bibi Sari?" Lily bangkit dari tempat duduk, mengambil tongkat. Dencitan pelan terdengar saat Lily melewati lantai kayu usang.
Hening sesaat. Lily menajamkan telinga untuk menanti jawaban dari kurir itu.
"Benar, aku kurir yang dikirim oleh Bibi Sari." Akhirnya jawaban yang ingin didengar oleh Lily terlontar.
Tapi bukannya senang, Lily malah mundur beberapa langkah ke belakang, ia tak menyangka kurir yang akan dikirim oleh Sari adalah seorang pria. Padahal Sari biasanya mengirim kurir wanita karena tahu fobia Lily terhadap pria. Bahkan selama ini Helen dan Lily tidak tinggal bersama karena Lily takut pada suaminya. Sari tahu semua itu, kenapa dia malah mengirim seorang kurir pria?
Mendadak tubuh Lily bergetar hebat, terhuyung pelan ke belakang sampai menabrak sebuah lemari pajang. Lily mencengkram juntaian gaun putih polkadotnya, mencoba mengendalikan diri.
"K—kau kenapa?" tanya pria itu gelagapan. Respon Lily terlalu berlebihan bagi orang yang baru pertama kali bertemu.
"Tidak! Jangan mendekat padaku! Itu bunganya! Ambil dan pergilah!" Lily menghunuskan tongkat ke depan, seakan ingin menjaga jarak dengan pria itu.
Pria muda itu melirik buket bunga di atas rak lalu berganti melirik Lily kembali. Wajah cantik Lily terlihat begitu pucat dan ketakutan.
"Hei, tenanglah! Aku hanya ingin mengambil buket bunganya. Tak bermaksud jahat." Pria berambut coklat tua itu menurunkan ujung tongkat Lily pelan-pelan, tapi gadis tuna netra itu kembali mengangkatnya.
"Baiklah, aku akan segera pergi." Pria itu menyerah membujuk Lily, ia bergegas mengambil bunga di atas rak.
"Tunggu!! Kau harus membawanya seperti membawa bayi! Atau bunganya akan rusak!" Lily mewantinya, buket jenis 'pegeant bouquet' memang harus diletakan pada sikut lengan seperti orang sedang menggendong bayi.
"Oh, begini?" tanya pria itu.
"A—aku tidak bisa melihatmu." Lily menunduk.
Pria itu diam sesaat, mengamati lagi gadis cantik yang berdiri gemetaran di hadapannya saat ini. Pandangan matanya memang terlihat kosong. Lily benarkah buta?
"Maaf," ucapnya.
"Tidak, aku tak ingin dikasihani." Lily menurunkan tongkat kayu mulai kembali meraba jalanan.
"Sekali lagi maaf, aku tidak bermaksud mengasihanimu," ucap pria itu lirih.
"Si—siapa namamu?" tanya Lily, ia hendak menyerahkan tanda terima pengambilan bunga pada si kurir. Tangannya masih terlihat gemetaran.
"Isaac, namaku Isaac." Pria itu tersenyum sembari menerima kertas dari tangan Lily. Membubuhkan tanda tangan, Lily menerima yang asli, sedangkan Isaac mengambil salinannya.
"Te—terimakasih, Isaac. Tolong antarkan bunga itu baik-baik." Pinta Lily.
"Tentu saja, aku akan menjaganya. Kau bisa tenang, Lily."
"Kau tahu namaku?" Lily terlihat kaget.
"Eem ... Bibi Sari yang memberitahukan namamu padaku." Isaac tersenyum, senyum yang hangat. Wajahnya sangat tampan saat tersenyum, sayang sekali Lily tak bisa melihat pesonanya.
"Ah, begitu."
"Oke, bye, Lily," pamit Isaac sambil mengangkat topi flat cap coklatnya. Lily hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
— Bahasa Bunga —