Beberapa hari setelah pertemuanku dengan Kana dan temannya masih menyisakan sebuah hal besar di hatiku. Aku tidak percaya jika dengan memoles wajah seseorang bisa semembahagiakan itu. Aku bisa menikmati semuanya yang kukerjakan Ketika menabur bedak di wajah Nina, memoles lipstick, bahkan eye shadow. Padahal dulu aku beranggapan bahwa menjadi make-up artist sama ekali bukanlah hobiku melainkan sebuah pelarian dari keputusasaanku Ketika tidak juga menemukan pekerjaan. Nyatanya, Ketika aku benar-benar merias seorang calon pengantin, perasaanku berubah. Aku tiba-tiba menyukai pekerjaan itu, entah karena apa.
Seolah memang kejadian waktu itu tak bisa kujadikan angin lalu, Kana terus menghubungiku dan memintaku untuk bertemu. Bahkan kemarin dia sempat mengirimiku sebuah brosur sebuah sekolah make-up artist terkenal di Jepang sedang membutuhkan peserta didik baru. Kana bilang, aku mempunyai bakat yang menakjubkan dan harus mengasahnya. Alih-alih menerima brosur itu, aku justru tertawa sendiri. aku memang menyukai pekerjaan itu, tapi tidak menjadikannya sesuatu yang benar-benar harus aku perjuangkan saat ini, apalagi harus pergi ke Jepang dan bersekolah di sana meskipun aku amat menyukai negara itu. Aku harus realistis. Ada keluarga yang membutuhkanku di sini untuk menyambung hidup.
"Mau kemana Nay?" Rara menatapku dengan kening berkerut Ketika melihat aku keluar dari dalam kamar dengan pakaian rapi siang ini. "Bukannya lo lagi libur?"
Aku menutup pintu kamarku perlahan. Alih-alih menjawab kalimat Rara, aku justru heran melihatnya siang bolong seperti ini berada di apartement dan memasukkan beberapa helai pakaiannya ke dalam koper.
"Lho, mau kemana?" aku mendekat ke arahnya, menatap tumpukan baju dan beberapa peralatan kamar mandi di atas meja. "Pulang kampung?"
Rara menggeleng. Ia menjeda pekerjaannya lalu menegakkan tubuh. Seulas senyum tiba-tiba menghiasi bibirnya.
"Holiday…" bisiknya pelan namun cukup terdengar sampai telingaku.
"Holiday?" aku menaikkan alis tidak mengerti.
"Sama Kevin." Sahut Rara tanpa menoleh padaku.
Mataku membulat tidak percaya. "Jadi….jadi…kalian…?" aku terlalu antusias dengan hal ini.
Rara tampak tersipu malu.
"Kami sedang mencoba untuk terbuka satu sama lain Nay." Gumamnya.
Aku tertawa. Sudah begitu lama aku tak berkumpul Bersama Rara dan Kevin lalu tiba-tiba saja mendengar jika mereka mulai membuka hati satu sama lain. Akh betapa bahagianya aku.
"Jadi kalian mau liburan kemana?" godaku kemudian sambil menyenggol baju Rara.
"Enggak liburan kayak yang kamu pikir Nay. Kevin Cuma ngajakin aku ke rumah pamannya di Semarang."
"Oh…..kupikir kalian mau holiday aja berdua."
Rara berdecak. "Belum waktunya. " ia Kembali memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper.
Aku tersenyum mendengar kalimat Rara. Sepertinya sahabatku ini memang sudah berubah. Semenjak kejadian fatal yang mencelakainya waktu itu, Rara berubah menjadi gadis baik-baik. Tampaknya ia tak keberatan meninggalkan kelab malam, alcohol dan bahkan cinta satu malam. Setiap malam ia berada di rumah dan menghabiskannya bertelponan atau bertemu dengan Kevin.
"Oh ya Nay, kamu mau kemana?" ia mengulangi pertanyaannya tadi ketika dilihatnya aku masih berdiri di sampingnya.
"Mau ke kantornya Raga, nganterin makan siang." Aku menunjuk ke meja dapur. Di sana sudah ada kotak bekal warna merah yang berisi makan siang yang sengaja kumasak untuk kekasihku beberapa saat yang lalu.
"Ciee….romantis banget sih lo Nay?"
Aku tertawa kecil. Kakiku mengayun lantas mengambil bekal makan siang itu di atas meja.
"Aku berangkat ya Ra. Jangan lupa kabarin kalau udah sampai." Kataku Ketika bersiap membuka pintu, dan kulihat Rara mengangkat jempolnya.
Aku bersyukur Rara telah melewati masa-masa sulitnya dengan baik. Dari sebuah keadaan yang membuatnya menyadari akan satu hal, bahwa terkadang seseorang yang tepat itu bahkan ada di sekitar kita.
*****
"Lho, kok enggak kasih kabar kalau mau datang Nay?" sebuah suara terpaksa membuatku menghentikan Langkah. Saat aku menoleh, kulihat Andra sekertaris Raga sudah menghampiriku.
"Mau nganterin makan siang nih." Aku mengangkat kotak bekal yang kubawa.
Pria berdasi itu mengerutkan alisnya. Seakan dia sedang ingin memberitahuku sesuatu.
"kenapa?" tanyaku pada akhirnya.
"Pak Raganya lagi pergi Nay." Sahut Andra kemudian. "Memang enggak kasih tau kamu?"
Aku menggeleng. "Enggak. "Perasaanku tidak enak. Nama Kania tiba-tiba menari-nari di pikiranku. "Dia pergi sama Kania ya?"
"Kok tau?"
Aku mendesah. Kembali perasaan cemburu menganggu pikiranku.
"Emang acara apa sih?" Dalam hati aku ingin marah pada Raga karena tak memberitahuku jika tengah pergi bersama Kania. Tapi terasa berlebihan sekali jika aku memintanya untuk laporan jika pergi dengan Kania, padahal mereka berada di dalam satu kantor dan untuk urusna pekerjaan pula.
Andra melipat tangannya di depan dada.
"Sudah beberapa minggu ini perusahaan kehilangan investor terbaik Nay, dan Pak Raga sedang beruaha untuk menyelesaikan itu."
"Investor terbaik?" aku mengerutkan alis. Kenapa Raga tidak cerita?
"Iya, Namanya pak Andi. Waktu itu seharusnya Pak Raga main golf sama pak Andi. Tapi entah kenapa, bahkan sebelum acara dimulai, pak Raga justru pergi begitu saja. dan pak Andi marah." Andra mengedikkan bahunya. "Heran, apa ada yang lebih penting dari hal itu?"
Aku tidak mungkin lupa dengan nama yang disebutkan oleh Andra. Dan aku juga tak mungkin lupa dengan insiden yang menyebabkan Raga pergi meninggalkan rekan bisnisnya begitu saja seperti itu. Tapi bukankah waktu itu Raga bilang jika urusannya dengan pak Andi sudah selesai? Mungkinkah dia berbohong hanya untuk menenangkanku?
Tubuhku terasa lemas. Ada hal-hal tidak menyenangkan yang mengusik hatiku. Aku benci pengorbanan seperti ini, dan bahkan yang menyangkut tentang masa depan perusahaan.
"Nay, kamu kenapa?" Andra mengusik monolog di pikiranku. Ia menatapku dengan heran karena tiba-tiba aku terdiam di depannya.
"Ah…enggak….." aku tergagap, langsung saja kuserahkan kotak makan siang itu pada Andra sebelum akhirnya bergegas pergi.
"Nitip buat Raga ya."
*****
Perasaan galau masih terus mengangguku bahkan ketika aku sampai di lobi. Aku keluar dari lift dengan perasaan bersalah sekaligus marah. Bagaimana mungkin Raga mengesampingkan kepentingan perusahaannya hanya demi aku. Hanya demi menemani aku di rumah sakit ketika Rara dapat musibah waktu itu.
Lututku lemas. Sebelum benr-benar pulang, aku memilih untuk duduk di salah satu sofa di sudut lobi untuk mengurai perasaanku yang masih tidak karu-karuan.
Kusandarkan kepalaku di badan sofa, sedang mataku fokus melihat lalu Lalang manusia yang keluar masuk dari pintu utama. Awalnya keadaan tampak biasa saja sebelum akhirnya tatapanku fokus pada beberapa karyawan yang terlihat membungkuk hormat Ketika seseorang masuk. Dan aku tahu jika orang yang begitu mereka hormati itu adalah Raga—kekasihku.
Awalnya aku ingin beranjak dari dudukku dan menghambur ke arahnya. Namun keinginanku sirna saat ingat bagaimana ia membohongiku dan bagaimana ia begitu tegap berjalan dengan penuh karisma di depan karyawan-karyanannya. Di sampingnya terlihat Kania menyusul langkahnya yang lebar-lebar. Mereka terlihat begitu sibuk, dan aku tidak berani menganggunya.
Melihat pemandangan itu, aku semakin merasa jika jarak diantara kami begitu jauh. Dia begitu tinggi, terhormat dan penting. Bandingkan denganku yang tak memiliki apapun yang bisa aku banggakan sepertinya. Saat ia berjalan, semua orang mengenalnya dan menaruh hormat di depannya. Sebuah pemandangan cantik layaknya film-film. Tapi ini nyata, dan aku tidak bisa memposisikan diriku seperti wanita-wanita beruntung di dalam film-film itu.
Setelah memastikan lift yang membawa Raga sudah tertutup sempurna, aku lantas beranjak dari posisiku dan berjalan gontai di trotoar dengan beragam pikiran. Aku tahu jika Raga mencintaiku, bahkan mungkin lebih dari itu, namun aku selalu merasa jika ia tak perlu memberikan semuanya untukku bahkan mengorbankan sesuatu yang penting seperti itu. Aku memang sebuah impian untuknya, namun seharusnya ia menyadari sebuah kenyataan. Bahwa ada sebuah penghalang besar diantara kami yang mungkin tak Raga sadari namun cukup aku mengerti. Kami berbeda, dan aku tidak yakin bisa terus mengimbanginya.
*****