Sudah seminggu aku dan Raga sama sekali tak memberi kabar setelah perdebatan kami di apartement waktu itu. Dia mungkin benar, kami butuh waktu sendiri untuk mendinginkan hati kami yang terbakar. Meskipun aku sama sekali tak berniat menghubunginya lebih dulu, bukan berarti aku tak merindukannya. Sehari setelah ponselku sepi dari jerit teleponnya atau sekedar pesan untuk mengingatkan makan, aku teramat tersiksa untuk menahan diri tak mencari Raga. Aku tahu jika aku aneh, tak menginginkan sebuah ikatan yang lebih dari sepasang kekasih namun aku juga tak bisa hidup tanpa dia. Ironis, namun begitulah kenyataan jika kita sedang jatuh cinta.
Dua hari lalu, Rara Kembali ke apartement dan terlihat sangat Bahagia. Ia seolah terlahir Kembali dengan hidup lebih baik dan lebih beruntung. Mungkin Ketika kita menemukan orang yang tepat, kita akan sebahagia itu. Tak mencemaskan apapun atau bahkan berfikiran buruk seperti apa yang aku rasakan pada Raga. Apakah mungkin, Raga memang bukan orang yang tepat untukku meskipun kami saling mencintai?
"Ayolah Nay….kita keluar. Sekedar nyari angin. Ngopi-ngopi gitu!" Rara menghempaskan bokongnya di sampingku. "Gue tau lo lagi galau, tapi mengurung diri terus-menerus di apartement itu bukan sesuatu yang bagus!"
Aku menatap Rara sekilas sebelum akhirnya Kembali menatap layar televisi di depanku. Sejak pagi aku memang belum beranjak dari tempat dudukku dengan fokus—eh ralat! Dengan pura-pura fokus pada tayangan di depanku meskipun sebenarnya pikiranku jalan-jalan entah kemana.
Rara berdiri. "Please!" dia menarik lenganku.
"Kemana Ra?" Aku beranjak dengan malas.
"Anterin gue shopping!" ringis Rara, matanya terlihat penuh harap.
Aku mengangguk enggan. Setelah membersihkan diri di kamar mandi, berganti pakaian dan sedikit memakai bedak, akhirnya aku menemani Rara meskipun dengan malas yang luar biasa.
Bagi Rara, shopping adalah kebutuhan pokok baginya. Dia selalu saja menyiapkan budget khusus setelah gajian hanya untuk menyenangkan jiwanya dengan membeli barang-barang yang sebenarnya tak begitu dibutuhkannya. Lihat, sudah berapa banyak sepatu menumpuk di rak sepatu kami dan hanya menyisakan sedikit space untuk beberapa buah sepatuku. Atau lihat bagaimana ia berusaha menjejal-jejalkan baju dan celananya di lemari padahal masih banyak di dalam sana pakaian yang belum sempat ia pakai. Rara tipe wanita doyan belanja, apalagi kalau musim diskon. Kalimat ampuh 'mumpung diskon' rupanya juga sudah terpahat rapi di memorinya setiap melihat tulisan 'sale' di display sepatu, tas maupun baju. Berbeda denganku yang tak begitu menyukai acara belanja seperti itu. Selain aku memang masih punya tanggungan keluargaku, aku pikir mubadzir saja Ketika aku harus membeli barang-barang seperti itu padahal yang ada di rumah masih bisa dipergunakan.
"Kalau ini gimana Nay?" Rara memperlihatkan sebuah crop tee bergaris keluaran dari sebuah merk ternama.
Aku yang sejak tadi mengekornya hanya mengangguk malas. Mustahil aku menjawab tidak suka karena Rara pasti tetap akan membelinya. Selera fashion kami berbeda. Aku menyukai baju nyaman yang tertutup sedangkan dia sangat menyukai sesuatu yang berhubungan dengan sexy, pusar kelihatan atau payudara menyembul keluar.
Rara melepas senyum bahagia. Setelah menemukan ukurannya, ia lalu memasukkan pakaian itu ke dalam shopping bag yang dipegangnya meskipun dengan cara menjejal-jejalkannya.
"Belum Ra?" aku melirik shopping bag Rara yang sudah menggembung besar. "Itu udah penuh."
Rara menunduk, menatap shopping bag yang dibawanya dengan takjub. Rupanya, jika tak aku ingatkan, ia bahkan tidak sadar jika sudah membawa banyak baju di dalam tempat tersebut.
"Yaudah, aku ke kasir dulu ya Nay. Habis ini kita makan. Aku yang teraktir. Gimana?" Rara mengeluarkan dompetnya.
Aku mengangguk. Sementara Rara menuju kasir, aku lebih memilih menunggunya di sebuah sofa yang masih berada di dalam toko pakaian tersebut. Ternyata, hanya mengekor Rara saja kakiku sudah sebegini panas.
******
"Mau apa Nay? Dimsum? Ayam goreng? bebek goreng? Steak? Nasi goreng?" kami berdua mengabsen satu persatu tempat makan yang berderet rapi di foodcourt mall. Meskipun makanan di sini terlihat lezat namun aku tak tertarik untuk mencobanya. Efek dari galau, sehingga membuat selera makanku pun menurun drastic.
"Naya…." Sebelum aku membalas kalimat Rara, sebuah suara mengejutkanku. Aku dan rasa menoleh bersamaan dan mencoba untuk menahan keterkejutanku meskipun aku yakin jika gagal.
Kania tersenyum lebar, dan berjalan cepat menghampiriku. Namun bukan wajah gadis cantik itu yang membuatku terkejut, melainkan seseorang yang tengah berjalan di belakangnya. Yang sedang menatapku dengan tatapan sedingin es.
"Naya ngapain kesini?" Tanya gadis itu Ketika kami berhadapan.
Aku mengulas senyum seramah mungkin meskipun hatiku tengah bergejolak. Kuperkenalkan Rara yang mematung di sampingku pada mantan teman sekelasku jaman kuliah tersebut.
"Kamu ngapain disini?" pandanganku beralih pada Raga. Aku sedang berusaha untuk tak mencecar banyak pertanyaan sekarang meskipun aku ingin. Bagaimanapun juga, mall bukan tempat yang tepat bukan untuk sepasang laki perempuan yang bukan kekasih utuk jalan-jalan.
"Ketemu sama klien." Jawab Kania hangat. "Emang Raga enggak cerita sama kamu."
Aku melirik Raga yang menatapku dengan ekspresi yang tak bisa ku baca dengan jelas.
"Cerita sih, cuma enggak bilang kalau ketemu klien-nya di mall." Aku perlu berbohong sekarang. Mana mungkin aku mengatakan pada Kania jika selama seminggu ini hubunganku dengan kekasihku tidak berjalan begitu baik.
"Oh…." Hanya itu kalimat yang aku dengar dari mulut mungil Kania.
Aku tak menjawab. Pandanganku tertuju pada Kania yang berdiri dengan anggun di depanku. Tubuh tinggi semampainya tampak begitu pas dengan rok press body selutut disertai dengan kemeja warna coklat muda yang tampak cocok dengan kulitnya yang putih terang. Wajahnya yang cantik tampak semakin mempesona dengan make up tipis ala Korean style. Akh, kenapa aku jadi minder begini?
Kami basa-basi sesaat sebelum akhirnya Kania pamit untuk bertemu klien di salah satu restoran Cina di dalam mall. Dan aku melihat sendiri ketika seorang pria paruh baya tampak menyambut mereka denan hangat Ketika mereka masuk ke dalam restoran berpintu kaca tersebut. Sedangkan aku, setelah melihat kebersamaan kekasihku dan Kania langsung merasa pusing dan ingin pulang. Niat untuk makan sirna sama sekali. Bahkan Ketika Rara tetap memaksaku untuk makan, dengan tegas aku menolak. Aku butuh kasur, setidaknya untuk menyandarkan kepalaku yang terasa ingin pecah.
*****
Aku pikir, setelalh beranjak malam dan mandi dengan air hangat bisa membuat pikiranku Kembali jernih dan perasaan cemburuku menghilang begitu saja. tapi ternyata, itu semakin buruk. Aku wanita, seseorang yang begitu mudah tersulut emosi cemburu Ketika kekasihnya jalan berdua dengan seorang wanita yang begitu cantik dan menarik macam Kania. Ya meskipun itu hanya untuk urusan bisnis.
Aku pikir, jika hubunganku kali ini benr-benar berakhir, aku akan dengan lapang dada melepaskan Raga untuk memilih wanita lain dalam hidupnya. Tapi ternyata aku keliru. Aku baru menyadari jika perasaan cintaku pada Raga teramat besar, saking besarnya sampai aku tak bisa menyerahkan pria-ku itu begitu saja pada orang lain terlebih pada Kania. Seseorang yanh jelas-jelas tak aku sukai sejak awal.
Hingga akhirnya, menyingkirkan segala ego, aku memutuskan untuk menemui Raga dan minta maaf. Untuk apa? Aku tidak tahu. Perasaanku hanya mengatakan, mungkin aku belum siap untuk berpisah dengannya sekarang.
Aku mengabaikan teriakan Rara yang menanyakan hendak pergi kemana malam-malam begini. Setelah menyambar cardigan tipis di atas sofa, aku berlari menuruni apartement untuk mencari taxi. Sudah malam, dan aku yakin hanya taxi yang ada malam-malam seperti ini.
Aku tak mau menunggu lama ketika sampai di depan apartement kekasihku itu. Bahkan Ketika taxi belum benr-benar berhenti, aku sudah membuka pintu dan menyerahkan beberapa lembar uang pada sopirnya. Lagi-lagi aku mendengar sopir taxi berseru jika uangku kelebihan. Namun aku juga tak peduli. Setengah berlari aku menjawab "buat bapak saja!"
Lift di lantai lima belas terbuka, aku berjalan cepat menuju pintu apartement dan memencent belnya dengan cepat. Meskipun aku tahu kode apartement Raga, namun kali ini aku benar-benar ingin menjadi tamu untuknya.
Beberapa detika kemudian, pintu terbuka. Sosok yang kurindukan itu menyembul dari balik pintu. Wajahnya tampak terkejut, namun aku tak peduli. Bahkan sebelum dia sempat membuka mulut, aku langsung menghambur memeluknya.
"Aku merindukanmu….maafkan aku!" aku mengeratkan pelukan. "Maafkan aku…..aku mencintaimu…"
Aku merasakan jemari Raga mengelus rambutku dengan pelan.
"Sama, aku juga merindukanmu seperti orang gila." Bisiknya di samping telingaku. "Aku juga mencintaimu, sangat mencintaimu. Bahkan aku tidak tahu caranya mengontrol perasaan ini ketika kita sedang dalam kondisi yang tidak baik."
Aku tersenyum kecil, mengusap titik air mata di pipiku. Saat mataku kembali fokus, kulihat Aldi tengah berdiri menatap kami dari kejauhan.
*****