"Naya, gimana kalau kita ngajakin Raga aja? Setuju enggak?!" Kania tiba-tiba menatap ke arahku dengan wajah berbinar, diikuti beberapa pasang mata yang tiba-tiba juga langsung menatapku lalu berkata "Ide bagus Nay, ajak aja cowok kamu…..biar rame gitu."
Aku belum menjawab, kututup buku yang sejak tadi ku perhatikan. Padahal aku sudah berusaha untuk tidak menonjolkan diri di diksusi kelas ini dengan berada di kursi paling belakang dan pura-membaca buku agar tidak ada pertanyaan atau bahkan menjadi target dari ide-ide mereka yang akhirnya pasti akan membawa nama Raga di dalamnya.
"Raga kan beda kelas Kania?" Ucapku kemudian setelah berhasil mencari alasan. Kutatap tubuhnya yang menjulang tinggi di depan kelas. Cewek ekstrovert dengan wajah cantik dan tubuh indah bak model itu berhasil membuatku merasa iri. Dia memang tidak pintar di kelas kami, namun dia cukup mendominasi dalam hal apapun terutama bagi kaum laki-laki. Bahkan untuk ide segila ini—yaitu menghabiskan malam minggu di sebuah villa di daerah puncak.
"Enggak apa-apa lah Nay, ini kan Cuma happy-happy. Kalau ada yang mau ngajakin cowoknya dari kelas lain, atau fakultas lain juga enggak apa-apa kok." Rupanya Kania masih belum menyerah untuk memaksaku mengajak Raga. Aku tahu alasannya mengajak Raga. Selain karena cowokku itu kaya raya dan terkenal royal, juga karena cewek cantik di depan sana itu juga sangat mengidolakannya.
"Iya, tapi aku yakin Raga pasti enggak—"
"Hai…pada ngomongin apa?" Sialnya justru kini Raga malah muncul di depan pintu. Sontak perhatian yang tadi dicurahkan padaku, kini berganti pada pacarku itu.
Aku berdecak lirih, kenapa dia musti datang sekarang ketika satu kelas tengah berharap dia ikut untuk acara malam minggu nanti.
"Malam minggu nanti ikut ya Ga?" Kania mendekat, dan tentu saja dengan jarak yang sangat dekat dan berhasil membuat tanganku terkepal dan mataku melirik tegas. Namun aku yakin jika Kania, seluruh siswa di kelas dan bahkan Raga tidak menyadari kekesalanku. Karena aku adalah seorang aktris yang hebat untuk masalah berpura-pura baik-baik saja dalam hal apapun meskipun hatiku menjerit tidak suka.
"Kemana?" Raga menghindari Kania, lalu berjalan ke arahku. Diciumnya pipiku dengan lembut sebelum akhirnya berdiri di sampingku. Membuat hatiku yang tadi sempat berontak marah kini sedikit merasa rileks. Pemandangan ini biasa terjadi, jadi teman-temanku sekelas menanggapinya dengan ekspresi yang biasa saja.
"Muncak dong. Lo 'kan punya Villa." Rendra—yang sejak tadi juga terlibat dengan diskusi pelik ini kembali angkat bicara.
"Jadi pada mau muncak di villa gue?" Raga menunjuk dirinya sendiri.
"Iyalah, masa Naya pergi, lo enggak ikutan sih Ga?" celetuk Steven yang langsung disambut anggukan teman-teman yang lain.
Aku merasa semakin tidak enak hati sekarang.
"Temen-temen…Raga sibuk. Hari minggu papanya pulang dari—"
"Enggak apa-apa kok." Potong Raga cepat, mengindari penolakanku. "Kita bisa pergi ke sana."
Dan langsung saja terdengar sorakan dari teman-teman sekelasku. Mereka yang tadi diam seribu Bahasa menjadi antusias penuh semangat. Bahkan Kania yang sejak tadi di depan kelas membawa spidol plus penghapusnya pun kini mulai menyusun semua rencana dan printilannya di atas whiteboard. Membuatku semakin frustasi dan tentu saja kesal.
Bukan Cuma sekali dua kali mereka memanfaatkan aku untuk mendapatkan esuatu yang 'gratis' dari Raga, dan sialnya Raga pasti selalu setuju dengan rencana mereka yang selalu ada aku di dalamnya. Cowokku ini memag anak orang kaya, bahkan papa-nya adalah salah satu pemilik Yayasan dari kampus kami. Jadi tidak heran, dia selalu bisa memberi bahkan meng-iya-kan apapun yang teman-temanku mau.
Mereka bisa minta traktira gratis ketika tahu aku berulang tahun, karaoke sepuasnya di salah satu tempat karaoke terbaik di Jakarta atau berlibur dengan biaya gratis seperti sekarang. Aku benci dimanfaatkan oleh orang lain untuk mendapatkan kemewahan dari pacarku. Berkali-kali aku meminta Raga untuk tidak meng-iya-kan apa yang teman-temanku minta, namun selalu saja dia bilang:
"Nay…..mereka temen sekelas kamu. Enggak apa-apa kan kalau aku nyenengin mereka?"
Akh andai Raga tahu, jika aku tidak pacaran dengan kamu—cowok paling kaya dan paling royal pada semua orang, pasti mereka tidak akan pernah mau menganggap aku ada.
******
"Apa sih, dari tadi mukanya ditekuk-tekuk terus?" Raga mengalihkan pandangan dari game yang sejak tadi dimainkannya. Game itu sekarang ada pada mode 'pause'.
Aku hanya mendengus kesal tanpa mengalihkan dari layar televisi besar yang ada di depan kami.
"Apa Nay?" Raga meremas tanganku.
"Kenapa sih, kamu harus mau nerima ajakan Kania ke puncak?" sungutku. Selain karena aku memang tidak suka dengan niat Kania yang selalu menjadikan Raga sebagai kantong uang, aku juga cemburu dengannya. Kania begitu cantik dan setahuku ia begitu sangat mengidolakan Raga. Aku hanya takut, jika Raga lama-lama akan menaruh perasaan juga pada gadis itu.
"Lha kenapa? Kan bagus dong! Aku juga bisa liburan ke villa, bareng pacarku." Raga mengecup pipiku sekilas.
"Bukan masalah itu." Kali ini aku menggeser badanku hingga menghadap ke arahnya.
"Terus masalahnya apa sayang?"
Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telingaku.
"Kamu enggak nyadar kalau Kania Cuma manfaatin kamu Ga?" gumamku. "Dia tahu kamu banyak uang, dan dia akan selalu mgajakin kamu kemana-mana dengan aku sebagai kambing hitamnya."
Bukannya ikut dongkol, Raga malah tertawa.
"Aku enggak ngerasa begitu tuh." Sahutnya santai.
"Aku yang ngerasa!" aku menunjuk diriku sendiri. "Aku kan jadi enggak enak sama kamu…."
Raga tertawa ngakak, membuatku semakin merasa kesal karena sejak tadi kalimat-kalimta seriusku sama sekali tidak diperhatikannya.
"Ih….malah ketawa deh!" aku mencubit perutnya.
"Aaaoow….sakit Nay!" Raga memegangi perutnya masih dengan tertawa.
"Enggak usah overthingking deh…." Lanjutnya setelah tawanya reda.
"Gimana enggak coba?!"
"Nay….." Raga mengusap pipiku lembut. "Aku enggak peduli mereka mau manfaatin aku atau enggak. Asal ada kamu di situ, aku enggak keberatan melakukan apapun."
Aku memutar bola mata malas.
"Aku tuh sebenernya enggak tertarik muncak Ga." Tukasku. " Aku enggak perlu ke puncak kalau pengen sama kamu. Buktinya di kosan gini juga bisa!"
"Tapi aku pengen." Jawab Raga santai. "Aku pengen menghabiskan waktu di puncak bareng sama kamu dan temen-temen kamu. Nay….aku tahu kamu tipe cewek introvert. Kamu enggak suka ramai-ramai dan bahkan kamu juga enggak terlalu akrab sama mereka. Tapi aku pengen, kamu bisa pergi-pergi sama mereka. Meskipun akhirnya, melibatkan aku di dalamnya."
"Akh….tapi kesannya kayak aku Cuma manfaatin kekayaan kamu."
"Aku enggak peduli Nay."
"Tapi aku kepikiran!" kataku ngotot.
Raga tersenyum penuh arti.
"Nggak usah mikir kayak begitu."
"Terus aku harus gimana untuk ngebales semua kebaikan kamu?"
"Dengan mencintaiku."
"Sudah." Sahutku lugas.
"Kalau begitu, janji sama aku."
"Janji apa?" aku menatap Raga sungguh-sungguh.
"Suatu saat nikah sama aku."
Aku tertegun sejenak, menatap sorot mata Raga yang berbinar penuh harap. Bukannya menjawab dengan kata 'iya', aku hanya mencubiti perutnya sampai Raga berteriak-teriak.
"Aaaoooow…..sakit Nay!"