Chereads / Ambiguous Love / Chapter 10 - Para Penghancur

Chapter 10 - Para Penghancur

Gadis itu tersenyum lebar menyambutku ketika mata kami beradu pandang. Dia begitu cantik, dengan rambut panjang, tubuh tinggi semampai dengan senyum ceria yang terus terukir di bibirnya. Dia hidup seakan tanpa beban, tentu saja. Ia bisa mendapatkan apapun yang ia mau, membeli apa yang ia ingin dan pergi berlibur ke luar negeri setiap waktu.

"Udah lama nunggu Yaz?" Aku duduk di depannya. Pada sebuah bangku bergaya modern dari kayu berwarna coklat.

"Enggak mbak. Aku baru sampai sepuluh menit lalu." Diaz tersenyum. "Sesuai permintaan mbak Naya. Aku udah mesenin smoothies strawberry."

Aku mengangguk. Pagi tadi, Diaz menelponku dan ingin bertemu denganku. Maka hari ini, sepulang kantor aku segera menemuinya di sebuah café yang tak jauh dari kantor.

"Gimana kuliah kamu?" tanyaku kemudian, sekedar basa-basi. Karena Raga sering memberitahuku tentang Diaz yang mengambil jurusan kedokteran di sebuah Universitas di Jakarta.

"Kayaknya aku salah ambil jurusan deh mbak." Cicitnya sambil memainkan sedotan.

"Emang kenapa?" aku menyesap minumanku.

"Aku udah pusing tujuh keliling kalau disuruh ngapalain anatomi tubuh manusia."

Aku tertawa. Aku tahu jika Diaz hanya merendah, karena yang aku tahu bahwa gadis di depanku ini sangat cerdas. Meskipun beberapa kali ia mengeluh karena jadwalnya yang super padat dan materi kuliah yang semakin rumit, tetap saja ia bisa memperoleh IP yang begitu memuaskan.

"Dinikmati Yaz." Pesanku. "Nanti kalau udah kerja mumetnya dobel lho."

"Masa mbak?"

"Iya. Sambil mikirin angsuran." Kekahku yang dibalas kekahan juga oleh Diaz.

"Tapi beneran lho Yaz, nanti kalau kamu udah kerja bakalan kangen maa-masa kuliah. Kangen suasannya, kangen temen-temennya…."

"Tapi kalau mbak Naya rasanya sama 'kan?" Dia menaikkan alisnya.

"Sama apanya?"

"Pacarnya lah mbak." Jawabnya. "Kan dari semester satu kuliah, sampai sekarang pacarnya mas Raga terus."

Aku mengulum senyum.

"Enggak bosen sama mas Raga mbak?"

"Ah, enggak dong Yaz. Mas-mu kan orangnya baik."

"Masa sih? Sama aku kok enggak?"

"Enggak gimana?"

"Suka usil gitu."

"Itu yang Namanya sayang Yaz." Jawabku. "Masmu itu bangga sama kamu lho. Tiap sama mbak, dia pasti semangat kalau cerita tentang kamu kuliah di kedokteran. Katanya biar ada yang ngerawat papa nanti."

Diaz menunduk, wajahnya tersipu karena mendengar celotehanku.

"Oh ya, kamu mau ngomong apa kok pengen ketemu sama aku Yaz?" aku mengalihkan pembicaraan.

"Oh iya, sampe lupa khan." Ia membuka tasnya, lantas mengeluarkan sesuatu dari sana. "Undangan pesta ulang tahun!" ia menyerahkan kertas yang ternyata berisi undangan itu padaku.

Aku menerimanya, lantas membukanya perlahan. Pesta ulang tahun Diaz yang ke dua puluh satu dan akan diadakan di sebuah ballroom hotel ternama di Jakarta.

"Dateng ya mbak!" pintanya kemudian.

Aku menimang undangan tersebut lantas mengangguk pelan. Jika datang, otomatis aku akan bertemu dengan orangtua Raga. Meskipun mereka menerimaku dengan baik, namun aku sering merasa minder jika bertemu dengan mereka. Belum lagi bertemu dengan keluarga Raga yang lain dan tentu saja teman-teman bisnis mereka. Rasanya begitu menyesakkan dadaku.

"Dresscode-nya?" tanyaku kemudian.

"Dress putih mbak."

Aku tersenyum. Kami kembali terlibat obrolan-brolan ngalor ngidul seputar pekerjaan dan kuliah Diaz. Hingga akhirnya dering ponselku mengalihkan perhatian kami. Ayu—adikku menelpon.

"Kenapa Yu?" tanyaku. Jika Ayu menelpon, bisa dipastikan ada sesuatu hal yang penting. Karena ia tidak pernah menelponku hanya untuk urusan basa-basi.

"Mbak." Suara Ayu bergetar. "Mbak bisa ke rumah sekarang?"

"Kenapa Yu? Suara kamu kenapa?" Aku mulai panik.

"Mbak….penagih hutang datang ke rumah. Ngamuk-ngamuk. Ayu takut mbak…." Terdengar suara benda pecah di seberang sana.

Deg! Jantungku seakan mencelos turun ke dasar perut sekarang. Aku tahu jika rentenir itu bakalan datang untuk menagih hutang ayahku karena sampai sekarang aku belum mendapatkan uang itu sepeserpun, namun aku tidak mengira jika mereka sampai ngamuk dan membuat kacau di rumah.

"Tapi kamu enggak diapa-apain kan?"

"Enggak mbak. Mereka hanya membanting barang."

Aku menelan saliva susah payah. Sebenarnya ingin menyembunyikan raut wajahku dari Diaz, namun aku yakin jika gadis di depanku ini sudah bisa membaca situasiku sekarang.

"Iya Yu, mbak pulang sekarang." Aku menutup telepon dan dengan tergesa membereskan tasku.

"Kenapa mbak?" tanya Diaz ketika aku bersiap pergi.

"Em….em….ada….ada sesuatu di rumah Yaz. Sorry ya, kapan-kapan kita bisa ngobrol lagi." Aku beranjak dari dudukku dan menyampirkan tas di bahu.

"Aku annter aja mbak." Diaz mencekal lenganku.

Sebenarnya itu bukan ide yang buruk. Namun sepertinya bukan sesuatu yang baik jika Diaz sampai tahu apa yang terjadi di rumah.

"Mbak, jam pulang kerja kayak gini angkutan penuh semua. Tak ante raja biar cepet ya?"

Aku hendak menolak. Namun tangan Diaz sudah menarikku untuk segera beranjak dari café. Gadis itu tak mengatakan apapun, hanya jemarinya saja yang semakin erat mencengkeram pergelanganku.

Aku terdiam, yang terpenting sekarang adalah aku harus segera sampai di rumah, memastikan bahwa keluargaku aman. Masalah uang, nanti aku pikirkan.

*****

Mobil Diaz membelah gang sempit menuju rumahku, dan berhenti tepat dihalaman. Dadaku berdesir ketika melihat sebuah mobil hitam juga terparkir di depan rumah, yang aku yakini jika mobil itu pasti milik dari rentenir tersebut.

Tanpa menunggu Diaz mematikan mesin mobil, aku segera bergegas masuk ke dalam rumah. Semua mata mengalihkan pandang kearahku ketika aku muncul dari balik pintu.

Namun disini, akulah yang cukup tercengang. Ibu menangis terisak memeluk lutut di lantai. Ayu mendekap anaknya dengan erat dengan wajah ketakutan. Perabot berantakan dan ada sebagian yang pecah. Dua orang laki-laki tinggi besar mirip gangster di film-film action tengah berdiri dengan bersidekap. Pandangannya sama sekali tidak ramah. Entah datang dari mana mereka, entah ayah mengenal dari mana orang-orang seperti mereka. Orang yang tak pantas dan tak seharusnya dikenal.

"Ibu…." Aku menghambur memeluk ibu. Mataku basah, entah sejak kapan. Terlalu miris hatiku melihat keluargaku yang begitu memprihatinkan seperti ini.

Ibu semakin terisak, dipeluknya tubuhku dengan erat. Pundaknya bergetar hebat. Aku tahu ibu tak berdaya, namun ia tak bisa menghindari ini semua.

"Jadi mana uangnya!" suara berat menggema di ruang tamu rumahku yang kecil.

Aku menoleh. Sungguh mereka tidak punya hati sama sekali. Bagaimana bisa setega itu menagih hutang bahkan dengan keadaan rumah kami yang seperti ini. ditambah bonus memecahkan perabot pula.

"Aku sudah bilang kalau akan membayarnya." Aku mencoba berkata tegas meskipun tak bisa menyembunyikan ketakutanku.

"Ini sudah lebih dari waktu yang kami tentukan!" salah satu pria dengan tato di tangannya mendekat ke arahku. Aku mencoba bersikap tenang, meremas erat ujung kemejaku untuk sekedar mendapat kekuatan.

"Kamu pikir kami main-main?!" ia menendang sebuah kursi kayu, dan efeknya adalah kursi itu terpental jauh. Menimbulkan suara derikan panjang diiringi suara tangis Visco yang membahana.

"Apa kalian tidak bisa bersikap halus? Disini ada bayi!" jeritku.

Pria itu tertawa. "Kamu pikir apa ayahmu bisa bersikap lebih baik? Dia sudah bertahun-tahun berhutang pada kami. Dan nyatanya sampai sekarang hutangnya belum juga lunas."

"Iya, karena kalian membungakan hutang-hutang itu!"

"Jangan salahkan kami!" algojo satu lagi, yang berperawakan lebih kurus menyela. Dikeluarkannya selembar kertas dari dalam saku jaket hitamnya. "Ayahmu sendiri yang setuju dengan bunganya. Lihatlah, bukankah ini tandatangan dan sidik jari ayahmu? Diatas materai?" ia memperlihatkan kertas itu tepat di depan mataku.

Aku terdiam. Meskipun sudah lama tidak bertemu ayah, aku masih hafal betul tandatangan dan tulisannya. Dan aku tidak bisa mengelak untuk hal ini.

"Jadi, bayarlah hutang kalian. Atau kalau tidak, kalian bakal hidup menggelandang di tengah jalan!"

"Aku mohon!" pintaku penuh keputusasaan. Meskipun sekarang aku diancam akan dibunuh pun, aku sama sekali tidak bisa memberikan uang itu. Karena aku tidak punya.

"Mohon?!" mata pria bertato itu menyalak marah. "Apa kalian pikir kami main-main?"

"Berapa hutangnya sih?" sebuah suara menginterupsi. Kami semua menoleh ke sumber suara. Aku bahkan lupa jika sejak tadi ada Diaz yang tengah menyaksikan adegan bak drama di rumah kami.

"Diaz…." Gumamku pelan.

Diaz tak memperdulikan panggilanku. Ia yang sejak tadi berdiri di depan pintu akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah dan berhenti tepat di depan pria bertato.

"Berapa hutang mbak Naya?" Suaranya terdengar lantang. Ia tak peduli dengan beberapa pria yang bertubuh tinggi dan kekar yang tengah menatapnya dengan sadis itu.

"Limapuluh juta."

Diaz tak menyahut. Ia menunduk, mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam dompetnya.

"Itu nomor gue. hubungi gue secepatnya dan hutang-hutang mbak Naya bakalan lunas."

"Jangan Yaz!" seruku. Aku tidak mau melibatkan Diaz dengan hal ini. Namun Diaz tidak bergeming, bahkan ia terkesan mengabaikanku sekarang.

Pria algojo itu saling pandang. "Kamu yakin?"

"Ya! Jika kalian tidak yakin, kalian bisa datang kemari lagi."

Pria itu manggut-manggut sambil menimang-nimang kartu nama yang tadi diberikan oleh Diaz. Setelah memanggil kawanannya lalu berbisik-bisik entah tentang apa, akhirnya mereka pergi.

****

Aku menyeka air mata yang sesekali masih menetes di pipiku. Di sampingku, Diaz duduk dengan diam. Sesekali kulihat dia melempar pandang ke sembarang tempat, mungkin sedang memperhatikan anak-anak kecil yang sedang bermain-main di taman dekat rumahku.

"Yaz, seharusnya kamu enggak usah bantuin mbak." Ucapku pelan, namun Diaz terlihat tak peduli.

"Mbak janji, bakal balikin uang kamu."

"Mbak…." Diaz menatapku, wajahnya tampak kurang senang. "Kenapa sih, mbak Naya masih mikirin hal itu?" dengusnya kemudian. "Kita ini keluarga mbak!"

Hatiku terasa miris ketika Diaz menyebut bahwa kami ini adalah keluarga. Mungkin kami memang dekat, namun aku tidak bisa melewati sebuah garis batas diantara kami. Sebuah garis yang aku buat sendiri, dan membuatku terasa semakin jauh dengan Raga dan keluarganya.

"Yaz. Aku enggak bisa. Apalagi masalah uang, dan jumlahnya gak sedikit."

"Tapi mbak Naya pacar mas Raga. Dan sebentar lagi juga mau jadi keluarga 'kan?"

Aku tak menyahut. Jadi keluarga? Entah kapan. Bahkan aku tak pernah berfikir sampai demikian.

"Mbak Naya kenapa sih enggak pernah cerita sama mas Raga masalah ini?"

Aku menunduk. "Aku Cuma enggak mau membebani mas-mu Yaz."

Diaz tertawa hambar.

"Mbak, mas Raga itu pacarnya mbak. Jadi maklum dong kalau mbak bisa bersandar sama dia. Kalau dia sampai tahu keadaan mbak Naya kayak gini, dia bakalan sedih mbak."

"Mas nggak baakalan tau Yaz." Aku menoleh. "Asal kamu enggak kasih tau dia."

Diaz tak menjawab. Hanya menghela nafas pelan. Mungkin heran dengan apa yang aku lakukan.

"Yaz." Aku meremas jemari Diaz. "Please, jangan bilang Raga ya soal ini."

"Tapi mbak—"

"Please Yaz." Mohonku.

Diaz menyugar rambutnya. Setelah beberapa lama terdiam, ia akhirnya mengangguk dengan pelan.

"Oke, aku enggak akan bilang sama mas Raga mbak. Asal mbak Naya akan selalu cerita keadaan mbak sama aku."

"Makasih Yaz." Aku memeluk Diaz dengan perasaan yang belum sepenuhnya tenang.

******