Chereads / Ambiguous Love / Chapter 21 - Sakit

Chapter 21 - Sakit

"Aaaa…." Aku memaksa Raga untuk membuka mulutnya. Tanganku sudah membawa sebutir anggur yang sudah berada tepat berada di depan mulutnya.

Raga menggeleng. "Masih penuh Nay…." Gumamnya dengan tidak begitu jelas.

Aku tertawa. Mendapati pipinya yang menggembung seperti itu sungguh sesuatu yang menyenangkan. Aku bisa dengan leluasa menjewer pipinya sampai mengaduh.

"Akh, kamu nakal!" Raga meraih pinggangku dan memeluknya dengan erat. Untuk beberapa saat lamanya kami saling terdiam, hingga sebuah kalimat muncul dari bibirnya.

"Jangan tinggalin aku ya Nay?" bisiknya kemudian tepat di depan telingaku.

Aku mengangguk, lantas mengalungkan kedua lenganku di lehernya. Aku memeluknya dengan erat, sambil menciumi bau tubuhnya yang khas. Entah berapa lama kami saling berpelukan, namun aku merasakan dingin tiba-tiba menyergap tubuhku. Aku mengerjapkan mata. Tekrejut karena Raga yang tadi kupeluk tiba-tiba menghilng,

Dari jauh aku melihat siluet tubuhnya yang melambai ke arahku.

"Raga!" panggilku. Namun bukannya mendekat, sosok itu kian menjauh.

"Raga!" panggilku sekali lagi. Kini dengan kaki telanjangku, aku berusaha untuk mengejarnya namun sia-sia. Karena tiba-tiba saja aku sudah berdiri di pinggir sebuah jurang yang dalam dan menganga. Sedangkan sosok Raga sudah berada di seberang jurang, melambai ke arahku lalu berjalan menghilang.

"Raga…." Desisiku dengan air mata berurai. "Raga…..Raga…..jangan tinggalin aku. Raga…."

"Nay…..Naya….Naya…..!" tiba-tiba sebuah tangan lain menggoyang-goyangkan tubuhku. Awalnya suara itu terdengar samar, kemudian lambat laun semakin jelas seiring dengan kelopak mataku yang terbuka sedikit demi sedikit.

"Rara?" aku sedikit kecewa namun juga lega karena ternyata kejadian yang baru aku alami hanyalah sebuah mimpi.

"Badan kamu makin panas Nay." Rara mengusap keningku dengan telapak tangannya. Wajahnya tampak cemas.

"Aku bawa ke dokter ya?" Sebuah suara lain tiba-tiba menimpali. Aku sedikit mendongakkan kepalaku dan mendapati Aldi datang dengan membawa segelas air dingin.

Aku mengeryitkan alis. Aku kira penglihatanku salah. Untuk apa pria itu berada di kamarku sekarang, apalagi hari sudah menjelang petang. Terlihat dari jendela kamar yang terbuka, lampu-lampu kota mulai tampak berkelip indah sedang di ujung barat sana, warna orange tengah menghiasi angkasa.

"Al, kamu ngapain kesini?" Aku membenarkan letak bantalku agar sedikit lebih tinggi.

"Aku yang nyuruh dia datang Nay. Soalnya aku bingung. Beberapa hari kamu sakit. Aku suruh ngehubungi Raga enggak mau, ya sudah karena sore tadi panasmu makin tinggi plus pakek acara ngigo segala, aku sengaja panggil Aldi kemari. Aku kan enggak tega ninggalin kamu pas sakit kayak begini." Papar Rara Panjang lebar.

Aku belum menyahut karena Aldi menyodorkan segelas air putih padaku. Memang nanti malam rencananya Rara mau pergi ke salah satu nikahan saudaranya. Aku yang setelah kejadian pertemuan dengan tante Rika itu mendadak sakit. Mungkin efek shock, terlalu stress sehingga membuat badanku menjadi seperti ini.

"Aku enggak apa-apa Ra. Kamu berangkat aja." Kataku setelah meneguk sedikit air putih itu. "Dan kamu pulang aja Al. aku tahu kerjaan kamu banyak."

Aldi menggeleng. "Mana mungkin aku pulang dengan kondisimu kayak begini Ra." Sahut Aldi. "Lagipula aku sudah susah payah menembus macet buat datang kesini. Biarin aku ngejagain kamu sementara Rara pergi."

Aku menoleh kepada Rara yang masih terlihat khawatir. "Nurut aja deh Nay…." Sahutnya kemudian.

Aku mengangguk pelan. Dalam kondisiku saat ini, aku memang tidak perlu menonjolkan sisi egoisku untuk bersikeras sendirian di rumah.

"Yaudah, aku siap-siap dulu ya. Kalau pengen makan apa, nanti telepon aku biar aku beli'in."

Aku mengangguk. Ujung mataku mengikuti Langkah Rara yang keluar dari dalam kamarku.

"Apa sebegitu menyakitkan Nay?" suara Aldi megurai sepi. Kulihat ia sudah menarik sebuah kursi dan duduk tepat di samping tempat tidurku.

"Apanya?" aku pura-pura tidak tahu. Aku memang menutup rapat tentang pertemuanku dengan Tante Rika dari siapapun, bahkan dari Rara. Gadis itu hanya tahu jika aku Kembali ribut dengan Raga. Setelah kejadian itu, aku memang menghindar dari Raga. Tidak adil memang untuk dia, namun aku yakin aku tak bisa menahan perasaanku Ketika bertemu dengannya. Jadi, aku beralasan pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan padanya. Awalnya dia memang tidak percaya, namun mungkin karena kesibukannya, Raga tak bertanya lebih lanjut.

"Aku sudah tahu semua." Sahut Aldi kemudian. "Sebelum tante Rika datang menemuimu, dia sudah lebih dulu mengatakan padaku tentang niatnya menjodohkan Raga dan Kania."

Mendengar nama perjodohan Raga dan Kania membuat hatiku ngilu mendadak. Aku seakan Kembali disadarkan pada suatu hal yang jelas-jelas tak akan pernah aku miliki selamanya.

"Apakah terlalu menyakitkan hingga kamu sampai seperti ini Nay?"

Aku meremas ujung selimutku. Mataku Kembali merebak panas. Susah payah aku menahan agar air mata itu tidak keluar namun ternyata percuma. Aku tidak tahu apakah pertanyaan Aldi hanyalah sekedar basa-basi atau memang pria itu tidak bisa membaca perasaanku. Jika aku disuruh untuk menjawab dengan jujur, aku pasti akan mengatakan bahwa hatiku benar-benar hancur, remuk tak bersisa. Perbedaaan strataku dengan Raga membuat hubungan yang seharusnya mudah menjadi sangat sulit.

"Kalau kamu memang mencintainya, berusahalah. Ajak Raga menikah sekarang. Semuanya belum terlambat Nay…."

"Semua sudah terlambat Al." Sahutku cepat. "Mana mungkin aku merusak rencana keluarga Gunawan. Apalagi orang itu hanya aku…"

"Apa yang salah dengan kamu?" Aldi menatapku intens. "Kamu cantik, menarik, dan berpendidikan."

Mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk merasa tersipu dengan sanjungan Aldi padaku.

"Kamu pasti tahu alasannya apa kan Al?"

"Karena kamu tidak punya apa-apa?" Aldi menyandarkan tubuhnya pada tubuh kursi. "Ayolah Nay, untuk hal seperti itu tidak usah kamu pedulikan. Tidak ada bedanya dengan seseorang yang punya uang banyak atau yang tidak punya apa-apa. Apalagi tentang cinta. Bersandarlah pada Raga seakan kamu memang tidak bisa melakukan apapun sendiri. Menikahlah dengan dia. Dan jikapun taka da restu, kalian bisa kawin lari. Aku yakin Raga tak akan keberatan karena dia sangat mencintaimu."

"Kamu gila!" protesku."Dia tidak perlu mengorbankan keluarganya demi bisa menikah denganku. Apalagi kehilangan semua yang ia punya. Tidak Al!"

"Lagipula semuanya udah ditentukan Al. selama ini aku memang tidak pernah punya niat untuk menikah dengan sepupumu, meskipun aku sangat mencintainya. Aku tahu jika Raga terus berusaha agar aku menerima lamarannya. Aku tahu dia begitu menyukai anak kecil, bahkan ia sangat Bahagia Ketika anak kecil itu mengompol di bajunya. Dan jika sekarang orangtuanya menginginkan ia menikah dengan wanita yang sudah ditentukan keluarga, aku bisa apa?"

"Kamu yakin?" Aldi menarik nafas pelan. "Apa kamu yakin akan bisa menerima ini semua? Apa kamu yakin tidak akan menyesal?"

"Aku yakin."

Aldi tertawa hambar.

"Semua tidak akan sesederhana itu Nay. Apalagi tentang perihal melepas seseorang yang kamu cintai."

"Kamu tahu apa Al. bahkan selama ini aku tidak pernah melihatmu serius dengan seseorang." Aku mulai kesal dengan kata-katanya yang memojokkanku.

Aldi terdiam sesaat. Suaana kamar berubah hening. Bahkan suara detak jam dinding di depan televisi saja tak terdengar. Mungkin kehabisan baterai.

"Aku pernah kehilangan Nay. Dan itulah hal yang membuatku trauma untuk menjalin hubungan sampai sekarang."

Kini aku yang mengatupkan bibirku dengan rapat. Astaga, apa yang sudah aku lakukan? Apakah aku baru saja membuat Aldi Kembali membuka luka lama yang sudah dikuburnya?

"So…sorry Al. aku bukan bermaksud untuk membuat kamu mengingat masa lalu kamu."

Aldi tersenyum tipis. Memperlihatkan lesung pipinya yang indah.

"Tidak masalah. Aku tidak merasa terbebani dengan apa yang baru saja aku katakan." Dia memperbaiki posisi duduknya. "Kami menjalin hubungan Ketika aku tinggal di Jerman. Aku pikir, Ketika dia meninggalkanku dan memilih menikah dengan orang lain, aku bisa segera melupakannya Ketika Kembali ke Indonesia. Nyatanya…" pandangan Aldi menerawang. Aku bisa melihat gurat kepedihan itu dari raut wajahnya. Namun Ketika aku menyuruhnya untuk tak Kembali melanjutkan cerita, ia menggeleng. Malam ini, aku mendengarkan kisah cintanya yang kandas beberapa tahun lalu. Dan mengertilah aku sekarang, bahwa di sini, di dalam kamar ini ada dua orang manusia yang tak berdaya, karena sebuah perasaan yang dinamakan 'cinta'.

Dan di dalam kamar ini pula aku semakin mengerti bahwa tidak semua cinta bisa diperjuangkan dan dimiliki. Sebagian hanya akan menjadi sebuah kenangan, yang ternyata akan terus menyakitkan sampai kapanpun.

*****