Aku berdiri menatap pasangan itu dengan perasaan yang campur aduk. Aku tahu bagaimana Raga melewati seminggu ini mirip orang gila karena hubungannya dengan Naya yang tidak begitu baik. Raga sering menyendiri di loteng dan sering pula menghela nafas panjang yang menandakan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. berbeda denganku, hebatnya Raga adalah ia tidak pernah melampiaskan emosinya pada alcohol. Pria itu lebih suka menyibukkan diri, mungkin itulah distraksi yang paling ampuh untuk meredakan perasaannya.
Mereka memang saling mencintai. Bahkan orang seperti aku pun menyadari akan hal itu. Bagaimana binar mata Naya dan Raga Ketika mereka saling memandang. Namun aku rasa cinta saja tidak cukup. Harus ada keterbukaan satu sama lain, bahkan jika perlu untuk masalah sekecil apapun memang harus saling berbagi agar tidak terjadi kesalahan komunikasi untuk kedepannya. Aku tahu, Naya menyadari jika mereka berbeda. Bukan keyakinan, juga bukan sebuah prinsip, melainkan strata sosial. Meskipun jaman sekarang bagi Sebagian orang hal itu sudah tidak berlaku lagi, tapi dalam cerita ini, aku tahu jika itu sangat diperlukan.
Aku teringat dengan pembicaraanku dengan tante Rika beberapa hari lalu. Sebuah pembicaraan yang menurutku tidak perlu disampaikan pada Raga karena aku tahu ia pasti akan terluka. Aku menyadari jika keadaan Om Gunawan sudah semakin memburuk. Bagaimana tidak, jika organ terpenting dalam tubuh yaitu jantung sudah terganggu.
Bagi seorang ayah, mungkin keinginan terakhirnya adalah melihat anak laki-lakinya menikah dengan seseorang yang jelas asal usul dan bibit, bobot dan bebetnya. Dan dari apa yang tante Rika sampaikan, bahwa ia ingin agar Raga segera menikah. Bahkan aku tahu jika mereka sangat menginginkan Raga menikahi Kania. Seorang gadis Anggun dan memikat, wajah cantik dan tentu saja dari keluarga yang bisa diperhitungkan. Lantas jika itu benar-benar terjadi, bagaimana dengan Naya?
"Al, kenapa berdiri di situ?" suara Naya memenghancurkan monolog di dalam otakku.
Aku mengulas senyum. Melihat wajah Raga yang Kembali bersinar, dan sudah tidak seperti mayat hidup membuat perasaanku sedikit membaik. Meskipun aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, setidaknya jika cinta mereka kuat, mereka tak akan terpisahkan oleh apapun itu. Akh, sebuah pemikiran yang sengaja aku buat sesederhana mungkin.
"Akum mau keluar, tapi kalian menghalangi pintu." Dalihku sambil menyambar kunci mobil di atas meja. Sebenarnya hari ini aku datang ke apartement Raga adalah untuk menemaninya, namun aku pikir sekarang saatnya aku pergi krena orang yang benar-benar dibutuhkan oleh sepupuku itu sudah berada di sini. "Diaz mau ketemu sama gue."
"Mau ngapain?" Raga memicingkan mata. "Awas ya kalau lo racuni dia dengan hal-hal yang belum seharusnya dia lakukan!"
Aku tergelak. "Hei…..adik lo itu udah gede. Dia calon dokter pula. untuk hal-hal seperti itu gue rasa dia sudah lebih tahu daripada kita!" sahutku Ketika aku sampai di depannya.
Naya tertawa, sedangkan Raga hanya mendengus tidak suka.
"Oke, gue pergi." Aku menepuk Pundak Raga. "Seminggu enggak ketemu pastinya rindu bukan?" kataku sebelum akhirnya membuka pintu.
Raga hanya tersenyum dengan sudut bibirnya mendengar kalimatku.
*****
"Ngapain sih mas Aldi kesini?!" sungut Diaz sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Aku tersenyum lebar. Melihat bagaimana kekasih Diaz yang tiba-tiba saja pergi setelah melihat aku berdiri di depan pintu apartementnya.
"Pacar?" tanyaku tak acuh. Kuhempaskan tubuhku di sofa.
"Menurut mas Aldi?" wajah Diaz masih dengan muka tertekuk-tekuk. "Dia pasti salah paham deh!"
Aku menoleh. Menatap ponakanku yang masih berdiri di sampingku dengan wajah kesal.
"Masih kecil udah berani bawa-bawa cowok ke apartement. Kalau ketahuan abang kamu, dicekik kamu ntar." Senyumku geli. Padahal baru beberapa saat yang lalu Raga memintaku untuk tak mengajari Diaz aneh-aneh. Buktinya tanpa aku ajari pun, dia sudah berani bawa cowoknya masuk apartement.
Diax mencibir. Bukannya menjawab takut-takut, ia justru berangsur ke dapur. Membuka kulkas dan mengeluarkan dua kaleng soda dingin dari sana.
"Kalau mas Aldi enggak ember, mas Raga juga enggak bakalan tahu." Jawabnya santai, dan memberikan sebotol soda untukku.
"Dia anak orang kaya bukan?" aku menatap Diaz yang duduk di salah satu sofa di depanku.
Gadis itu menggeleng. "Biasa aja. Ayahnya Cuma pekerja pabrik biasa sih." Jawabnya sambil meneggak minuman. "Kenapa sih?"
"Enggak ada apa-apa. Cuma kalian adik kakak kok seleranya mirip." Aku membuka penutup soda. Dan bunyi 'ceeees' langsung keluar.
"Mirip gimana?" Diaz menaatapku dengan alis bertaut.
"Sukanya sama orang-orang biasa."
"Idiiih….apa bedanya. Semua manusia itu sama." Diaz terlihat tidak suka dengan pernyataanku.
"Tapi enggak dengan orangtua kalian." Aku mengedikkan bahu sambil tersenyum penuh kesungguhan.
Diaz tak menjawab. Mungkin sedang menimbang kalimatku atau mungkin sedang berusaha untuk mencari pembahasan lain.
"Udah ah, enggak usah dibahas. Pemikiranku belum jauh ke depan kayak mas Raga, mas. Aku pacaran juga masih buat seneng-seneng. Belum buat serius!" sahutnya kemudian.
Aku menenggak sodaku lantas menaruhnya diatas meja.
"Kalau menurut kamu, hubungan antara mas-mu sama Naya gimana?" tanyaku kemudian sambil menyilangkan kaki.
"Sejak kapan mas Aldi peduli sama hubungan orang lain?" Diaz menyandarkan tubuhnya di sofa. "Tumben."
Benar juga ya, sejak kapan aku memperdulikan hubungan orang lain, meskipun itu hubungan sepupuku sendiri. tapi entah kenapa, setiap melihat Naya aku merasa kasihan dan peduli dengannya. Mungkin karena Naya baik, sehingga membuatku tidak rela dia terluka.
"Aku hanya ingin tahu pendapatmu. Kamu tahu sendiri bukan bagaimana sikap orangtua kamu dengan hubungan mereka?" aku menatap Diaz sungguh-sungguh.
Diaz mengangguk. Sepertinya ia paham dengan maksudku.
"Mas udah tahu ya kalau mama sama papa berniat menjodohkan mas Raga sama mbak Kania?"
Aku mengangguk pelan.
Diaz menghela nafas berat. "Aku sebenernya udah bilang sih kalau hubungan mas Raga sama mbak Naya itu serius. Tapi sepertinya mama tidak begitu memberikan respon dengan baik. Mungkin karena mbak Naya—"
"Miskin?" potongku cepat.
"Iiih…mas Aldi! Enggak usah sefrontal gitu lah!" sahut Diaz ketus. "Bukannya miskin, Cuma—"
"Udahlah Nad. Mungkin bagi kita untuk urusan strata sosial itu enggak penting. Karena cinta yang paling utama. Tapi mungkin bagi Sebagian orangtua, hal itu sangat diperlukan untuk silsilah keluarga nantinya." Aku menghempaskan tbuuhku di tubuh sofa. Akh, aku benci dengan kenyataan di dunia ini. kenapa musti diciptakan orang dengan strata sosial berbeda seperti ini hingga pada akhirnya hal itu hanya berakhir untuk membanding-bandingkan seseorang.
"Jadi kita harus gimana mas?" tanya Diaz kemudian. "Sejujurnya aku udah ngerasa pas sama mbak Naya. Dia baik, dan bukan tipe wanita mata duitan kayak orang-orang lain."
Aku mengamini kalimat keponakanku. Meskipun dulu aku juga pernah berfikiran sama yaitu Naya memacari Raga hanya karena sepupuku itu kaya. Tapi nyatanya, penilaianku selama ini salah. Andai saja tante Rika bisa sedikit menyempatkan diri untuk lebih mendekat dan menjeda jarak antara dirinya dan Naya, mungkin tanteku itu akan tahu bagaimana baiknya Naya. Hanya saja, aku tahu jika selama ini tante Rika bukannya tidak sempat melainkan enggan.
"Entahlah….." aku menghela nafas. "Sejujurnya ini bukan masalahku." Aku bangkit dari kursiku.
"Loh, mau kemana?" Diz mendongak menatapku.
"Pulang."
"Ih, udah bikin cowok aku marah dan sekarang mau pulang?" gadis itu membeliakkan mata. "Enggak boleh!"
"Terus?"
"Temeni aku makan! Laper!"
*****