Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

INGIN MATI BERSAMAKU?

Noir_Weisten
16
Completed
--
NOT RATINGS
22k
Views
Synopsis
"Hei, jika kau sudah siap. Ingin mati bersamaku?" Didalam mimpi, dimana ribuan bintang bersinar dengan terang di langit, Akira Mirai bertemu dengan gadis misterius di jembatan tua. Tatapan penuh kekosongan, redup, dan tampak putus asa dalam menjalani hidup. Membuat hati Akira Mirai tergerak. Ah, gadis ini sama sepertiku. Menyerah dalam kehidupan yang membosankan ini. "Ya, baiklah." "Kalau begitu, ini adalah janji kita berdua, oke?"
VIEW MORE

Chapter 1 - Prolog

Sakit....

Itu terasa sangat sakit saat aku melihat diriku yang sekarang di cermin. Tidak berdaya, lemah, terlalu bergantung pada orang lain, selalu gagal dalam melakukan sesuatu bahkan jika itu pekerjaan yang sepele.

Kadang berpikir, apa artinya aku hidup di dunia ini. Hidup dalam kehampaan dan kekosongan, dengan hati yang sudah mati rasa ini, memandang penuh ilusi aku tetap hidup bagaikan mayat berjalan.

Hanya cangkang luarnya saja, terlihat rapuh dan dapat hancur kapan saja. Namun, cangkang yang ingin hancur itu, masih mencari kebenaran tentang sisa hidupnya.

Bagaimana dia bisa berguna, bagaimana caranya untuk membuat hidupnya lebih bewarna, tidak abu-abu. Terus mencari, diterpa air hujan dan badai, termakan sisa umur, hidup dalam kesendirian bagaikan tenggelam di lautan dalam.

Aku menutup novel yang berjudul "Hoshi ga kagayakuyoru" yang memiliki arti 'Malam penuh bintang' sudah lama aku tidak meneteskan air mata. Mungkin ini pertama kalinya aku meneteskan air mata setelah membaca Novel.

Novel ini, karakter utamanya sedikit mirip ... tidak, melainkan sangat mirip denganku. Mencari kebenaran tentang hidup, dibutakan akan ilusi, melihat dunia dari dalam jurang yang gelap, tanpa ada seorang pun yang menarik tanganmu keluar.

"Aku ingin mati....,"

Dulu aku sempaat berpikir seperti itu, bahkan aku sudah mengucapkan kalimat itu beberapa kali, tapi tentu saja aku tidak benar-benar berani mengakhiri hidupku begitu saja. Aku berpikir, apakah jika aku mati, Tuhan akan memberitahuku tentang kebenaran dalam hidupku, atau hanya neraka yang akan menjadi akhirnya.

Jujur saja aku takut memikirkan itu, tapi aku juga penasaran. Diam-Diam aku keluar dari kamarku yang gelap, berjalan-jalan di malam hari yang penuh dengan bintang, aku mencoba menghitungnya, tentu saja aku tahu bahwa itu sia-sia.

Hanya saja aku ingin menghitung mereka, karena menghitung mereka membuat hatiku senang. Aku cukup menyukai bintang kalian tahu, mereka memberi cahaya di gelapnya luar angkasa, bersinar cerah sepanjang malam, hingga terbitnya fajar tiba.

Bintang itu bagaikan harapan, jumlahnya tidak terkira dan kau akan terus bergantung pada cahaya tersebut, namun kau tidak dapat tahu apakah salah satu dari harapan itu sesuai dengan keinginanmu atau tidak.

Tapi ... cahaya itu akan selalu menerangimu saat kau terjatuh dalam kegelapan. Cahaya itu akan terus menyelamatkanmu berkali-kali, dan kau juga akan bangkit dari cahaya tersebut.

Mengulurkan tangan, dan menarikmu keluar dari kegelapan. Yah, jangan didengarkan, lagipula ini hanya omong kosong dari sosok menyedihkan sepertiku ini.

Tanpa disadari, aku sampai didepan jembatan. Dibawah adalah sungai dengan arus air yang cukup deras, berpikir apakah sebaliknya loncat atau tidak, jika aku loncat disini mungkin aku dapat mengakhiri hidup ini dalam sekejap, tanpa mengetahui kebenarannya sama sekali, menjadi cangkang kosong yang sudah sepenuhnya hancur lebur.

"Hei, apakah kau ingin loncat?"

Aku mendengar suara seseorang, dan menoleh. Dia adalah gadis seumuran, dengan rambut pendek hitam dan iris mata bewarna biru redup, matanya sama sekali tidak memancarkan cahaya.

Ah, dia sama sepertiku.

Aku berpikir demikian, dia sepertinya juga mencari arti dalam hidupnya. Mungkin aku yang terlalu percaya diri atau memang benar, tapi tatapannya itu, adalah tatapan seorang yang putus asa dalam menjalani hidup.

"Nee, apakah kau ingin loncat?" gadis itu terus bertanya.

"... Aku sempat berpikir seperti itu." jawabku. "Tapi, sepertinya aku masih ingin hidup ini berlanjut sedikit lebih lama lagi."

Aku menjawab pertanyaan dari gadis itu tanpa memandangnya, aku tidak tahu bagaimana ekspresinya padaku, dan aku tidak terlalu peduli dengan apakah dia akan membenciku atau tidak.

"Lalu, untuk apa kau kemari?" tanya gadis itu lagi.

"Mencari kebenaran ... mungkin?"

"Hehe, orang aneh."

"Aku tidak ingin mendengarkan itu dari orang yang bertanya apakah kau ingin loncat atau tidak." jawabku ketus.

Kami berdua seperti sudah dekat dalam kurun waktu yang lama, entah kenapa, ini pertama kalinya aku lancar saat berbicara dengan orang lain. Seolah-olah, hati kami berdua terhubung satu sama lain.

"Mereka indah bukan?" gadis itu mendongak ke atas, melihat ribuan bintang di langit.

"Ya."

"Aku ingin tahu, jika dunia ini berakhir, apakah mereka akan tetap bersinar seperti itu? Menerangi kegelapan dengan cahaya mereka."

"Itu tidak mungkin."

"Sepertinya begitu....,"

Kami berdua terdiam, memandang langit seksama. Dengan setiap hembusan nafas yang mengeluarkan uap, aku sesekali melirik ke arahnya.

"Hei, lain kali jika kau sudah siap. Ingin mati denganku?" gadis itu berbicara. Membuat kedua mataku melebar seketika.

Untuk pertama kalinya, aku memandang ke matanya secara langsung. Matanya yang biru bertemu dengan mataku yang hitam redup, dibawah bintang yang bersinar, kami bertukar isi hati masing-masing.

Ah, jadi begitu. Gadis ini memang sangat mirip sekali denganku, sendiri didalam kegelapan dan menatap dunia dari bawah jurang yang dalam. Tanpa ada sosok yang mengulurkan tangan, ditelan oleh gelapnya dunia itu sendiri, tanpa ada satupun yang menyadarinya.

Namun, jika dia benar-benar menginginkannya maka ... setidaknya aku berharap bahwa dia akan menjadi orang yang memberiku kebenaran.

"Ya, baiklah."

"Kalau begitu, itu adalah janji kita berdua, oke? Hehe."