"Makasih ya Kania, kalau enggak ada kamu mungkin pak Andi masih alot kayak yang sudah-sudah…" Raga mengulas senyum pada gadis cantik yang kini berdiri di sampingnya.
"Untung aku udah kenal pak Andi sejak lama, dan kami cukup akrab." Sahut Kania. Matanya menatap kearah Raga sebelum akhirnya Kembali menatap kea rah pintu lift yang mulai tertutup perlahan.
"Yeah…dan kamu penyelamat aku. Untung saja…."
Berkali-kali Raga melontarkan pujian pada Kania sampai gadis itu tersipu malu. Bagaimanapun juga sebuah hal besar bagi Kania karena berhasil membuat Raga terkesan.
"Oh ya Ga…." Kata Kania Ketika pintu lift mulai terbuka dan pria berbadan tegap di sampingnya ini hendak bersiap keluar.
"Iya?"
"Jangan lupa bilangin ke Naya ya, kapan-kapan kita makan bareng?"
Raga tersenyum. "Iya. Bakal aku sampe'in nanti sama dia."
Raga berjalan meninggalkan Kania yang masih di dalam lift. Sementara Raga turun di lantai tujuh, Kania akan turun di lantai sepuluh—di ruangannya.
"Pak Raga!" belum pria itu membuka pintu ruangannya, suara Andra sudah menjeda langkahnya. Sekertrisnya itu udah berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah kotak bekal berwarna merah yang kelihatannya enggak Andra banget.
"Tadi Mbak Naya kemari, dan ngasih ini ke Pak Raga." Andra menyerahkan kotak bekal itu pada Raga dan diterima oleh pria itu dengan kening berkerut. tumben Naya tidak menunggunya dan lebih memilih untuk segera pergi.
"Dia kemana?" Raga menimang kotak bekal itu dengan senyum tipis. Ia yakin jika di dalamnya ada makanan lezat yang seperti biasa Naya siapkan untuknya.
"Tadi pergi waktu saya bilang kalau pak Raga menemui Pak Andi."
"Kamu enggak bilang kan tujuan saya menemui pak Andi?" Senyum raga menguap seketika. Wajahnya sedikit memucat.
"Emm…..saya bilang semuanya sih pak." Jawab Andra dengan tampang polosnya.
Raga berdecak. Ia ingin memarahi Andra atas kesalahannya dengan mengatakan hal rahasia itu pada Naya. Tapi memarahinya pun percuma, ini bukan salah Andra karena Raga sendiri tidak pernah mewanti-wanti Andra untuk menyimpan rahasia ini jika Naya datang. Lagipula daripada memarahi Andra, ia lebih memilih untuk segera berlalu dan mencari Naya. Raga yakin jika saat ini kekasihnya itu sedang dalam mood yang sama sekali tidak baik.
*****
Naya sama sekali tidak memperdulikan jerit ponselnya yang sejak tadi menggetarkan telinganya. Telepon kesekian kali dari orang yang sama—Raga.
Sepertinya pria itu sudah tahu apa yang sedang terjadi. Buktinya selain telepon, Raga juga sudah mencecarnya dengan begitu banyak pesan namun sama sekali tidak Naya buka. Ia teramat malas untuk mengangkat telepon itu atau untuk sekedar membaca pesan dari Raga. Naya tahu isinya adalah segala macam bentuk kalimat permintaan maaf.
Disini bukan Raga yang salah, tapi kenapa ia selalu meminta maaf untuk sesuatu yang bahkan tak ia lakukan. Naya yang salah, Naya yang menyebabkan Raga kehilangan klien penting seperti pak Andi. Dan jika terjadi seuatu dengan perusahaan, Naya yang tak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.
Gadis itu melempar tasnya di atas sofa, diikuti dengan tubuhnya yang terhempas malas disana. Beberapa kali ia memijit keningnya sendiri sebagai upaya untuk meredakan denyut yang semakin hebat Ketika ia Kembali mengingat hubungannya dengan Raga.
Setelah beberapa saat menyandarkan tubuh penatnya di badan sofa, perlahan kantuk mulai menyerangnya. Naya tidak tahu berapa lama ia terkantuk-kantuk di sofa Ketika telinganya mendengar dengan jelas seseorang tengah berupaya membuka pintu apartementnya dan sekejap kemudian sosok itu sudah berdiri di depan pintu.
"Nay….." Mungkin kali ini Naya salah perhitungan dengan langsung pulang ke apartement. Buktinya, Raga begitu mudah menemukannya dan begitu mudah pula membuka pintu karena pria itu tahu kode untuk membuka kunci.
Naya menegakkan duduknya. Kantuk yang sempat hinggap di matanya perlahan mulai memudar. Belum ia mengucapkan sebuah kalimat dari bibirnya, tiba-tiba saja Raga sudah lebih dulu menghambur dan berjongkok di depannya.
"Nay…." Tangan pria itu terulur meremas jemari Naya yang saling bertaut. "Kamu marah sama aku?"
"Aku enggak marah sama kamu." Naya menarik tangannya perlahan. Wajahnya menunduk. "Kamu enggak perlu minta maaf karena kamu enggak salah Ga."
"Aku salah." Raga bersikeras. Matanya tajam menatap Naya yang masih tertunduk. "Karena enggak ngomong sama kamu tentang masalah ini."
"Aku yang salah karena seharusnya tak perlu menghubungimu Ketika kamu benr-benar dalam urusan penting seperti waktu itu."
"Nay!" Raga merengkuh wajah Naya agar menatapnya. "Aku rasa kita enggak perlu cari yang salah atau yang benar tentang masalah ini."
Naya menghela nafas pelan. Ia menepis tangan Raga yang masih menangkup wajahnya. "Kenapa sih waktu itu kamu enggak ngomong kalau benar-benar belum bisa menemuiku?"
"Bagaimana aku bisa mengatakan tidak Ketika kamu menelponku dengan tangis pecah seperti itu?!"
Naya terdiam. Ia mengakui jika waktu itu tak bisa mengenyahkan paniknya sampai-sampai ia menangis tersedu Ketika menelpon Raga tentang keadaan Rara. Tapi bukan berarti ia meminta Raga datang padanya saat itu juga.
"Sudah ya…..kita tidak perlu membahas masalah ini lagi."
"Ga." Panggil Naya pelan. "Aku enggak mau kamu mengorbankan kepentingan perusahaanmu demi aku. Aku dengar pak Andi adalah satu-satunya klien berpengaruh di perusahaanmu. Jika semua berakhir gara-gara aku—"
"Enggak berakhir Nay. Semua sudah selesai. Pak Andi masih menjadi klienku. Tadi aku dan Kania menemuinya, dan syukurlah Kania bisa aku andalkan." Raga tersenyum puas.
Naya tak menjawab. Ada sengatan tajam di hatinya Ketika Raga menyebut nama Kania di hadapannya. Semenit lalu Naya merasa marah pada dirinya sendiri karena kejadian waktu itu, dan di menit berikutnya ia tiba-tiba merasa marah pada Raga karena menyebut nama Kania di depannya dan menjadikan gadis itu seorang pahlawan.
Akh, apa yang Naya pikirkan! Kenapa semua terasa menjengkelkan hari ini.
"Nay, jikapun aku berkorban sesuatu padamu, itu wajar. Karena kamu adalah milikku." Suara berat Raga memecah sunyi.
"Itu enggak wajar Ga." Geleng Naya pelan. "Aku hanya orang asing, dan tidak pantas mendapatkan apapun dari kamu. Karena aku tidak bisa membalas apapun, bahkan mungkin saat kamu dalam masa-masa sulit seperti kemarin."
"Kamu tidak perlu membalas apapun Nay. Cukup berikan cintamu dan bersandar padaku. Aku akan membahagiakanmu."
Naya menelan saliva. "Kebahagiaan tidak bisa didapat semudah itu."
"Nay!" Suara Raga meninggi.
"Kita beda, dari segi apapun. Bahkan Ketika Kania bisa dengan mudah berbicara pada pak Andi tentang kelanjutan hubungan bisnis kalian, aku tak akan bisa melakukan itu karena aku tidak mengenal lelaki bernama pak Andi tersebut." Nada suara Naya terdengar parau. Ia bukan saja merendah, tapi secara tidak langsung sedang membandingkan dirinya dengan Kania.
"Kenapa tiba-tiba kamu membicarakan Kania Nay?"
"Ya, karena aku merasa tidak pernah ada gunanya Ketika menjadi pacar kamu Ga!"
"Ada!" sahut Raga cepat. "Kamu memberikan cinta buat aku dan itu lebih dari cukup."
"Tapi aku belum tentu bisa memberikan kebahagiaan untuk kamu Ga. Lihatlah, punya andil apa aku untuk keluarga kamu?"
"Kamu tidak perlu melakukan itu Nay!" kali ini suara Raga berubah. Ia terdengar lebih ketus karena mulai merasa kesal. Ia selalu benci setiap Naya membicarkan tentang perbedaan status ekonomi mereka.
"Tapi aku perlu. Aku perlu punya sesuatu yang hebat untuk membuat orangtuamu terkesan."
Raga mengusap wajahnya frustasi. Ia menegakkan tubuhnya, kali ini ia benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya.
"Jadi aku harus gimana? Apa aku perlu meninggalkan semua hal yang aku miliki sekarang agar kamu mau menerimaku apa adanya Nay?!"
Naya tidak menjawab.
"Aku sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik buat kamu. Tapi nyatanya, bahkan Ketika keluargamu ditagih rentenir, kamu juga sama sekali tak bercerita padaku!"
Naya mengangkat wajahnya dengan terkejut. Ditatapnya wajah raga yang penuh amarah itu dengan mata membulat.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" suaranya bergetar.
"Bagaimana aku tidak tahu jika rentenir itu datang ke kantor dan meminta uang itu padaku?!"
Naya mengerjapkan matanya, dan sebutir air mata jatuh di pipinya. Sedetik kemudian, ia meraih tasnya dan membukanya dengan asal. Dikeluarkannya ponselnya dengan tangan bergetar.
"Kalau begitu aku minta nomor rekeningmu, aku akan mengembalikan uangnya. tapi aku tidak bisa cash, mungkin akan—"
"stop Nay!!!" Teriak Raga dengan penuh emosi.
"Sampai kapan kamu akan menganggap aku orang lain?!" Dengusnya. "Apa salahnya jika aku membantu kekasihku sendiri? apa salahnya jika aku membayar hutang keluargamu yang dililit rentenir, apa salahnya Nay? Jawab!"
"Iya Ga, tapi—"
"Cukup." Raga mengusap air matanya. "Aku rasa kita perlu waktu untuk menjernihkan pikiran kita untuk beberapa hari." Ia membuang pandang ke segala arah. Tanpa menunggu kalimat Naya, ia pergi dengan Langkah gontai.
Sedang Naya, tertunduk lesu dengan isakan tangisnya yang terdengar semakin jelas.
******