Jam Beker berbunyi dengan nyaring, selalu membangunkanku dipagi hari yang selalu sama dan membosankan setiap waktu. Aku membuka kedua mataku, menatap langit-langit kamarku yang masih gelap, Karena gorden jendela yang memblokir masuknya cahaya.
Kamarku sangat berantakan, dengan bungkus makanan yang berceceran di lantai, serta komputer yang layarnya masih menyala, pakaian tersebar dimana-mana dan itu kotor, aku cukup malas untuk membersihkan semuanya. Lagipula, sedari awal aku hanyalah manusia sampah yang tidak berguna, jadi membersihkan kamar tidak membuatku sedikit berguna sama sekali.
Aku bermimpi, bertemu dengan seorang gadis ditepi jembatan yang penuh dengan ribuan bintang, meski mimpi namun mimpi tersebut terasa sangat nyata, kami berdua bertukar isi hati satu sama lain, seolah-olah hati kami sudah lama terhubung satu sama lain.
Biasanya manusia hanya bisa mengingat sebagian mimpi mereka. Entah itu 30% ingatan atahu hanya setengahnya, tapi seperti apa yang kukatakan sebelumnya, bahwa mimpi itu terasa sangat nyata.
Aku bertemu dengan gadis yang memiliki mata yang sama sepertiku. Redup, tidak memancarkan cahaya, seolah telah kehilangan cahaya itu sendiri, tertelan oleh gelapnya dunia, dan putus asa.
Namun, aku tidak mengetahui nama gadis itu. Aku baru saja mengingatnya, bahwa kami berdua sama sekali belum bertukar nama satu sama lain. Yah, lagipula itu hanya mimpi, tidak berharap seharusnya menjadi lebih baik.
Bangun dari ranjang, aku mematikan jam bekerku yang sedari tadi berdering. Membuka gorden jendela, membiarkan cahay matahari masuk lalu menusuk ke mata dan kulitku. Membuat semangatku hilang seketika.
Hari ini adalah hari Senin, hari terburuk diantara hari-hari lainnya. Itu dikarenakan aku harus pergi ke tempat yang bernama sekolah.
Segera mandi dan makan, lalu berganti pakaian. Aku keluar dari kamarku, dan menunruni apartemen tingkat ke tujuh yang merupakan tempat tinggal sementara ku.
Memandang dengan kosong, aku mengamati sekitarku, dimana banyak siswa yang memakai seragam sama sepertiku berlalu lalang kesana dan kemari. Tertawa, bermain bersama, bercanda ria dengan sosok yang disebut teman. Aku sama sekali tidak mengerti.
Apa itu pertemanan sesungguhnya. Bagiku, hubungan pertemanan hanyalah ketidak sengajaan, kau bertemu dengan orang baru di lingkungan barumu, dan berkenalan dengannya lalu mengajak sedikit berbicara, maka dia sudah dapat dipanggil sebagai temanmu.
"Hei, Akira! Seperti biasa kau selalu murung dipagi hari bukan?"
"...."
Menepuk pundak ku dengan keras adalah seorang siswa seumuran denganku yang energik. Dia berjalan disampingku sekarang, dengan wajah riangnya, dia sangat berbeda denganku yang suram.
Namanya adalah Natsunagi Kaito, dia adalah siswa yang mampu bergaul dengan siapa saja dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Berbeda denganku yang selalu gugup saat berkomunikasi, manusia yang satu ini sungguh sempurna.
Selain berkomunikasi, dia juga pandai dalam akademik dan olahraga. Aku tidak tahu sejak kapan dia mulai mendekatiku meski aku sering mengacuhkannya, tapi sepertinya semua ini bermula saat musim panas tahun lalu
Aku tetap diam, berjalan dengan lurus, tidak mendengarkan omong kosong dari ocehan Kaito disisiku yang sama sekali tidak kutanggapi. Dia orang aneh, meski aku sudah memperlakukannya dengan buruk, tapi dia tetap berusaha untuk mendekatiku.
Aku sudah menyerah dengannya.
"Kira, Kaito, lagi-lagi kalian berangkat ke sekolah bersama?"
"Oh, Mia! Kau datang lebih pagi hari ini?"
Seorang gadis datang dari sisi kainku, dia memiliki rambut hitam panjang dengan gaya ekor kuda poni, dia adalah teman masa kecilku, aku banyak bermain dengannya semasa kecil, hari demi hari, kami juga bersekolah dari SD hingga SMA yang sama sampai sekarang ini.
Ah, aku teringat suatu kejadian, dimana aku dan Mia membuat janji untuk menikah jika kami sudah besar nanti. Tapi, kenyataan ternyata sangatlah pahit, dia bahkan sudah menemukan pacar sekarang. Yah, bukan urusanku juga, lagipula tidak ada hal baik yang diharapkan dari sampah menyedihkan sepertiku ini.
Yang kulakukan hanyalah menjadi bagian dari dunia yang padat ini, menjadi bagian dari masyarakat yang besar, tanpa melakukan sesuatu yang istimewa, tidak berbakat, tidak dilahirkan dengan kemampuan apapun, bahkan jika aku memiliki kemampuan, kemampuan itu tidak terlalu berguna.
Aku mulai mengkhawatirkan masa depanku, meski aku beberapa kali menyemangati diriku sendiri, namun tetap saja hati ini tidak bisa tenang saat memikirkannya. Apakah aku bisa berhasil dimasa yang akan datang, apakah aku bisa menjadi orang yang sukses, apakah aku bisa membanggakan kedua orang tuaku, apakah aku bisa berubah dan menemukan kebenaran tentang hidupnya.
"Tentu saja, aku masih memiliki pekerjaan rumah yang harus kuselesaikan, jadi aku datang pagi untuk mencari contekan. Hei, Kira bolehkah aku boleh meminjam pekerjaan rumahku? Bolehkan, bolehkan, aku teman masa kecilmu, kau tahu?" Mia memohon.
"Tidak."
Menjawab dengan cepat, aku mempercepat laju langkahku meninggalkan mereka berdua di belakang. Memanfaatkan status teman kecil sebagai alasan agar kau dapat memperoleh kerja keras dari orang lain, sungguh aku cukup tidak suka dengan tipe orang seperti itu. Tapi, terkadang aku juga menyadari bahwa aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama di masa depan nanti, entah itu mencari pekerjaaan, atau hal yang sejenisnya. Aku mulai takut.
Beberapa menit berjalan, aku sampai di sekolahku. SMA Sakura, disinilah aku belajar, menghabiskan masa mudaku dengan sia-sia, tanpa ada orang lain yang menyadari.
Nah, berapa lama aku dapat bertahan dari hidup yang membosankan ini?