"Hei, kenapa kau menangis?"
Aku kembali, di jembatan tua dimana aku bertemu dengan gadis misterius yang mengajakku mati bersama. Dia berdiri disampingku dengan setiap hembusan nafasnya yang mengeluarkan uap, dia sekarang ada disisiku. Dia memakai syal merah yang dikaitkan pada lehernya. Sementara aku, aku memakai jaket tebal yang biasanya digunakan pada musim dingin, mungkin terdengar konyol, tapi malam ini lebih dingin daripada biasanya.
Aku tahu bahwa aku saat ini sedang bermimpi, aku tahu bahwa semua ini tidaklah nyata termasuk gadis yang berdiri disampingku ini. Tapi entah kenapa aku menangis, aku senang bertemu dengannya kembali, karena ... dialah satu-satunya seseorang yang kumiliki. Seseorang yang entah kenapa bisa ku ajak bicara dengan normal, seseorang yang matanya mirip sepertiku, menatap kosong dan redup, tanpa ada cahaya kehidupan sama sekali.
Aku menggigil, diatas langit hanyalah warna hitam dan abu-abu. Yang artinya malam ini tidak berbintang karena cuacanya sedang mendung, beberapa besi yang mengaitkan jembatan juga membeku karena suhu yang dingin sekarang, aku bersyukur karena didalam mimpi aku memakai jaket tebal musim dinginku ini.
"Kau salah lihat, ini hanyalah air embun." Jawabku sembari mengusap air di mataku.
Aku berbohong, sebenarnya entah kenapa aku senang dapat melihatmu kembali, aku senang bahwa kau ada disini bersamaku, tapi sayangnya cuaca sedang tidak mendukung hari ini. Meski tahu bahwa ini hanyalah sebuah mimpi dan aku harus bangun suatu saat nanti, tapi aku ingin lebih lama bersamamu, aku ingin lebih memahami lagi, dan aku ingin menyelamatkanmu.
Lupakan tentang menyelamatkan, aku yang tidak bisa menyelamatkan diri sendiri tidak berhak untuk memiliki keinginan menyelamatkan orang lain. Sebenarnya, aku Cuma mengatakan itu hanya untuk membuat diriku lebih baik. Meyakinkan diriku yang yang tidak berguna ini, bahwa suatu saat kau dapat berguna bagi kehidupan orang lain.
"Hei, apakah kau masih ingat dengan janji kita berdua sebelumnya?" tanya gadis itu padaku.
"Tentang kita yang akan mati bersama? Maaf, tapi aku masih belum ingin melakukannya." Jawabku.
"Aku tahu, kau masih terlalu bergantung pada harapan, sesuatu yang tidak pasti itu. Aku ingin tahu berapa lama kau dapat bertahan menghadapinya." Jawabnya.
"Tidak, sebenarnya aku hanya-"
"Mencari kebenaran? Bukankah itu hanyalah alasanmu saja? Kau selalu lari dari kenyataan."
"...."
Aku terdiam, suasana menjadi hening dalam sekejap, angin berhembus lebih kuat dari sebelumnya, menerpa kami berdua dan membuat rambu kami menjadi berantakan. Benar, selama ini aku hanya melarikan diri dengan alasan untuk mencari 'Kebenaran' tentang hidup. Aku bahkan sadar bahwa kebenaran itu adalah kosong. Sedari awal memang tidak ada, manusia dilahirkan hanya untuk mengikuti sistematis dunia ini bekerja.
Presiden sebelumnya akan turun dari jabatannya, lalu digantikan manusia lain yang akan dijadikan Presiden baru. Orang tua menginginkan anak untuk menopang hidup merasa disaat tua, dan anak mau tidak mau harus melakukan kewajiban itu tanpa tahu kebenarannya sama sekali. Mereka tidak diberi kesempatan untuk bertanya, apakah kau ingin dilahirkan atau tidak, takdir akan terus memaksa mereka terus hidup walau luka terus menghantam jiwa dan raga mereka.
Ya, manusia hanyalah pengganti dari manusia yang lama, alat dari putaran roda kehidupan. Lalu, untuk apa sekarang aku masih hidup?
"Jadi, apa alasanmu tetap hidup sampai sekarang?" gadis itu bertanya sekali lagi, dengan tatapan mata birunya yang redup.
"Aku ... tidak tahu, aku tidak tahu jawabannya."
Benar, aku sendiri tidak tahu kenapa aku masih hidup selama ini. Aku sendiri tidak mengerti apa yang membuatku bertahan selama ini, aku sendiri tidak ingin perasaan hampa dan bersalah ini terus menghantui sepanjang hidupku, aku ingin tenang, ditempat yang hening dan damai, tanpa adanya suara sedikitpun, aku ingin tertidur.
Saat aku tenggelam dalam pikiranku, gadis itu tersenyum kepadaku. Lalu menatap lekat-lekat seolah-olah menembus kedalam jiwaku.
"Aku akan tetap menunggu janji kita, jadi temukan alasanmu sampai hari itu tiba."
Pandanganku semakin kabur dan kabur, kepalaku terasa pusing dan aku mulai merasakan kantuk yang cukup berat. Sial, apakah ini sudah saatnya untuk diriku bangun? Tapi aku ingin terus ditempat seperti ini, aku ingin lari dari kenyataan kejam yang selama ini mengejarku tanpa lelah. Aku capek, jadi biarkan aku istirahat dengan tenang tuhan, kumohon.
"Namamu ... aku ingin tahu namamu."
Itu adalah kalimat terkahir yang aku inginkan jawabannya, gadis itu bergumam, tapi aku sama sekali tidak dapat mendengar suaranya. Sial, sepertinya sekarang sudah saatnya, saatnya untuk diriku bangun dan menghadapi kenyataan yang kejam.
"Selamat tinggal, Akira."