Haruka pov
Kenapa semua orang membenciku?
Apakah aku salah jika tidak bisa berbicara layaknya orang lain?
Apakah aku dilahirkan hanya untuk membuat orang disekitarku menderita?
Jika benar begitu, untuk apa aku harus lahir?
Dilahirkan didunia ini hanya untuk dibenci, tidak diinginkan, dan dibuang. Aku sudah muak dengan semua itu, aku gemetar, sebenarnya aku juga ketakutan saat mengetahui bahwa orang disekitarku mulai membenciku. Aku juga tidak ingin seperti ini, aku tidak ingin terlahir tanpa suara seperti ini.
Aku membenci diriku sendiri, aku benci semuanya yang terkait dengan diriku. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, dibenci oleh orang lain sangatlah menyeramkan, aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun, jadi kenapa mereka membenciku?
Apakah ini memang karena aku yang cacat? Jika benar begitu, lebih baik aku tidak lahir sama sekali.
"Hei bisu ... Kau menjijikkan, jangan pernah mendekati kami lagi."
Aku sering mendengar kalimat itu berulang kali dikelasku sebelumnya (sebelum pindah). Aku sering diejek, dihindari, dilecehkan, dan dihina beberapa kali oleh teman sekelasku. Aku dijadikan oleh target bully mereka yang memiliki kasta tinggi dikelas, aku lemah, tidak berdaya jadi aku hanya menurut saja.
Aku takut, jika aku melawan maka aku akan semakin dibenci oleh mereka, aku takut jika mengadu kepada guru mereka akan dikeluarkan dan aku semakin dibenci oleh teman sekelasku yang lain. Itu benar, keberadaan ku disini hanyalah sebuah masalah belaka, daripada membuat orang lain menderita, aku lebih memilih diriku sendiri yang menderita, itu saja sudah cukup.
"Bacalah, itu buku yang bagus."
Pada suatu hari aku bertemu dengan pria misterius saat di perpustakaan, wajahnya tampak suram dan matanya terlihat redup tanpa memancarkan cahaya sama sekali. Melihat matanya saja, membuatmu seperti ditarik oleh kegelapan itu sendiri, mata itu sangatlah menakutkan.
Aku tidak tahu namanya, tapi ketika mata kami bertemu satu sama lain, aku merasakan sesuatu yang aneh didalam dadaku, sesuatu dimana kami seperti sudah bertemu di suatu tempat, hati kami berdua terasa terhubung satu sama lain, meski aku tidak tahu apakah pria itu juga merasakannya, hanya saja aku tidak bisa berbohong pada perasaanku ini.
Aku memberikan novel yang sangat bagus padanya, aku sudah berkali-kali membaca novelnya dan tetap saja aku menangis meski sudah mengetahui alur cerita kedepannya.
Karena aku tidak memiliki banyak teman, aku menggunakan novel sebagai temanku untuk berbagi perasaan. Hanya novel yang bisa memberiku dunia baru, apa itu yang disebut sebagai kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai macam emosi lainnya. Meski tidak memiliki teman, aku masih bisa merasakan pertemanan melalui novel.
Novel sudah menjadi bagian dari hidupku sendiri, jadi aku ingin berbagi kebahagiaan pada orang lain. Aku ingin orang lain tahu, bahwa kebahagiaan juga bisa ditemukan dari hal kecil seperti sebuah buku, didalam buku kau bisa menemukan berbagai hal menarik, seperti gaya bahasanya, dan pembawaan diksinya.
Aku sangat menikmati membaca, karena aku bisa menyampaikan ekspresiku dengan bebas, tanpa terikat dengan suara. Jadi, aku sangat bersemangat saat pria itu menerima buku tersebut.
Besoknya, aku kembali bertemu dengan pria itu diperpustakaan, aku tidak berharap lebih apakah pria itu benar-benar membaca novel yang ku rekomendasi kan atau tidak. Lagipula, orang sepertiku ini tidak mengharapkan kebahagiaan yang lebih dari ini.
"Novel ini sangat bagus, aku mau mengembalikannya. Terimakasih."
Pria tersebut mengembalikan novel itu padaku, aku cukup terkejut, lalu aku betanya padanya bagian mana yang menarik tentang novel itu.
"Kurasa saat Tokoh utama kehilangan harapan, dan disitu sang Heroine mencoba menghiburnya."
Kedua mataku melebar, pria ini benar-benar membacanya. Selain itu, adegan itu juga termasuk salah satu adegan yang paling kugemari. Dimana tokoh utama dalam novel tersebut sedang terpuruk, lalu sang Heroine datang bak harapan dan menyelamatkan tokoh utama dalam keterpurukannya.
Aku hampir menangis, namun aku berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Aku ingin berteman dengan pria ini, tapi aku tahu bahwa dia mungkin saja tidak ingin berteman dengan gadis bisu sepertiku ini. Namun, setidaknya aku ingin berbicara dengannya lebih banyak lagi.
Secara tidak sadar, aku menyerahkan kembali novel baru yang ada didalam tas milikku. Aku harap dia akan membacanya sekali lagi, aku ingin dia lebih mengerti tentang beragam ekspresi yang berada didalam sebuah novel, aku ingin dia mengerti lebih banyak tentang diriku.
"Aku akan membacanya."
Ketika mendengar kalimat itu keluar dari multunya, aku tidak bisa menahan senyumku. Setelahnya, hari demi hari berlalu, dia selalu ke perpustakaan untuk mengembalikan buku, disaat itu juga aku memberikannya novel baru untuk dibaca, pria ini benar-benar membaca semua novel yang ku rekomendasikan. Aku sangat senang, aku senang sekali, aku tidak pernah sesenang ini dalam hidupku.
Aku ingin waktu berhenti jika bisa, menikmati masa-masa seperti ini lebih lama lagi. Aku ingin kami berdua bertukar perasaan satu sama lain, lebih dalam lagi, hingga masing-masing hati daling menyentuh dan menghangatkan.
Aku ingin dia lebih banyak tahu tentangku, begitupun sebaliknya, aku ingin tahu lebih banyak tentangnya. Ini aneh, meskipun kami selalu bertemu setiap hari, tapi aku masih belum berani untuk menanyakan namanya. Pria ini pendiam, dia tidak pernah peduli dengan lingkungan sekitarnya ataupun orang lain, tatapannya selalu kosong dan hanya fokus pada sesuatu yang membuatnya tertarik saja.
Iris mata yang hitam itu, aku ingin dia melihatku, aku ingin tahu pandangannya terhadap dunia ini, apakah itu adalah pandangan bercahaya atau kegelapan yang pekat, jika takdir memang menghubungkan kami berdua satu sama lain, maka aku berharap, bahwa kami berdua bisa saling mengerti satu sama lainnya.