Aku tahu, bahwa hal paling menggembirakan dalam hidupku adalah Ketika raga ada di sampingku. Buktinya Ketika beberapa hari lalu kita berbaikan, aku Kembali bersemnagat menjalani hidupku. Kejadian ini mungkin sedikit demi sedikit mulai menyadarkanku tentang betapa pentingnya dia dihidupku. Dan aku rasa, aku mungkin bisa memikirkan ulang tentang pernikahan dengannya jika dia Kembali melamarku nanti.
"Masak apa?" tiba-tiba saja Raga sudah memelukku dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundakku.
"Akh, ngangetin aja!" protesku. Karena aku sedang sibuk mengaduk sup dan cukup terkejut Ketika tangan kokoh itu tiba-tiba melingkar di pinggangku.
"Aku laper…." Raga melirik kearah panci sebelum akhirnya menarik tubuhku untuk menghadap ke arahnya. "Tapi lapernya pengen makan kamu!"
"Raga!" Decakku. "Ini di dapur, jangan main-main deh kamu—"
Namun belum selesai dengan kalimatku, Raga sudah menyumpal mulutku dengan ciumannya. Lumatan-lumatan kecil yang berhasil membuat tubuhku menegang.
"Raga…." Aku mendorong tubuhnya menjauh. Dan mataku menangkap reaksi protes dari matanya. "Makan dulu, kita terusin nanti yah?"
Raga berdecak, namun tak ada yang bisa dilakukannya selain menurut. Sebelum Kembali ke depan televisi, ia mengecup bibirku sekali lagi sambil bergumam. "Aku tidak akan melepaskanmu nanti, lihat saja!" seringainya.
Aku tersenyum, Kembali menghadap ke arah panci supku yang mendidih. Setelah mencicipi dan aku rasa cukup enak dimakan, segera kusiapkan sup panas itu ke dalam mangkuk.
Ketika sedang sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk makan siang, tiba-tiba ponselku di atas meja bergetar.
Sebuah pesan dari Tante Rika membuat keningku berkerut. Karena baru kali ini mama dari kekasihku itu menghubungiku. Aku memang punya nomornya, namun waktu itu hanya Raga yang memasukkannya dengan alasan aku bisa menghubungi mamanya jika Raga tidak bisa dihubungi. Meskipun aku juga tak pernag menghubungi tante Rika, walau Raga tidak bisa dihubungi.
'Naya….nanti sore kita bisa ketemu? Tante tunggu di café depan hotel Serenity.'
aku merasa ada sesuatu yang begitu penting yang akan tante Rika bicarakan denganku, sampai-sampai ia mengajakku untuk bertemu.
"Siapa sayang?" Suara Raga membuatku reflek mengangkat dagu.
"Oh, Cuma ibu yang nyuruh aku datang nanti sore." Jawabku sambil memasukkan ponselku kedala celana jeans. Aku tak perlu memberitahu Raga tentang pesan yang baru dikirim oleh mamanya untuk mengajakku bertemu, karena aku tahu ia pasti akan langsung menelpon mamanya dan menanyakan maksud pertemuan kami.
"Jadi nanti sore kamu keluar?" Raga menggeser kursi lantas duduk di sana. Matanya terarah padaku yang sedang sibuk menyendokkan nasi dan lauk ke dalam piring.
"Cuma sebentar kok. Habis itu kesini lagi." Aku menyerahkan piring itu pada Raga dan diterimanya dengan seulas senyum terimakasih.
"Aku ikut gimana?"
Aku duduk di kursi, sambil berfikir. Berusaha mencari cara agar ia tak ikut denganku nanti sore.
"Enggak akh. Kalau kamu ikut nanti jatuhnya lama!"
Raga mencebik. "Iyad eh iya….tapi janji ya, jangan lama-lama. Aku libur, dan pengen menghabiskan waktu sama kamu."
Aku mengangguk. "Iya sayaaang…." Tawaku. "Cepetan di makan, nanti keburu dingin!"
******
Saat aku tiba, wanita setengah baya berparas cantik itu sudah duduk dengan menatap keluar jendela. Di depannya secangkir kopi masih tampak mengepul dan belum tersentuh sama sekali.
"Tante…." Panggilku pelan, dan tante Rika menoleh.
"Duduk Nay…." Ia mempersilakan aku duduk.
"Mau pesan apa Nay?" tanyanya Ketika aku sudah duduk bersebrangan dengannya.
Aku menggeleng. Sepertinya aku maupun tante Rika tidak akan menghabiskan waktu lama di sini dengan basa-basi. Apa yang perlu kami bahas untuk basa-basi sementara pandangan hidup kami berbeda. Mau membahas tentang tas Prada keluaran terbaru? Atau perjalanan melelahkan Jakarta-Hongkong untuk bisnis atau liburan? Atau pergi ke Paris untuk berburu baju keluaran terbaru? Akh, aku sama sekali tidak mengerti tentang hal itu.
"Tidak usah tante. Saya tahu jika tante sedang terburu-buru." Dalihku kemudian.
Tante Rika tersenyum manis lalu menyesap kopinya. Ia bukan tipe wanita kaya yang judes dan galak seperti di film-film. Wajahnya lembut dan sangat keibuan,dan selama ini selalu memperlakukanku dengan baik meskipun aku tahu jika ia memang akan melakukan hal-hal seperti itu pada teman anak-anaknya dan kenalannya. Kami memang mengenal sudah cukup lama, namun bukan berarti aku sangat dekat dengannya dan bisa bertukar cerita bersama dalam hal apapun. Aku sadar diri, bahwa aku tak boleh melangkah melebihi batasan yang sudah keluarga Raga buat. Mereka bukan orang seperti aku yang bisa hidup seminggu dengan uang seratus ribu di dalam dompet.
"Ngomong-ngomong, ada perlu apa tante memanggil saya?" tanyaku kemudian.
Tante Rika belum menjawab. Ia seakan sedang mempersiapkan diri dengan apa yang akan dikatakannya.
"Kondisi papa Raga semakin memburuk Nay….."
Aku tak menjawab. Sudah tahu kabar itu karena Raga sudah cerita padaku beberpa hari lalu bahwa papanya semakin sering keluar masuk rumah sakit karena penyakit jantungnya.
"Jadi, beberapa hari ini ia terus mendesak Raga untuk segera menikah."
Aku cukup terkejut dengan kalimat itu. Namun berusaha menguasai diriku untuk tidak melompat dari kursiku sekarang. Aku memang sempat berfikir jika tante Rika akan membahas masalah hubunganku dengan Raga, namun tidak pernah berfikir jika ia akan membahas tentang permintaan terakhir dari seorang papa pada anak lelakinya.
"Jadi tante?"
"Bagaimana hubungan kalian?" ia mulai menginterogasiku.
"Hubungan kami baik."
"Apa kalian ada niatan mau menikah?"
Aku tak menjawab. Selama ini aku memang mencintai Raga, namun untuk menikah dengannya memang masih sangat jauh dari angan-anganku. Beberapa hari ini aku terfikir untuk menerima lamarannya, namun bukan untuk menikah secepat ini. Setidaknya aku perlu penghasilan yang layak dan posisi yang bagus untuk memantaskan diriku bersanding dengan salah satu keluarga terkaya di negara ini.
"Untuk itu, kami masih merasa nyaman dengan hubungan seperti ini." Aku menunduk. Entah apa yang ku katakan ini benar atau salah.
Tante Rika terdiam sesaat, ia menatapku sebelum akhirnya berkata:
"kalau begitu lepaskan Raga Naya."
Aku mendogak begitu saja karena terkejut. Aku pikir tante Rika sedang berusaha membuat lelucon denganku, namun dari wajahnya dan sikapnya aku yakin jika apa yang dikatakannya ini benar-benar serius.
"Maksud…..tante…..?" aku terbata. Entah kenapaa mataku tiba-tiba terasa panas.
"Naya, kamu tahu bukan posisi Raga sebagai pewaris perusahaan? Tante dan om sangat menginginkan ia menikah segera. Mungkin bagi kalian,pernikahan tidak begitu penting di jaman sekarang. Tapi bagi kami, pernikahan anak-anak adalah sesuatu yang benar-benar kami nantikan. Dan sejujurnya…" tante Rika menjeda kalimatnya. Memandangku dengan pandangan sedikit prihatin. "Kami tidak ingin kalian terus menjalin hubungan tanpa ikatan apapun seperti ini. Harga diri kami diperatruhkan disini Naya. Jikapun Raga tidak bisa meninggalkan kamu, setidaknya mengalahlah untuk dia. Beberapa tahun lalu, kami sudah sepakat dengan orangtua Kania untuk menikahkan Raga dengan Kania." Tante Rika meremas punggung tanganku.
"Tante harap kamu mengerti dengan apa yang terjadi sekarang. Keluarga kami bukan keluarga biasa Naya…"
Aku menelan saliva susah payah. Berusaha mengontrol air mataku yang mulai merebak di pelupuk mata. Sebuah kenyataan menyakitkan yang baru saja kudengar setelah hubungan kami yang lebih dari tujuh tahun. Tapi mungkin ini semua memang salahku. Salahku yang tak menerima lamaran Raga sejak dulu dan lebih berani untuk melangkah ke depan meskipun kami berbeda status sosial. Dan sekarang, bagaimana aku bisa mempertahankan ini semua jika ternyata sejak dulu aku tak pernah masuk dalam daftar menantu idaman dari keluarga tante Rika. Lebih menyakitkannya lagi, kenapa harus Kania? Kenapa harus seseorang yang selalu tak aku sukai semenjak kami sama-sama duduk di bangku kuliah?
Sepeninggal tante Rika, aku masih termenung di meja café itu sendirian. Pandanganku tertuju pada hujan diluar sana yang sedang menampar-nampar jendela. Suasana yang begitu pas dengan apa yang aku rasakan sekarang. Hujan, sepi, sendiri dan putus asa.
"Tante harap kamu memikirkannya dengan baik Nay." Kalimat terakhir Tante Rika sebelum meninggalkan mejanya masih terngiang jelas di telingaku.
Entah sudah berapa kali jerit ponsel di meja aku biarkan begitu saja. Aku tahu siapa yang begitu bersemangat meneleponku ini. Siapa lagi, Raga pasti sedang menungguku dengan cemas apalagi sekarang hujan begitu deras mengguyur bumi.
Karena merasa tidak tega, dengan berat hati aku mengulurkan tangan dan menggeser tombol hijau di layar ponsel.
"Naya…kamu dimana? Ini hujan lebat? Kamu enggak apa-apa kan? Kamu dimana? Apa aku jemput?" rentetan pertanyaan menggema di telingaku bahkan sebelum aku membuka mulutku untuk mengatakan 'halo.'
Aku menggigit bibir, menahan isakan tangisku yang justru kian menjadi Ketika mendengar suara Raga. Entah sampai kapan aku bisa menikmati suara kekhawatiran ini karena sebentar lagi mungkin dia yang begitu aku cintai tak akan menjadi milikku lagi.
"Ga….aku enggak bisa datang." Sahutku kemudian. "tiba-tiba saja badanku tidak enak, aku menginap di rumah ibu."
"Kamu sakit?!"
"Enggak, Cuma agak pusing." Jawabku bohong.
"Aku jemput ya, aku bawa ke dokter?"
"Tidak!" tolakku cepat. "Aku Cuma butuh tidur. Kalau mau makan, supnya diangetin lagi aja ya. See you." Aku segera menutup telepon, dan menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Tangisanku pecah, tumpah ruah di senja yang mendung seperti sekarang.